Pakar: UU ITE masih dibutuhkan tetapi perlu direvisi

id Revisi UU ITE,UU ITE,Ismail Fahmi,Drone Emprit,Informasi Transaksi Elektronik

Pakar: UU ITE masih dibutuhkan tetapi perlu direvisi

Ismail Fahmi. ANTARA/Try Reza Essra

Harapan publik atas revisi Undang-Undang ITE sangat besar. Nuansa rasa takut atas Undang-Undang ITE dirasakan oleh publik
Jakarta (ANTARA) - Direktur Drone Emprit Ismail Fahmi mengatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih sangat dibutuhkan tetapi perlu direvisi.

"Harapan publik atas revisi Undang-Undang ITE sangat besar. Nuansa rasa takut atas Undang-Undang ITE dirasakan oleh publik," kata Ismail dalam seminar daring yang diadakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat diikuti dari Jakarta, Rabu.

Ismail mengatakan bahwa masyarakat menyambut baik ketika Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataan yang membuka peluang revisi terhadap Undang-Undang ITE.

Bila dilihat dari peta analisis jejaring sosial di internet, kata dia, dukungan dan pertentangan terhadap revisi Undang-Undang ITE memiliki korelasi kuat antara klaster propemerintah dan klaster nonpemerintah yang terdiri atas publik, pegiat, oposisi, dan lembaga swadaya masyarakat.

"Klaster propemerintah cenderung kontrarevisi Undang-Undang ITE, sedangkan klaster nonpemerintah cenderung prorevisi," tuturnya.

Menurut Ismail, media memiliki peran penting dalam membangun percakapan dan narasi terkait dengan isu revisi Undang-Undang ITE di kalangan publik.

Berdasarkan analisis emosi terhadap pernyataan Presiden Jokowi agar masyarakat mengkritik pemerintah dan revisi Undang-Undang ITE, masyarakat cenderung ragu, bahkan tidak percaya hal itu akan dapat dijalankan.

"Oleh karena itu, menjadi tantangan bagi pemerintah untuk serius menindaklanjuti pernyataan Presiden Jokowi, tidak hanya dengan membuat petunjuk pelaksanaan, tetapi dengan merevisi Undang-Undang ITE sebagaimana masukan dari banyak pihak," katanya.

Menurut Ismail, revisi Undang-Undang ITE penting dilakukan karena sejak 2012 muncul propaganda komputasional yang digunakan oleh aktor-aktor politik di berbagai negara untuk memanipulasi opini masyarakat melalui jejaring media sosial, seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan YouTube.

Propaganda komputasional juga telah memunculkan pasukan siber, yaitu tim siber yang digunakan pemerintah, militer, atau partai politik di seluruh dunia untuk mengembangkan atau memanipulasi opini masyarakat melalui media sosial.

Baca juga: Tim Kajian UU ITE akan undang asosiasi Pers
Baca juga: Tim Kajian UU ITE undang aktivis dan praktisi medsos
Baca juga: Pakar: Hanya korban pencemaran nama baik di media sosial yang bisa lapor
Baca juga: Tim Kajian UU ITE himpun masukan dan saran dari aktivis dan asosiasi pers