Warkop mobile, kreativitas di era disrupsi
....meskipun memegang ijasah sarjana strata satu, tidak ada gengsi dan mau menjajakan kopi.
Palu (ANTARA) - Warkop adalah singkatan dari warung kopi. Ada juga yang menyebutnya cafe, bahkan lebih mentereng lagi DPRD tingkat tiga.
Berlokasi di tempat strategis, dan biasanya untuk nongkrong sejumlah orang. Mulai dari sekedar menikmati kopi sambil ketemuan tanpa topik, sampai mendiskusikan problem sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan. Bahkan transaksi yang disebut dengan istilah Palugada - apa lu mau, gua ada.
Di era disrupsi yang ditandai dengan industri digital, bisnis konvensional seperti taxi argometer telah berbagi dengan taxi aplikasi seperti Grab dan Gojek yang membuka kesempatan kerja lebih banyak, memberi kemudahan kepada pengguna karena tidak perlu menunggu di pinggir jalan.
Warkop juga terlihat mulai terdiferensiasi dari statis ke mobile yang dijajakan dengan kendaraan bermotor roda dua seperti yang mulai berkembang di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Bisa jadi diferensiasi ini karena sekedar mengikuti trend atau memang sebuah tuntutan dan kebutuhan. Menarik untuk menjadi studi atau praktek pelajaran tertentu bagi siswa pendidikan menengah atau strata satu.
Jumat tanggal 3 Januari 2020, seperti biasa selesai olahraga pagi bersama hampir seluruh pegawai, tiba-tiba melintas sebuah sepeda motor dengan boncengan box seperti penjaja bakso, kemudian memarkir roda duanya di halaman kantor persis disamping gedung utama. Beberapa pegawai utamanya pria menuju ke motor roda dua itu. Reka dalam pikiran saya 'dasar bapak-bapak', karena penjajanya wanita muda yang tampil menarik maka mereka sepertinya berebutan menyerbu.
Saya kemudian agak penasaran dan bertanya kepada salah satu staf, dagangan apa itu.....?. Kemudian dijawab anu pak.... kopi bisa pasiar. Eh... apa itu!! dan membuat saya ingin tau lebih jauh dan akhirnya ikut mendekat. Yang pertama saya lihat adalah tulisan di lambung box dagangannya tertulis 'kopi bisa pasiar' lengkap dengan nomor kontak dan whatsaap. Dalam hati saya berkata boleh juga taglinenya.!
Assalamualaikum mbak, apa boleh bertanya? Oh silahkan pak. Usaha 'kopi bisa pasiar' ini milik mbak? Oh.. oh bukan pak, ada bosnya, saya hanya menjalankannya. Saya tanya lebih lanjut berapa harga per gelas, berapa omset per hari dan bagaimana sistem gajinya atau kerja samanya. Si mbak seperti ragu-ragu menjawab. Mungkin dikira saya ingin mengetahui racikan kopinya yang memang sudah banyak penggemarnya. Setelah salah satu staf saya berucap mbak, bapak ini komandan di tempat ini.
Si mbak menoleh ke saya dan berkata maaf sekali pak, modal saya hanya motor dan bensin, kemudian saya jajakan racikan kopi yang sudah disiapkan pemiliknya yang tersimpan dalam sebuah termos berinsulasi agar tetap panas.
Dalam seminggu saya menjajakan kopi Senin sampai Jumat (09.00-12.00) rata-rata habis 40 cup per hari. Saya medapat bagian 1.000 rupiah dari harga 10.000 per cup. Saya mengangguk-anggukan kepala. Dan dalam hati berkata very good woman bukan 40 ribu rupiah tujuanmu tetapi ada sesuatu yang lebih dahsyat di balik itu.
Baca juga: Management by accident versus by planning
Baca juga: Melahirkan generasi yang bukan 'kaleng-kaleng'
Sarjana Bahasa Inggris
Karena tampilannya menarik ala milenial style, ditambah tutur bahasanya agak intelek sambil mencicipi kopi yang memang enak, membuat saya terpancing bertanya lagi. Mohon maaf mbak pendidikan akhirnya apa ya?. Tanpa malu-malu dia menjawab oh..... saya sarjana bahasa Inggris pak lulusan perguruan tinggi negeri sini tahun 2008. Kalau sore saya juga berikan les privat. Tapi sekarang agak sepi, mungkin pengaruh online privat.
