GPEI Minta Pemerintah Tinjau Bea Ekspor Kakao

id kakao

GPEI Minta Pemerintah Tinjau Bea Ekspor Kakao

Buah kakao berkualitas yang banyak dihasilkan oleh petani Sulawesi Tegah (ANTARA/Irwansyah)

Bea keluar juga perlu dipertimbangkan agar ditinjau ulang. Bukan dihapus tetapi diubah dari nilai dolar menjadi rupiah
Palu,  (antarasulteng.com) - Ketua DPD Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Sulawesi Tengah Herman Agan mengatakan bahwa pihaknya meminta pemerintah meninjau bea impor kakao dan harus dibarengi dengan peninjauan kembali bea ekspor komoditas andalan Sulawesi Tengah itu.

"Bea keluar juga perlu dipertimbangkan agar ditinjau ulang. Bukan dihapus tetapi diubah dari nilai dolar menjadi rupiah," katanya di Palu, Minggu.

Herman mengatakan bahwa bea ekspor yang ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67.pmk.001/2010 tanggal 22 Maret 2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea biji kakao sebaiknya tidak mengikuti fluktuasi harga kakao dunia.

"Sebaiknya berlaku flat, misalnya lima persen. Berapapun harga kakao dunia, y8t keluar tetap lima persen dan ditetapkan dalam hitungan rupiah," katanya.

Berdasarkan Permenkeu tersebut bea keluar kakao ditetapkan sebesar nol persen jika harga kakao dunia kurang dari 2.000 USD per ton, sedangkan harga di atas 2.000 USD sampai 2.750 USD per ton dikenakan tarif lima persen, 2.750 USD sampai 3.500 USD per ton sebesar 10 persen dan di atas 3.500 USD per ton sebesar 15 persen.

"Pengalaman kami selama ini harga kakao dunia tidak pernah di bawah 2.000 USD per ton," katanya.

Mantan Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Sulawesi Tengah itu mengatakan akibat dari peraturan tersebut berdampak pada petani. Sebab walaupun harga kakao dunia melonjak tajam, petani tetap sulit menikmati harga yang tinggi.

"Eksportir tetap memperhitungkan tarif bea keluar pada pembelian harga domestik. Walaupun harga kakao dunia naik, eksportir tetap saja untung," katanya.

Herman berharap saatnya sekarang pemerintah mempertimbangkan bea ekspor kakao mengingat industri dalam negeri juga semakin baik.

"Berapapun harga kakao dunia, tarifnya flat. Sehingga ini juga bisa memberi dampak positif pada petani dan eksportir," katanya.

Sebelumnya Menteri Pertanian RI berencana meninjau kembali tarif bea impor kakao yang sebelumnya ditetapkan sebesar lima persen.

Langkah itu dilakukan mengingat semakin baiknya iklim industri dalam negeri sementara produksi kakao dalam negeri terus menurun.

Saat ini total kapasitas terpasang dari perusahaan pengolahan biji kakao dalam negeri, termasuk kapasitas terpasang perusahaan yang mati suri, mencapai 850.000 ton per tahun, sementara produksi terus merosot.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi kakao nasional 2010 sebanyak 837.918 ton, dan turun menjadi 712.231 ton pada tahun 2011.(skd)