Penangkaran PT. DSLNG sudah lepasliarkan 68 anak burung maleo (vidio)

id Maleo,DSLNG,Bakiriang,Banggai

Penangkaran PT. DSLNG sudah lepasliarkan 68 anak burung maleo (vidio)

Para pejabat dari BKSDA Sulteng, PT. DSLNG dan akademisi Universitas Tadulako Palu memegang anak burung maleo hasil penangkaran yang difasilitasi PT. DSLNG dan siap untuk melepaskan kembali ke habitat alaminya di Swka Margasatwa Bakiriang, Kabupaten Banggai, Sulteng, Kamis (27/9) (Antaranews Sulteng/Steven Pontoh)

Luwuk (Antaranews.com) – PT. Donggi-Senoro LNG (DSLNG) kembali melakukan pelepasliaran hasil penangkaran salah satu satwa liar endemik Sulawesi yakni burung Maleo (macrocephalon maleo) di kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Kamis (27/9) sebanyak 20 ekor.

Dengan pelepasliaran itu, maka hingga saat ini, penangkaran maleo milik PT. DSLNG yang dikelola bersama BKSDA Sulteng dan Universitas Tadulako Palu sudah melepasliarkan 68 ekor anak maleo dalam lima tahun terakhir.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah Noel Layuk Allo menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada DSLNG yang melakukan penangkaran maleo di Desa Uso, Kecamatan Batui karena satwa ini terancam punah.

"Saat ini maleo masuk kategori terancam punah, oleh sebab itu sangat dilindungi. Melalui penangkaran seperti ini kami berharap populasi maleo terus bertambah dan terhindar dari kepunahan," kata Noel.

Mengenai ancaman kepunahan maleo juga disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya ialah serangan predator seperti biawak. Biawak ini sangat mengancam kelestarian burung maleo karena hewan ini bisa mengetahui dimana telur maleo disembunyikan, bahkan predator ini juga memangsa anak burung maleo yang baru menetas.

"Oleh karena itu penangkaran maleo oleh PT. DSLNG bekerja sama dengan BKSDA dan peneliti diharapkan benar-benar berjalan baik sehingga habitat maleo bisa terjaga dan kedepan bisa masuk kategori hewan yang tidak dilindungi lagi," paparnya kepada belasan jurnalis di lokasi pelepasliaran maleo.

Selain predator seperti biawak, ancaman maleo juga muncul dari manusia karena masih ada oknum yang belum paham bahwa hewan endemik ini sudah terancam punah. Itu bisa dibuktikan dengan beberapa kasus sitaan telur maleo dari warga yang kemudian dimasukkan ke penangkaran untuk ditetaskan menjadi anak maleo.

Mengenai ritual adat Kabupaten Banggai yang masih menggunakan telur burung maleo sebagai salah satu kelengkapan ritual, juga sejatinya mengancam kelangsungan hidup satwa endemik ini. 

Noel Layuk Allo mengatakan pihaknya sudah pernah berkoordinasi dengan pemerintah setempat agar dapat membantu menyosialisasikan maleo kepada masyarakat. Bahkan camat setempat pernah mengemukakan akan mengusulkan untuk penggantian telur maleo dengan benda lain pada prosesi adat sehingga telur maleo  bisa dibawa ke penangkaran untuk ditetaskan.

"Dulu kami sudah sampaikan ke pemerintah setempat agar masyarakat dalam melakukan ritual tidak lagi menggunakan telur maleo," ungkapnya.

Pernyataan kepala BKSDA juga dibenarkan DR. Ir. Mobius Tanari MP, peneliti satwa endemik maleo. Menurutnya, predator paling ganas setelah mereka melakukan riset ialah biawak. Hewan ini bahkan lebih ganas dari manusia, karena bisa mendeteksi posisi telur maleo yang ditanam dalam pasir.

"Burung maleo ini hidupnya di hutan tetapi jika bertelur dia mencari pantai dan menanam telurnya. Nah, biawak ini bisa mendeteksi jika ada maleo yang akan bertelur. Sehingga, setelah telur-telur itu ditimbun dan ditinggalkan induknya maka hanya butuh beberapa menit bagi biawak menghabiskannya," ujar Mobius.


Jantan dan betina 

Sebagai peneliti yang sudah 14 tahun fokus pada satwa endemik maleo, dosen peternakan Universitas Tadulako (Untad) ini mengaku belum bisa membedakan maleo jantan dan maleo betina karena satwa yang masuk dalam kategori unggas ini memiliki ciri dan pola hidup yang sama.

"Selama ini kami fokus pada reproduksi maleo, tapi belum tercapai. Jika reproduksinya sudah bisa ditemukan maka akan mudah untuk mendeteksi proses perkembangbiakannya," jelas Mobius.