Saya agak terkejut dan dalam hati berkata lagi; luar biasa mbak ini, meskipun memegang ijasah sarjana strata satu, tidak ada gengsi dan mau menjajakan kopi. Kemudian saya permisi kepada si mbak. Boleh saya jadikan artikel profesi mbak ini? Si mbak hanya tersenyum malu-malu dengan raut muka agak merah berarti bisa setuju atau tidak setuju. Setelah sejumlah staf mengatakan mbak, bapak ini selain bos kami, juga suka menulis. Si mbak kemudian menoleh ke saya lagi dan sedikit menunduk, terima kasih dan boleh pak.
Saya mulai mengolah fenomena performase si mbak maupun informasi yang baru saja saya terima. Kemudian muncul kesimpulan sementara dipikiran saya bahwa di era digitalisasi seperti ini ternyata ijazah dengan nilai tinggi sekalipun tidak lagi menjadi faktor yang menentukan, tetapi lebih kepada kemauan dan tekad, skill dan mental yang kuat membuat orang bisa survive dan berujung kepada terbangunnya kekuatan daerah dan negara untuk bisa maju karena memiliki sejumlah sumberdaya manusia yang kuat. Ini tentunya menjadi keinginan kita.
Baca juga: Kelor di tengah kemiskinan dan stunting, peluang dan tantangan pascabencana
Baca juga: Ini kata Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP soal keputusannya menjadi bakal calon gubernur
Kemudian saya kembali teringat bahwa angka pengangguran dan kemiskinan di negeri kita masih tinggi, terutama pemegang ijazah pendidikan menengah dan tinggi. Apakah kondisi ini disebabkan oleh persoalan kemauan dan tekad yang kurang, skill yang terbatas dan mental yang tidak siap serta pilih-pilih pekerjaan. Atau lapangan kerja memang yang terbatas. Ini tentunya perlu dikaji lebih mendalam.
Presiden Jokowi juga memberi perhatian terhadap masalah tenaga kerja ketika meresmikan sebuah Balai Latihan Kerja, BLK beberapa waktu lalu. Beliau mengatakan; ijazahmu tidak berguna bila engkau tidak mau membangun spirit dan tekadmu, tidak mau membangun mentalmu dan rasa ingin tau yang tinggi. Kita lagi bersaing dengan negara lain tentang kualitas sumberdaya manusia.
Peneliti senior LIPI Sitti Zohra di Liputan6.com tanggal 30 Desember 2019 mengatakan bahwa persoalan Negeri ini bukan pada radikalisme, tetapi lebih pada kondisi ketimpangan yang tinggi yaitu pengangguran dan kemiskinan yang tinggi. Karena itu ketimpangan itu harus menjadi salah satu prioritas dan perhatian pemerintah daerah dan pusat, agar tidak menimbulkan masalah-masalah yang lebih kepada ancaman disingtegrasi.
Tahun 2020 di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota akan melaksanakan pilkada, memilih kepala daerah dan wakilnya. Tentunya pasangan yang terpilih diharapkan mampu melahirkan generasi yang tahan banting, generasi yang bukan 'kaleng-kaleng' seperti Tresya Silvana, sarjana Bahasa Inggris, si wanita penjaja 'kopi bisa pasiar' di Kota Palu. Dibutuhkan sejumlah Tresya-Tresya lain yang lebih banyak lagi. Sumberdaya seperti Tresya tentunya akan memiliki banyak informasi, chalanges sebagai modal dasar untuk mengembangkan dirinya menjadi pelaku usaha yang besar dan sukses.
Politik transaksional yang selama ini masif berlangsung dikuatirkan oleh sejumlah orang masih mendominasi proses Pilkada 2020. Kita semua berharap tentunya sudah tidak demikian lagi sehingga akan melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas (ada konteks dan kontent) yang antara lain mampu mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, mampu membuka lapangan kerja, dan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusive atau berkualitas.
