Krisis Kedelai Ancam Ketahanan Pangan

id Krisis Kedele dan pangan

Krisis Kedelai Ancam Ketahanan Pangan

DR Ir H. Hasanuddin Atjo, MP (ANTARA/Nanang)

....penyusunan atau penyempurnaan roadmap industri tempe maupun tahu menjadi strategi yang penting. Penyusunan atau Penyempurnaan itu tentunya harus dilakukan dengan pendekatan hulu-hilir, terintegrasi dan holistik."
KRISIS kedelai yang melanda dunia ternyata sangat berpengaruh terhadap industri tempe  dan tahu di negeri ini. Penghasil kedelai terbesar Amerika Serikat  mengalami gangguan panen akibat musim kemarau yang berkepanjangan dan beberapa ahli menduga hal ini sebagai rangkaian dari dampak global warming atau pemanasan global.  

Harga kedelai impor kini meningkat tajam menjadi Rp8.000,00 per kilogram dari sebelumnya hanya Rp5.000,00. Sementara itu produksi nasional berkisar 800 - 850 ribu ton padahal kebutuhan dalam negeri mencapai 2,6 juta ton per tahun. Situasi ini menyebabkan perajin tempe dan tahu menjadi kewalahan dan meminta pemerintah melalui Gabungan Koperasi Perajin Tempe dan Tahu agar turun tangan dan sementara waktu para perajin menghentikan produksinya.  

Situasi dan reaksi itu membuat sedikit panik sejumlah kalangan karena tempe  dan tahu termasuk pangan yang strategis untuk memenuhi kebutuhan 240 juta penduduknya. Hasilnya pemerintah telah melahirkan regulasi berupa: menghapus bea masuk kedelai menjadi nol persen yang tadinya sebesar lima persen;  membuka kesempatan lebih luas untuk mengimpor kedelai termasuk kelompok atau koperasi perajin tempe-tahu; ban komoditi kedelai akan ditangani oleh Perum Bulog seperti halnya beras.

Regulasi ini tentunya sifatnya lebih kepada subsidi untuk memberi ruang agar para perajin tempe dan tahu yang dominan UKM-UMKM dapat melanjutkan usahanya, sehingga ketahanan pangan kita tidak terganggu.

Bila dicermati lebih jauh, maka ada hal strategis yang dapat ditangkap dari realitas ini bahwa pertama; sistem ketahan pangan kita ternyata rapuh. Kedua adalah harus ada upaya lebih sistematis dna intensif untuk meningkatkan daya saing kedelai lokal sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada kedelai impor. Dan ketiga adalah mengembangkan pangan alternatif.

Kedelai lokal dan inovasi

Dalam diskusi terbatas di beberapa kesempatan pada beberapa media berkaitan dengan krisis kedelai itu dapat disimpulkan bahwa solusi membangun ketahanan pangan khususnya tempe dan tahu adalah bagaimana membangun daya saing kedelai lokal serta meningkatkan inovasi industri tempe dan tahu.

Kedua strategi itu dapat dikatakan sebagai strategi yang berulang, karena sebelumnya juga pernah mengalami krisis kedelai dan strateginya juga mirip seperti itu. Ini menunjukkan bahwa masih ada yang belum tuntas dari strategi itu, karena terbukti saat harga kedelai impor naik, maka perajin tempe dan tahu kembali kelimpungan.

Paling tidak ada lima faktor yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya saing kedelai lokal yaitu pertama; Bagaimana mengembangkan sistem produksi yang dimulai dengan teknologi perbenihan, intensifikasi dan perluasan budidaya, pascapanen dan mengembangkan sarana-prasarana penunjang lainnya. Selain itu diperlukan strategi agar petani kita tertarik menanam kedelai sebagai usaha pokok dan bukan lagi sebagai tanaman selingan.

