Di tengah suasana kerukunan antarumat beragama yang terancam oleh aksi-aksi intoleran, pemikiran Gus Dur, panggilan populer Abdurrahman Wahid, tokoh Nahdlatul Ulama yang menjadi presiden ke-4 Indonesia mencuat kembali ke ranah publik.
Bertepatan dengan haul atau peringatan tahun ke-7 hari wafat Gus Dur, sejumlah kalangan dari berbagai agama dan aliran kepercayaan berkumpul, berdialog, dan bertekad untuk mengimplementasikan gagasan pluralisme yang menjadi karakteristik pemikiran Gus Dur.
Pertanyaan penting yang layak dikemukakan di sini adalah: mengapa Gus Dur masih relevan untuk zaman gegap gempita percaturan pemikiran di dunia nyata dan maya sekarang ini?
Tidak adakah penggantinya yang sepadan sehingga publik begitu merindukan dan mendambakan untuk mengimplementasikan pemikiran kiai yang tak jarang kontroversial dalam sepak terjang politiknya itu?
Untuk pertanyaan pertama, jawaban yang paling populer adalah: Gus Dur di dalam menghayati keberagamaannya senantiasa berpegang pada prinsip bahwa humanisme yang antara lain terejahwantakan dalam kerukunan sesama manusia, tak peduli apa pun latar belakang agama, ras, dan ideologinya, harus ditempatkan pada posisi tertinggi.
Berbeda dengan beberapa tokoh agama yang cenderung sektarian, yang menempatkan akidah keberagamaan di atas segalanya, Gus Dur justru mementingkan sisi persaudaraan semua umat manusia, bukan cuma bersaudara sesama kaumnya sendiri, yakni umat Islam.
Sikap yang demikian ini tentu menimbulkan banyak salah paham di kalangan umat seiman, yang tak jarang memandang Gus Dur terlalu berpihak pada kelompok di luar komunitas Islam.
Bagi Gus Dur, ketika terjadi konflik antarumat beragama, yang melibatkan pengikut agama Islam berhadapan dengan pengikut non-Islam, Gus Dur justru cenderung menjewer kaumnya sendiri. Begitulah kebesaran jiwa Gus Dur, yang ibarat orang tua menjewer telinga anaknya sendiri ketika sang anak habis berkelahi dengan anak tetangga.
Dengan sikapnya yang cenderung keras ke dalam, ke kubunya sendiri, tak ayal lagi, Gus Dur sering berbenturan dengan tokoh-tokoh Islam sendiri. Ketika sebuah organisasi masyarakat bernama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk, Gus Dur termasuk segelintir dari tokoh Islam yang tak berminat masuk ke dalamnya.
Baginya, kecendekiawanan adalah predikat yang diberikan kepada mereka yang memiliki kemerdekaan dalam berpikir. Bersikap dan bertindak untuk kebaikan dan keadilan kepada kelompok yang deiperlakukan tidak adil.
Dengan definisi seperti itu cendekiawan menurut hemat Gus Dur tidak perlu diberi atribut atau adjektiva Muslim, yang sedikit banyak akan cenderung bias ketika memandang persoalan yang beraroma sektarian. Pluralisme itulah ikon yang disandang Gus Dur.
Untuk pertanyaan kedua, jawaban yang natural adalah: setiap era punya tokohnya sendiri. Pascakematian Gus Dur, dari kalangan Muslim, Buya Syafii Maarif agaknya bisa disepadankan dengan Gus Dur meski masing-masing punya kekuatan dan kelemahannya masing-masing.
Belakangan, Maarif memperlihatkan kecenderungannya untuk bersikap dan berkiprah seperti Gus Dur yang ujung-ujungnya berisiko mendapat kecaman dari kalangan internal Muslim.
Di kalangan angkatan muda Muslim yang memperlihatkan jejak-jejak pemikiran dan sikap religiusitas Gus Dur bisa dilihat pada diri Ahmad Sahal, misalnya.
Sahal yang juga berkecimpung di ormas NU itu sering menyuarakan kembali pemikiran Gus Dur yang memang relevan untuk situasi sekarang.
Tampaknya, semangat pluralis yang dikumandangkan Gus Dur tak pernah sepi dari gangguan dari kelompok yang hendak mengidealkan teokrasi yang beberapa kali dalam sejumlah kesempatan disuarakan oleh mereka yang selama ini dikenal sebagai Islam garis keras.
Dalam pemikiran Gus Dur, Islam sebagai tauhid harus dipisahkan dari kultur yang hidup di jazirah Arab. Ekspresi kultural yang dipersepsikan sebagai esensi ajaran Islam akan ditolak dengan tegas oleh Gus Dur.
Pikiran-pikiran orisinal Gus Dur sebagaimana tertuang dalam berbagai risalah atau kolom yang tersebar di berbagai media arus utama di saat dia aktif sebagai penulis bisa dijadikan rujukan bagi generasi muda Muslim yang hendak melanggengkan sekaligus mengimplementasikan gagasan itu.
Salah satu pemikiran yang tak banyak diketahui oleh generasi muda Muslim adalah pendapat Gus Dur bahwa dalam Islam konsep negara Islam tak dikenal.
Itu sebabnya Gus Dur seirama dengan napas ke-NU-annya, tak punya keberatan sama sekali dengan Pancasila sebagai ideologi dasar Republik Indonesia.
Di bawah payung Pancasila itulah umat manusia dengan beragam latar agama, keyakinan dari berbagai suku, ras, dan golongan hidup berdampingan dengan hak-hak politik yang sama.
Di bawah naungan Pancasila pula, publik memilih demokrasi, sebagai sistem politik yang paling sedikit buruknya dalam melangsungkan transisi kekuasaan, menjadi pilihan sejarah yang dapat memecahkan problem transisi kekuasaan dalam politik dinasti.
Bagi Gus Dur Islam dan keindonesiaan merupakan produk sejarah yang tak bisa dinafikan dan digantikan dengan mengacu pada Islam yang hidup pada era kenabian dan kekhalifahan beberapa abad silam.
Belakangan, muncullah apa yang disebut sebagai Islam Nusantara, sebentuk teologi yang kurang lebih merupakan percikan pemikiran Gus Dur yang tertuang dalam tulisan-tulisan opini Gus Dur sekitar dasawarsa 80 hingga 90-an.
Begitulah khazanah pemikiran Gus Dur, yang tentu saja masih relevan hingga kini.