Ahli: UU Cipta Kerja berisiko makin rentankan kelas pekerja
Jakarta (ANTARA) - Ahli dari pihak pemohon, dosen Ilmu Sosial dan Politik UGM Amalinda Savirani, menilai Undang-Undang Cipta Kerja berisiko membuat kaum kelas pekerja makin rentan.
Pernyataan itu disampaikan dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin, terkait dengan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Adapun perkara bernomor 168/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), serta Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
Dalam permohonannya, mereka mengajukan 71 petitum yang pada intinya meminta MK membatalkan pasal-pasal terkait dengan sektor ketenagakerjaan dalam revisi UU Cipta Kerja. Selain itu, pihaknya meminta agar MK mengembalikan norma yang sudah dicabut.
Pada mulanya, Amalinda menjelaskan bahwa tren demografi di Indonesia adalah terus meningkatnya populasi tenaga muda yang akan memasuki lapangan pekerjaan.
Menurut dia, apabila penentuan UU Cipta Kerja tidak sensitif pada kesejahteraan kelompok tersebut, akan menghasilkan kelas pekerja yang berisiko sangat rentan terkait dengan hak mereka sebagai pekerja.
Amalinda menyebutkan tiga hal yang membuat buruh dalam posisi rentan, yaitu pengurangan kesejahteraan buruh, mekanisme penentuan upah, dan formula penentuan upah.
Dalam UU Cipta kerja, kata ahli, terdapat hal-hal yang mengurangi kesejahteraan buruh, yaitu penentuan upah minimum, penghapusan aturan pesangon, aturan outsourcing tanpa batas, dan pemotongan uang pesangon.
Ia juga menyoroti penentuan upah dalam UU Cipta Kerja yang tidak lagi melibatkan dewan pengupahan atau forum tripartit dan meminimalkan peran serikat pekerja.
"Padahal, peran serikat pekerja adalah sangat sentral dalam upaya mendorong kesejahteraan kelompok pekerja melalui peran-peran aktifnya secara kolektif. Forum yang sangat demokratis ini justru tidak lagi ada dalam penentuan upah,” ujarnya
Terakhir, dalam aspek formula penentuan upah, dia mengkritisi penentuan yang menggunakan tiga variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan "indeks tertentu".
Ahli menilai variabel "indeks tertentu" berisiko membuat buruh rentan karena tidak disebutkan siapa yang menentukan.
Dalam sidang tersebut, dia lantas merekomendasikan agar frasa tersebut dihapus atau ditegaskan penentuannya untuk memastikan hak pekerja dalam konteks pemberian upah.
Selain tiga hal tersebut, Amalinda juga menyoroti kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada warga negara sendiri dan keberpihakan pada tenaga kerja asing.
"Dua konteks tersebut, yakni ekonomi dan demografi, sangat penting untuk dipertimbangkan oleh majelis hakim Konstitusi terkait dengan revisi UU ini," ujarnya.
Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemohon itu dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra. Hakim yang mendampingi adalah Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Guntur Hamzah, dan Arsul Sani.
Pernyataan itu disampaikan dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin, terkait dengan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Adapun perkara bernomor 168/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), serta Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
Dalam permohonannya, mereka mengajukan 71 petitum yang pada intinya meminta MK membatalkan pasal-pasal terkait dengan sektor ketenagakerjaan dalam revisi UU Cipta Kerja. Selain itu, pihaknya meminta agar MK mengembalikan norma yang sudah dicabut.
Pada mulanya, Amalinda menjelaskan bahwa tren demografi di Indonesia adalah terus meningkatnya populasi tenaga muda yang akan memasuki lapangan pekerjaan.
Menurut dia, apabila penentuan UU Cipta Kerja tidak sensitif pada kesejahteraan kelompok tersebut, akan menghasilkan kelas pekerja yang berisiko sangat rentan terkait dengan hak mereka sebagai pekerja.
Amalinda menyebutkan tiga hal yang membuat buruh dalam posisi rentan, yaitu pengurangan kesejahteraan buruh, mekanisme penentuan upah, dan formula penentuan upah.
Dalam UU Cipta kerja, kata ahli, terdapat hal-hal yang mengurangi kesejahteraan buruh, yaitu penentuan upah minimum, penghapusan aturan pesangon, aturan outsourcing tanpa batas, dan pemotongan uang pesangon.
Ia juga menyoroti penentuan upah dalam UU Cipta Kerja yang tidak lagi melibatkan dewan pengupahan atau forum tripartit dan meminimalkan peran serikat pekerja.
"Padahal, peran serikat pekerja adalah sangat sentral dalam upaya mendorong kesejahteraan kelompok pekerja melalui peran-peran aktifnya secara kolektif. Forum yang sangat demokratis ini justru tidak lagi ada dalam penentuan upah,” ujarnya
Terakhir, dalam aspek formula penentuan upah, dia mengkritisi penentuan yang menggunakan tiga variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan "indeks tertentu".
Ahli menilai variabel "indeks tertentu" berisiko membuat buruh rentan karena tidak disebutkan siapa yang menentukan.
Dalam sidang tersebut, dia lantas merekomendasikan agar frasa tersebut dihapus atau ditegaskan penentuannya untuk memastikan hak pekerja dalam konteks pemberian upah.
Selain tiga hal tersebut, Amalinda juga menyoroti kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada warga negara sendiri dan keberpihakan pada tenaga kerja asing.
"Dua konteks tersebut, yakni ekonomi dan demografi, sangat penting untuk dipertimbangkan oleh majelis hakim Konstitusi terkait dengan revisi UU ini," ujarnya.
Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemohon itu dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra. Hakim yang mendampingi adalah Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Guntur Hamzah, dan Arsul Sani.