Kedua; bagaimanana mengembangkan sistem logistik dan distribusi yang saat ini indeks logistik kita masuk kelompok rendah di kawasan Asia, sehingga untuk membawa kedelai dari kawasan timur ke barat Indonesia ongkosnya dua kali lebih mahal daripada mengimpor kedelai;

Ketiga; bagaimana mengembangkan infrastruktur dasar, jalan produksi, moda transportasi, irigasi dan beberapa prasarana lainnya; keempat; bagaimana mengembangkan transformasi sosial untuk meningkatkan paradigma petani kedelai dan perajin tempe dan tahu dari paradigma subsisten menjadi konvensional dan akhirnya menjadi paradigma industrial;

Kelima; bagaimana mengembangkan sistem pembiayaan yang saat ini realisasi KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan Kredit Ketahanan Pangan masih rendah, dan salah satu penghambatnya adalah belum maksimalnya transformasi sosial.

Selain membangun daya saing kedelai lokal, maka inovasi industri tempe dan tahu harus dikembangkan antara lain (1) Bagaimana mengurangi komponen kedelai dan menambahkan substitusi dari bahan nonkedelai dalam pembuatan tempe maupun tahu. Sebagai contoh  saat ini telah berhasil dikembangkan inovasi beras analog yaitu beras yang dibuat dari karbohidrat  non padi yang penampilan fisiknya seperti beras padi;  (2) Bagaimana mengembangkan lebih baik lagi olahan-olahan berbahan baku tempe dan tahu serta bagaimana mengembangkan  inovasi pemanfaatan limbah tempe dan tahu menjadi produk yang lebih bermanfaat.

Berkaitan dengan apa yang telah diulas di atas, maka penyusunan atau penyempurnaan roadmap industri tempe maupun tahu menjadi strategi yang penting. Penyusunan atau Penyempurnaan itu tentunya harus dilakukan dengan pendekatan hulu-hilir, terintegrasi dan holistik.

Untuk sekedar mengingatkan bahwa Rektor Institut Teknologi Bandung Prof. Akhmaloka, PhD telah menyampaikan gagasannya beberapa waktu yang lalu bahwa sudah saatnya dikembangkan Ipteks yang pro-rakyat. Pemikiran sang rektor lebih dipicu oleh realitas bahwa daya saing UKM-UMKM kita semakin tertinggal, karena karya-karya inovasi terbaik anak bangsa cenderung dimanfaatkan oleh pelaku usaha sekala besar bahkan dimanfaatkan olen Negara lain.  

Diakhir pidatonya beliau memberi pesan untuk mengembangkan budaya Kerja '5 As' yaitu :  kerja keras, kerja cerdas, kerja mawas, kerja tuntas, dan kerja ichlas.

Pangan alternatif

Saatnya dilakukan pengembangan pangan alternatif guna mengurangi ketergantungan terhadap pangan tempe dan tahu. Pengembangan budidaya perikanan, khususnya budidaya ikan air tawar merupakan salah satu instrumen yang dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan itu.  

Kini termasuk di kota-kota besar di Pulau Jawa yang notabenenya terbatas air dan lahan, termasuk Kabupaten gunung Kunung Kidul budidaya ikan hemat air  dengan komoditas lele berkembang baik dengan harga jual yang terjangkau masyarakat. Boleh dikata bahwa lele sudah identik dengan tempe-tahu sebagai pangan, karena olahan lele juga berkembang pesat sebagaimana olahan tempe dan tahu.  

Namun yang menarik untuk disimak bahwa tempe-tahu komponen impornya melebihi 50 persen, sedangkan lele komponen impornya hampir nol persen.

Sulawesi Tengah dengan krisis kedelai tidak berdampak secara signifikan, oleh karena tersedia pangan alternatif lainnya seperti ikan laut maupun ikan tawar lainnya.  Namun makna yang harus ditangkap dari krisis kedela ini adalah bagaimana provinsi ini dapat berperan sebagai salah satu kontributor untuk memenuhi stok kedelai Nasional. Selain itu tentunya program ketahanan pangan melalui budidaya ikan hemat air yang digagas dan dikembangkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan yang implemnetasinya bermitra dengan lembaga terkait seperti PKK, KNPI, PWRI dan beberapa lembaga lainnya terus dikembangkan. 

Kita yakin dan percaya, bila terus mengembangkan budaya Kerja '5 As' maka segala persoalan akan memperoleh solusi. Semoga. *) Kadis Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah