Kejati Sulteng terapkan keadilan restoratif untuk dua kasus pidana
Palu (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Sulawesi Tengah(Sulteng) menerapkan keadilan restoratif (restorative justice), untuk dua kasus tindak pidana di Sulteng.
"Penerapan keadilan restoratif melihat pada esensi dengan menerapkan sisi humanis," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulteng La Ode Abdul Sofian di Palu, Senin.
Dia menjelaskan pertimbangan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, karena kedua perkara itu telah ada kesepakatan berdamai tanpa syarat, ancaman pidana perkara tidak lebih dari lima tahun, masyarakat merespon positif dan tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Kata dia, proses penghentian penuntutan sebuah perkara dengan menerapkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Lanjut dia, prosesnya melalui beberapa tahapan dan dilakukan secara berjenjang dari jaksa penuntut umum ke kejaksaan negeri, dilanjutkan ke asisten tindak pidana umum (Aspidum). Selanjutnya Kejati melakukan gelar perkara di hadapan jaksa agung muda tindak pidana umum, hingga akhirnya diputuskan apakah dihentikan atau diteruskan ke persidangan.
Penghentian perkara tindak pidana dipimpin langsung oleh Wakil Kepala Kejati Sulteng Zullikar Tanjung didampingi Aspidum Fithrah.
Kasus pertama terjadi di Desa Tongko, Kabupaten Poso, dengan tersangka bernama Nur Ikhwan alias Wawan. Dia menjadi tersangka untuk kasus pencurian dua unit mesin pemotong rumput dan telah menjual satu unit. Dia diancam pidana dengan Pasal 362 KUHP.
Kejari Negeri Poso melalui jaksa penuntut umum mencoba melakukan mediasi dan mempertemukan tersangka dengan korban serta disaksikan oleh pihak keluarga serta tokoh agama dan tokoh masyarakat. Tersangka dan korban akhirnya berdamai dan bersepakat untuk tidak melanjutkan perkaranya ke persidangan.
Perkara selanjutnya, terjadi pada Cabang Kejaksaan Negeri Poso di Tentena dengan tersangka San Tolaki alias Papa Irfan. Dia mengambil satu karung biji coklat milik saksi korban Lalong Bare alias Papa Lili dan menjual ke toko milik saksi Pilipus Amsel Pagiling.
Akibat perbuatan tersebut tersangka terancam Pasal 367 ayat 2 KUHPidana subsider Pasal 362. Mengingat bahwa tersangka dan saksi korban masih memiliki hubungan keluarga, dimana ibu tersangka merupakan saudara kandung dari istri korban, dengan kata lain hubungan paman dan keponakan, jaksa penuntut umum kembali melakukan upaya proses perdamaian. Tersangka dan saksi korban sepakat untuk berdamai.
"Penerapan keadilan restoratif melihat pada esensi dengan menerapkan sisi humanis," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulteng La Ode Abdul Sofian di Palu, Senin.
Dia menjelaskan pertimbangan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, karena kedua perkara itu telah ada kesepakatan berdamai tanpa syarat, ancaman pidana perkara tidak lebih dari lima tahun, masyarakat merespon positif dan tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Kata dia, proses penghentian penuntutan sebuah perkara dengan menerapkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Lanjut dia, prosesnya melalui beberapa tahapan dan dilakukan secara berjenjang dari jaksa penuntut umum ke kejaksaan negeri, dilanjutkan ke asisten tindak pidana umum (Aspidum). Selanjutnya Kejati melakukan gelar perkara di hadapan jaksa agung muda tindak pidana umum, hingga akhirnya diputuskan apakah dihentikan atau diteruskan ke persidangan.
Penghentian perkara tindak pidana dipimpin langsung oleh Wakil Kepala Kejati Sulteng Zullikar Tanjung didampingi Aspidum Fithrah.
Kasus pertama terjadi di Desa Tongko, Kabupaten Poso, dengan tersangka bernama Nur Ikhwan alias Wawan. Dia menjadi tersangka untuk kasus pencurian dua unit mesin pemotong rumput dan telah menjual satu unit. Dia diancam pidana dengan Pasal 362 KUHP.
Kejari Negeri Poso melalui jaksa penuntut umum mencoba melakukan mediasi dan mempertemukan tersangka dengan korban serta disaksikan oleh pihak keluarga serta tokoh agama dan tokoh masyarakat. Tersangka dan korban akhirnya berdamai dan bersepakat untuk tidak melanjutkan perkaranya ke persidangan.
Perkara selanjutnya, terjadi pada Cabang Kejaksaan Negeri Poso di Tentena dengan tersangka San Tolaki alias Papa Irfan. Dia mengambil satu karung biji coklat milik saksi korban Lalong Bare alias Papa Lili dan menjual ke toko milik saksi Pilipus Amsel Pagiling.
Akibat perbuatan tersebut tersangka terancam Pasal 367 ayat 2 KUHPidana subsider Pasal 362. Mengingat bahwa tersangka dan saksi korban masih memiliki hubungan keluarga, dimana ibu tersangka merupakan saudara kandung dari istri korban, dengan kata lain hubungan paman dan keponakan, jaksa penuntut umum kembali melakukan upaya proses perdamaian. Tersangka dan saksi korban sepakat untuk berdamai.