Kantor Perwakilan RI sebagai Agen Pemasaran buat Indonesia

id Cape Town,Afrika Selatan,Perwakilan Indonesia,KJRI Cape Town,Hubungan Dagang

Kantor Perwakilan RI sebagai Agen Pemasaran buat Indonesia

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyampaikan sambutan di Forum Bisnis Indonesia-Kuwait di Gedung Kamar Dagang dan Industri Kuwait di Kuwait City pada Senin (2/9/2019). (Kemlu RI)

Cape Town (ANTARA) - Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan pentingnya peran perdagangan (ekspor) dan investasi (substitusi impor). Dalam pernyataan pers tahunannya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga menyampaikan salah satu prioritas politik luar negeri adalah penguatan diplomasi ekonomi.

Bagaimana peran Kantor Perwakilan RI sebagai salah satu garda terdepan diplomasi ekonomi Indonesia ? Kantor Perwakilan RI saat ini mengadaptasi dirinya sesuai dengan kebutuhan Indonesia, dengan menjadi “agen-agen pemasaran”.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekspor Indonesia dalam lima tahun terakhir relatif positif: 4,4%.

Terlepas dari tantangan realisasinya, tingkat investasi Indonesia juga menjanjikan dengan prediksi rata-rata tahunan lebih dari 10% (2020-2024). Hal ini tidak akan dapat diwujudkan jika peran pemasaran hanya dijalankan oleh beberapa institusi saja. Oleh karena itu, koordinasi agar tidak tumpang tindih dan penguatan peran Kantor Perwakilan RI menjadi sangat penting.

Dilihat dari berbagai aspek, Indonesia siap “bertarung” di kancah ekonomi internasional. Di sisi perdagangan, produk Indonesia kerap diminati di berbagai negara. Kualitasnya semakin kompetitif bila dibandingkan dengan negara lain, dengan harga yang relatif terjangkau pula.

Indonesia juga memiliki reputasi pariwisata yang terus mendunia dengan kekayaan alam dan budayanya. Berbagai destinasi pariwisata di luar Bali juga marak dikunjungi. Sedangkan dari sisi investasi, masa keemasan Indonesia melalui bonus demografi menjadi potensi jangka panjang yang menjanjikan.

Kondisi politik maupun ekonomi yang relatif kondusif, menghasilkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap pertumbuhan ekonomi. Ditambah dengan para pelaku industri dalam negeri yang semakin agresif melakukan ekspansi melalui ekspor dan investasi. Tidak sedikit pula UKM-UKM Indonesia yang mampu bersaing di pasar internasional.

Pandemik COVID-19 memang memberikan turbulensi kencang terhadap perekonomian dunia. Meskipun begitu, di tengah penanganan masalah tersebut, “rehat global” yang terjadi dapat menjadi kesempatan berbenah menuju new normal. Momentum ini menjadi krusial dalam melakukan adaptasi bagi Kantor Perwakilan RI.
Kantor Perwakilan sebagai “Comblang Ekonomi” Indonesia

Prinsip dasar diplomasi ekonomi yang dijalankan oleh Kantor Perwakilan RI adalah sebagai “comblang”, mempertemukan antara penjual dengan pembeli. Penjualnya adalah pemasok atau produsen Indonesia yang memiliki daya saing, sedangkan pembelinya adalah calon mitra potensial yang ada di negara akreditasi.

Proses mempertemukannya tidak dapat lagi sekedar menunggu permintaan, melainkan “menjemput bola” dan “mengetuk pintu” dengan mempromosikan merek/ perusahaan kepada calon mitra potensial, berdasarkan pemetaan awal. Untuk itu, komunikasi yang terjalin antara Kantor Perwakilan-calon pemasok-calon mitra dibangun secara proaktif.

Dalam mewujudkan diplomasi ekonomi yang mumpuni, ada tiga transformasi yang perlu dilakukan. Pertama, transformasi pola pikir yang merupakan komponen utama, namun paling sering diabaikan. Pekerjaan sehari-hari seringkali membuat pegawai terbiasa dengan ritme dan proses kerja yang ada.

Hal ini membentuk pola pikir, yang mungkin belum menempatkan ekonomi sebagai salah satu fokusnya. Perubahan pola pikir perlu diinisiasi melalui pimpinannya, mengingat pimpinan menjadi nahkoda dalam mengarahkan sekaligus menjadi contoh bagi pegawai lainnya.