Penelitian mengenai reproduksi maleo menurutnya sangat penting untuk dapat mengembangbiakkan satwa endemik ini. Mobius menjelaskan selama lima tahun terakhir mereka selalu melakukan riset dalam fasilitas konservasi maleo yang disediakan PT. Donggi-Senoro LNG di Batui. Akan tetapi, mereka belum menemukan apa penyebab 17 ekor maleo dewasa yang ada dalam penangkaran tidak bertelur.

Baca juga: Pertamina Berpartisipasi Lestarikan Burung Maleo
Anak burung maleo hasil penangkaran PT. DSLNG siap dilepasliarkan ke habitat alaminya di Swka Margasatwa Bakiriang, Kabupaten Banggai, Sulteng, Kamis (27/9) (Antaranews Sulteng/Steven Pontoh)


Meski begitu, harapan akan penambahan populasi maleo telah melebihi harapan pemerintah sebab pemerintah mematok target penambahan populasi maleo sebanyak 6 ekor pertahun. Sementara, dalam lima tahun terakhir, dari fasilitas konservasi maleo PT. Donggi-Senoro LNG telah dilepasliarkan sebanyak 68 ekor. Artinya, lebih dari 10 ekor pertahun anak maleo dilepaskan ke habitatnya.

"Data BKSDA terakhir populasi maleo di Sulawesi itu hanya 300 pasang. Oleh karena itu, satwa ini masuk dalam kategori apendiks satu terancam punah," ujarnya.

Lima kali penetasan

Sementara Manager Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Donggi-Senoro LNG Tik Djuliatno Pumono mengungkapkan program kerja sama antara PT. Donggi-Senoro LNG dengan BKSDA dan para peneliti dari Untad dalam hal penelitian dan pengembangbiakkan Maleo sudah berlangsung sejak bulan Juni 2013 silam.

Jumlah 68 ekor anak maleo yang telah dilepasliarkan tersebut terdiri dari lima kali penetasan. Pertama dilakukan pada bulan Oktober 2013 sebanyak 11 ekor anak maleo, kemudian pada bulan Agustus 2017 sebanyak 17 ekor, ketiga pada bulan Oktober 2017 sebanyak 10 ekor dan di bulan Desember 2017 sebanyak 10 ekor. Terakhir, pada tanggal 27 September 2018 dilakukan pelepasan anak maleo lagi sebanyak 20 ekor.

"Jadi sama seperti harapan BKSDA dan para peneliti, kami juga ingin ke depan maleo ini bisa terbebas dari ancaman kepunahan. Sehingga, bisa dikembangbiakkan seperti ayam," kata Tik Djulianto.
 
Lokasi penangkaran burung maleo milik PT. DSLNG di Desa Uso, Kabupaten Banggai, Sulteng (Antaranews Sulteng/Steven Pontoh)

Baca juga: 17 Ekor Maleo Dilepasliarkan Ke SM Bangkiriang

Tik Djulianto menuturkan di kabupaten Banggai terdapat tiga satwa liar endemik, yakni anoa, babi rusa dan maleo. 

Alasan PT. Donggi-Senoro LNG memilih konservasi maleo karena habitat satwa ini berada di wilayah kerja perusahaan. Satwa liar ini juga memiliki keunikan salah satunya ialah sifanya yang monogami dan ukuran telur yang besar. Selain itu, konservasi yang dilakukan PT. Donggi-Senoro juga menjadi bagian dalam upaya menjaga populasi maleo di habitat asli.

Oleh karena itu, fasilitas konservasi disiapkan di lahan seluas 7.500 m2 dengan harapan ke depan satwa endemik ini bisa terbebas dari kepunahan. 

Konservasi maleo, kata Tik Djulianto, terdiri dari dua jenis. Pertama ialah konservasi in-situ atau konservasi yang dilakukan di dalam habitatnya, dan kedua adalah konservasi ex-situ atau konservasi yang dilakukan di luar habitat aslinya atau melalui penangkaran seperti yang dilakukan PT. Donggi-Senoro LNG bersama BKSDA dan para peneliti dari Universitas Tadulako, Palu.

Sejak diresmikan pada 5 Juni 2013, fasilitas konservasi maleo PT. Donggi-Senoro LNG yang lebih dikenal dengan nama 'Maleo Center DSLNG' telah mendapatkan 3 penghargaan. Pertama dari United Nations Environmental Programme (UNEP), World Environment Day 5 June 2013, kedua dari Kepala BPLH Banggai, Sulawesi Tengah, dan ketiga dari CSR Award kategori Silver pada 28 November 2014 untuk kategori pelibatan dan pengembangan masyarakat dan lingkungan.

Selain sebagai tempat konservasi, Maleo Center DSLNG juga berfungsi sebagai sarana edukasi lingkungan yang terbuka bagi masyarakat umum.