"Menurut termohon (KPK), pemohon tidak memiliki status kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan praperadilan a quo (ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) karena pemohon (MAKI) belum mempunyai surat keterangan terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) dan tidak berbadan hukum," kata Koordinator Tim Biro Hukum KPK Iskandar Marwanto dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa.
Iskandar menyampaikan KPK berpandangan kedudukan hukum yang disebutkan MAKI dalam permohonannya, yakni sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas), tidak seperti yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang (UU Ormas).
Selain itu, ketentuan terkait ormas diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Berdasarkan berbagai ketentuan tersebut, lanjut Iskandar, diketahui bahwa suatu ormas yang hendak melakukan tindakan hukum secara sah, seperti pengajuan permohonan atau gugatan hukum, harus memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) dari menteri dalam negeri. SKT ormas itu pun harus masih berlaku saat perkara didaftarkan dan sidang berlangsung.
Sementara itu, SKT MAKI sudah tidak berlaku sejak 9 November 2017.
Dengan demikian, Tim Biro Hukum KPK menilai MAKI tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan praperadilan ke PN Jakarta Selatan terkait penghentian penyidikan atas dugaan penerimaan gratifikasi yang dilakukan Lili Pintauli.
"Saat pemohon (MAKI) mengajukan pendaftaran perkara praperadilan a quo pada PN Jaksel, yang teregistrasi dengan Nomor 16/Pid.Pra/2023/PN.Jkt.Sel, secara jelas dan nyata diketahui SKT yang dimiliki pemohon sudah tidak berlaku sejak 9 November 2017. Hal ini mengakibatkan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan praperadilan a quo," ujar Iskandar.
Sebelumnya, pada Maret 2022, Lili Pintauli diduga menerima gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton perhelatan MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB), dari PT Pertamina (Persero).
Berikutnya, pada Kamis tanggal 30 Juni 2022, Lili Pintauli mengirimkan surat pengunduran diri sebagai pimpinan KPK ke Presiden Joko Widodo di tengah beredarnya isu tersebut.
Pengunduran diri Lili itu dilakukan sesaat sebelum Dewan Pengawas (Dewas) KPK melakukan sidang etik terhadapnya.
Dengan demikian, Dewas KPK menyatakan sidang dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli gugur menyusul terbitnya keputusan presiden tentang pemberhentian Lili sebagai Wakil Ketua KPK.