Untuk menjadi seorang “agen pemasaran” diperlukan pola pikir yang lebih jeli dalam melihat peluang, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, serta mental yang tidak cepat menyerah; sehingga Kantor Perwakilan mampu lebih cepat memahami perspektif calon pemasok maupun mitra potensial.

Kedua, transformasi budaya kerja. Memiliki budaya kerja yang intuitif adalah kunci dalam memasarkan Indonesia. Sebagai pegawai Kantor Perwakilan penting untuk dapat secara proaktif “menawarkan” Indonesia kepada calon mitra. Tentunya, jika ada kebutuhan yang masuk, dapat secara cepat difasilitasi dan ditindaklanjuti kepada calon pemasok atau penerima manfaat lainnya.

Ketiga, transformasi pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja masih secara normatif berkutat pada terpenuhinya suatu program kegiatan. Di sisi lain, indikator kinerja utama yang bersifat kuantitatif lainnya menjadi terabaikan. Apabila indikator yang ada dirasakan belum meliputi, maka dapat didefinisikan dan disepakati indikator-indikator pendukung, yang dapat memacu dan meningkatkan kualitas dari program kegiatan tersebut.

Indikator-indikator pendukung tersebut pun mesti terukur, representatif, dan realistis. Artinya, indikator-indikator dari suatu kinerja dapat diinterpretasikan dalam suatu nilai, memberikan gambaran kesuksesan suatu program, serta memungkinkan untuk dijangkau.

Penentuan target yang terlalu tinggi juga akan berdampak kepada penurunan motivasi dari pegawai. Sebagai contoh, indikator kinerja yang tercatat adalah diselenggarakannya pameran. Apabila indikator kinerja itu saja, maka akan sulit diketahui efektivitas dan dampak dari penyelenggaraannya. Sehingga, penambahan indikator-indikator pendukung seperti tingkat kepuasan, tindak lanjut atau prospek yang dihasilkan dari penyelenggaraan acara, atau sekedar tingkat pengetahuan peserta terhadap konten dari pameran yang diselenggarakan menjadi penting untuk review dan revise pada program yang sama selanjutnya.


Kiat Menjadi “Kantor Pemasaran” Indonesia

Berbagai transformasi yang dilakukan Kantor Perwakilan tersebut perlu diikuti dengan langkah-langkah taktis. Paling tidak terdapat enam tahapan yang perlu dilakukan agar misi menjadi “Kantor Pemasaran” Indonesia dapat terwujud. Tahapan tersebut antara lain adalah studi inisial, pencarian prospek, presentasi, perkenalan , pemantauan, dan pencatatan.

Studi inisial merupakan tahap yang pertama dan krusial dalam mengidentifikasi sektor yang potensial untuk ekspor, berpotensi mendatangkan investasi, sekaligus membuka jalur pariwisata ke Indonesia. Studi yang dilakukan pun tidak hanya berdasarkan nilai ekspor, investasi maupun kunjungan saja, tetapi perlu dikomparasi dengan kompetitor (negara) lain, sehingga dapat diketahui daya saingnya. Studi awal juga diperlukan untuk identifikasi pemasok potensial dari Indonesia, sehingga dapat dibekali dengan pemahaman bisnis atau produk.

Sebagai contoh di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Cape Town, studi dilakukan lebih awal, mulai dari sebelum posting. Diawali dengan analisis data perdagangan antara Afrika Selatan dengan Indonesia, kemudian dilakukan identifikasi sektor-sektor yang berpeluang untuk melakukan ekspor. Hal penting yang perlu dicermati bahwa analisis yang dilakukan juga perlu membandingkan proporsi terhadap ASEAN atau dunia, sehingga dapat diketahui pesaing Indonesia.

Misalnya Cocoa, cukup kompetitif bila dibandingkan dengan total impor Afrika Selatan dari negara ASEAN lainnya (40%), dan dunia (9%), dengan pertumbuhan positif (3%), dan melebihi pertumbuhan impor dari negara ASEAN dan dunia.

Namun, perlu diwaspadai pula bahwa analisis neraca perdagangan seringkali akan membuat terjebak pada produk hulu/mentah (komoditas, energi, dsb.). Padahal, Presiden RI menyatakan agar memperkuat produk hilir (produk setengah jadi atau produk jadi) supaya nilai tambah dapat dirasakan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu didalami kembali analisis neraca perdagangan yang dilakukan.