Kesemua ini berpulang kepada sang pemilik hak suara dan sang pemilik hak usung. Tidak sekedar hanya memenangkan pertandingan. SEMOGA.
Berlokasi di tempat strategis, dan biasanya untuk nongkrong sejumlah orang. Mulai dari sekedar menikmati kopi sambil ketemuan tanpa topik, sampai mendiskusikan problem sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan. Bahkan transaksi yang disebut dengan istilah Palugada - apa lu mau, gua ada.
Di era disrupsi yang ditandai dengan industri digital, bisnis konvensional seperti taxi argometer telah berbagi dengan taxi aplikasi seperti Grab dan Gojek yang membuka kesempatan kerja lebih banyak, memberi kemudahan kepada pengguna karena tidak perlu menunggu di pinggir jalan.
Warkop juga terlihat mulai terdiferensiasi dari statis ke mobile yang dijajakan dengan kendaraan bermotor roda dua seperti yang mulai berkembang di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Bisa jadi diferensiasi ini karena sekedar mengikuti trend atau memang sebuah tuntutan dan kebutuhan. Menarik untuk menjadi studi atau praktek pelajaran tertentu bagi siswa pendidikan menengah atau strata satu.
Jumat tanggal 3 Januari 2020, seperti biasa selesai olahraga pagi bersama hampir seluruh pegawai, tiba-tiba melintas sebuah sepeda motor dengan boncengan box seperti penjaja bakso, kemudian memarkir roda duanya di halaman kantor persis disamping gedung utama. Beberapa pegawai utamanya pria menuju ke motor roda dua itu. Reka dalam pikiran saya 'dasar bapak-bapak', karena penjajanya wanita muda yang tampil menarik maka mereka sepertinya berebutan menyerbu.
Saya kemudian agak penasaran dan bertanya kepada salah satu staf, dagangan apa itu.....?. Kemudian dijawab anu pak.... kopi bisa pasiar. Eh... apa itu!! dan membuat saya ingin tau lebih jauh dan akhirnya ikut mendekat. Yang pertama saya lihat adalah tulisan di lambung box dagangannya tertulis 'kopi bisa pasiar' lengkap dengan nomor kontak dan whatsaap. Dalam hati saya berkata boleh juga taglinenya.!
Assalamualaikum mbak, apa boleh bertanya? Oh silahkan pak. Usaha 'kopi bisa pasiar' ini milik mbak? Oh.. oh bukan pak, ada bosnya, saya hanya menjalankannya. Saya tanya lebih lanjut berapa harga per gelas, berapa omset per hari dan bagaimana sistem gajinya atau kerja samanya. Si mbak seperti ragu-ragu menjawab. Mungkin dikira saya ingin mengetahui racikan kopinya yang memang sudah banyak penggemarnya. Setelah salah satu staf saya berucap mbak, bapak ini komandan di tempat ini.
Si mbak menoleh ke saya dan berkata maaf sekali pak, modal saya hanya motor dan bensin, kemudian saya jajakan racikan kopi yang sudah disiapkan pemiliknya yang tersimpan dalam sebuah termos berinsulasi agar tetap panas.
Dalam seminggu saya menjajakan kopi Senin sampai Jumat (09.00-12.00) rata-rata habis 40 cup per hari. Saya medapat bagian 1.000 rupiah dari harga 10.000 per cup. Saya mengangguk-anggukan kepala. Dan dalam hati berkata very good woman bukan 40 ribu rupiah tujuanmu tetapi ada sesuatu yang lebih dahsyat di balik itu.
Baca juga: Management by accident versus by planning
Baca juga: Melahirkan generasi yang bukan 'kaleng-kaleng'
Sarjana Bahasa Inggris
Karena tampilannya menarik ala milenial style, ditambah tutur bahasanya agak intelek sambil mencicipi kopi yang memang enak, membuat saya terpancing bertanya lagi. Mohon maaf mbak pendidikan akhirnya apa ya?. Tanpa malu-malu dia menjawab oh..... saya sarjana bahasa Inggris pak lulusan perguruan tinggi negeri sini tahun 2008. Kalau sore saya juga berikan les privat. Tapi sekarang agak sepi, mungkin pengaruh online privat.