Tidak hanya berkutat dengan data saja, sebagai ‘agen pemasaran’ perlu untuk melakukan pendekatan ke calon pemasok, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan. Dengan begitu, pemahaman perusahaan dan produk akan lebih fasih dan nantinya akan berguna di tahapan-tahapan selanjutnya.

Sebagai contoh, rempah merupakan salah satu potensi ekspor Indonesia ke Afrika Selatan. Pendekatan ke calon pemasok di Indonesia pun dilakukan, termasuk ke Kepala-Kepala Daerah, agar lebih mendalami pengetahuan terhadap produk. Selain itu, dapat diketahui pula tantangan-tantangan yang dihadapi calon pemasok dalam melakukan ekspor selama ini, sehingga bentuk dukungan yang akan diperlukan nantinya dapat teridentifikasi sejak awal.

Kedua, pencarian prospek melalui extended network dari Kantor Perwakilan, mulai dari daftar kontak dari staf lokal hingga mitra yang sudah pernah menjalin kerjasama dengan Indonesia.

Seringkali kerjasama telah atau pernah terjalin antara pengusaha di Indonesia dengan mitra di wilayah akreditasi. Hal ini menjadikan proses pengenalan produk Indonesia menjadi lebih mudah, termasuk melakukan cross-selling (menawarkan produk lain).

Di Cape Town terdapat beberapa mitra yang pernah atau sedang melakukan kerja sama dengan pemasok dari Indonesia, sehingga mereka lebih terbuka untuk bekerja sama dengan pemasok Indonesia karena sudah akrab dengan produk Indonesia.

Cara yang tidak lumrah dilakukan perlu dibiasakan. Pegawai di KJRI Cape Town sekarang ini mulai membiasakan diri untuk berani datang dan “ketok pintu” perusahaan-perusahaan mencari kontak dari buyer perusahaan. Meskipun berpotensi ditolak, tapi hal tersebut adalah pembelajaran karena tidak pernah ada proses penjualan tanpa proses penolakan.

Meskipun tidak secara rinci, Kantor Perwakilan perlu memahami kunci-kunci utama dari pemahaman produk atau jasa, agar dapat memberikan penjelasan singkat yang berpotensi menimbulkan ketertarikan. Dari situ, calon mitra akan mempelajari produk-produk yang cocok dengan portofolio mereka dan selera pasar. Sebab, calon mitra seringkali memiliki waktu yang sangat terbatas, apalagi bila belum ada kebutuhan atau skala bisnisnya yang sangat besar.

Dalam masa lockdown di Afrika Selatan, pegawai KJRI Cape Town tetap melakukan pengenalan melalui email dan medsos lainnya. Meskipun dengan pembatasan pergerakan tersebut, terbukti masih ada buyer perusahaan-perusahaan yang memberikan tanggapan dan masih dapat berkoordinasi.

Setelah kebutuhan diidentifikasi dan perkenalan produk atau jasa dilakukan, tahap kelima adalah perkenalan terhadap kontak masing-masing institusi, baik calon pemasok di Indonesia maupun calon mitra negara tujuan, hingga terjadinya transaksi dagang.

Hal yang perlu dicermati, kontak yang diperlukan mesti tepat. Kontak yang tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya akan menghambat kecepatan potensi transaksi. Sampai tahap ini, proses “comblang” bisa dibilang selesai.

Namun, ada baiknya tiap Kantor Perwakilan ikut terus memantau secara berkala, mendapatkan pembaruan terkait status dari potensi transaksi tersebut. Karena, dalam prosesnya terkadang diperlukan kembali intervensi Kantor Perwakilan untuk menjadi penengah bagi kedua belah pihak. Tahap terakhir yang tidak kalah pentingnya: pencatatan.

Hal ini dimaksudkan agar adanya institutional memory dari transaksi atau investasi yang terjadi, sehingga bermanfaat bagi pengelolaan informasi di masa yang akan datang. Dengan begitu, pergerakan dari perkembangan hubungan ekonomi bilateral di wilayah akreditasi dapat dicermati sebagai bekal pengambilan kebijakan.

Melalui langkah-langkah perubahan, arahan Pusat, komitmen Kepala Kantor Perwakilan, serta kerja keras dari para pegawai, akan dapat sepenuhnya mendukung diplomasi ekonomi sebagai salah satu prioritas politik luar negeri Indonesia.

* M Siradj Parwito saat ini menjabat sebagai Konjen RI di Cape Town, Afrika Selatan.