Saya agak terkejut dan dalam hati berkata lagi; luar biasa mbak ini, meskipun memegang ijasah sarjana strata satu, tidak ada gengsi dan mau menjajakan kopi. Kemudian saya permisi kepada si mbak. Boleh saya jadikan artikel profesi mbak ini? Si mbak hanya tersenyum malu-malu dengan raut muka agak merah berarti bisa setuju atau tidak setuju. Setelah sejumlah staf mengatakan mbak, bapak ini selain bos kami, juga suka menulis. Si mbak kemudian menoleh ke saya lagi dan sedikit menunduk, terima kasih dan boleh pak.
Saya mulai mengolah fenomena performase si mbak maupun informasi yang baru saja saya terima. Kemudian muncul kesimpulan sementara dipikiran saya bahwa di era digitalisasi seperti ini ternyata ijazah dengan nilai tinggi sekalipun tidak lagi menjadi faktor yang menentukan, tetapi lebih kepada kemauan dan tekad, skill dan mental yang kuat membuat orang bisa survive dan berujung kepada terbangunnya kekuatan daerah dan negara untuk bisa maju karena memiliki sejumlah sumberdaya manusia yang kuat. Ini tentunya menjadi keinginan kita.
Baca juga: Kelor di tengah kemiskinan dan stunting, peluang dan tantangan pascabencana
Baca juga: Ini kata Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP soal keputusannya menjadi bakal calon gubernur
Kemudian saya kembali teringat bahwa angka pengangguran dan kemiskinan di negeri kita masih tinggi, terutama pemegang ijazah pendidikan menengah dan tinggi. Apakah kondisi ini disebabkan oleh persoalan kemauan dan tekad yang kurang, skill yang terbatas dan mental yang tidak siap serta pilih-pilih pekerjaan. Atau lapangan kerja memang yang terbatas. Ini tentunya perlu dikaji lebih mendalam.
Presiden Jokowi juga memberi perhatian terhadap masalah tenaga kerja ketika meresmikan sebuah Balai Latihan Kerja, BLK beberapa waktu lalu. Beliau mengatakan; ijazahmu tidak berguna bila engkau tidak mau membangun spirit dan tekadmu, tidak mau membangun mentalmu dan rasa ingin tau yang tinggi. Kita lagi bersaing dengan negara lain tentang kualitas sumberdaya manusia.
Peneliti senior LIPI Sitti Zohra di Liputan6.com tanggal 30 Desember 2019 mengatakan bahwa persoalan Negeri ini bukan pada radikalisme, tetapi lebih pada kondisi ketimpangan yang tinggi yaitu pengangguran dan kemiskinan yang tinggi. Karena itu ketimpangan itu harus menjadi salah satu prioritas dan perhatian pemerintah daerah dan pusat, agar tidak menimbulkan masalah-masalah yang lebih kepada ancaman disingtegrasi.
Tahun 2020 di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota akan melaksanakan pilkada, memilih kepala daerah dan wakilnya. Tentunya pasangan yang terpilih diharapkan mampu melahirkan generasi yang tahan banting, generasi yang bukan 'kaleng-kaleng' seperti Tresya Silvana, sarjana Bahasa Inggris, si wanita penjaja 'kopi bisa pasiar' di Kota Palu. Dibutuhkan sejumlah Tresya-Tresya lain yang lebih banyak lagi. Sumberdaya seperti Tresya tentunya akan memiliki banyak informasi, chalanges sebagai modal dasar untuk mengembangkan dirinya menjadi pelaku usaha yang besar dan sukses.
Politik transaksional yang selama ini masif berlangsung dikuatirkan oleh sejumlah orang masih mendominasi proses Pilkada 2020. Kita semua berharap tentunya sudah tidak demikian lagi sehingga akan melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas (ada konteks dan kontent) yang antara lain mampu mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, mampu membuka lapangan kerja, dan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusive atau berkualitas.
Kesemua ini berpulang kepada sang pemilik hak suara dan sang pemilik hak usung. Tidak sekedar hanya memenangkan pertandingan. SEMOGA.