Pemkab-Sigi: Masyarakat harus ciptakan lingkungan harmonis dan damai
Sigi, Sulteng (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi, Sulawesi Tengah mengajak masyarakat senantiasa menciptakan lingkungan harmonis dan damai dari semua bentuk konflik yang terjadi di daerah itu.
Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapatta di Desa Luku, Jumat, mengatakan bahwa pemerintah daerah dalam menjaga masyarakat dari semua bentuk konflik, yaitu dengan pendekatan secara adat dan musyawarah.
"Tentunya Libu Adat Perdamaian ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik serta pertikaian antara Desa Pesaku dan Desa Rarampadende, Kecamatan Dolo Barat yang terjadi pada 9 Oktober 2024 sehingga mengakibatkan satu orang meninggal dunia," kata Irwan Lapatta.
Libu Adat berasal dari bahasa lokal Kaili di Sulawesi Tengah yang artinya Perkumpulan Adat atau Musyawarah Besar Dewan Adat di daerah itu.
Ia mengemukakan pendekatan adat dan musyawarah antar tokoh masyarakat dan pemerintah daerah serta TNI-Polri adalah langkah bersama guna meredakan ketegangan dua desa tersebut.
"Pemerintah daerah juga turut hadir dalam Libu Adat ini sebagai bentuk komitmen semua pihak dalam menjaga kedamaian serta memfasilitasi dialog antar masyarakat, dengan tujuan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kesejahteraan serta ketentraman masyarakat setempat," ucapnya.
Kata dia, pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat, serta mengutamakan pendekatan adat sebagai sarana penyelesaian konflik yang mengedepankan musyawarah dan mufakat.
"Harapannya ke depan hubungan antara kedua belah pihak masyarakat yang bertikai dapat kembali harmonis seperti sedia kala dengan bersama-sama menjaga kedamaian dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang telah diwariskan oleh para leluhur," sebutnya.
Menurutnya keberadaan para pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah, TNI-Polri dan tokoh adat dapat menjadi pilar dan memiliki perannya masing-masing dalam menjaga stabilitas keamanan dan ketentraman di Kabupaten Sigi.
"Pada intinya dengan Libu Adat ini semua proses penyelesaian konflik dapat memberikan hasil yang memuaskan bagi kedua belah pihak, serta menjadi contoh penyelesaian konflik yang mengutamakan nilai-nilai luhur adat dan kebersamaan," ujarnya.
Diketahui masing-masing kepala desa itu menandatangani surat perjanjian damai dengan sejumlah poin yaitu kedua desa sepakat untuk mengakhiri semua bentuk perselisihan yang terjadi sebelum perjanjian ditandatangani serta kedua belah pihak sepakat saling memaafkan tanpa menuntut pihak tertentu.
Selanjutnya masing-masing desa itu berjanji untuk menjaga hubungan yang baik, saling menghormati, dan menghindari potensi konflik di masa mendatang serta tidak menuntut kompensasi materiil terkait konflik sebelumnya.
"Ada sanksi jika surat perjanjian damai dilanggar yaitu pihak yang memicu perselisihan pertama kali wajib membayar denda adat berupa 12 ekor kerbau dan perlengkapan adat lainnya," bebernya.
Irwan menjelaskan bentuk perjanjian damai ini tidak meniadakan proses hukum atas tindak pidana yang mungkin muncul dari konflik sebelumnya.
"Semua orang berkomitmen menjaga ketertiban dan keamanan, baik di desa masing-masing maupun di wilayah Kabupaten Sigi secara keseluruhan," tuturnya.
Diketahui pertikaian antara kedua desa itu pada 9 Oktober 2024 yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia, dan tiga orang lainnya terkena anak panah rakitan.
Bentrokan terjadi saat salah satu masyarakat Rarampadende terkena anak panah saat melintasi Desa Pesaku sehingga membuat masyarakat di Desa Rarampadende saling balas dan menyerang satu dengan lainnya.
Warga yang meninggal dunia itu berasal dari Desa Rarampadende, Kecamatan Dolo Barat.
Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapatta di Desa Luku, Jumat, mengatakan bahwa pemerintah daerah dalam menjaga masyarakat dari semua bentuk konflik, yaitu dengan pendekatan secara adat dan musyawarah.
"Tentunya Libu Adat Perdamaian ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik serta pertikaian antara Desa Pesaku dan Desa Rarampadende, Kecamatan Dolo Barat yang terjadi pada 9 Oktober 2024 sehingga mengakibatkan satu orang meninggal dunia," kata Irwan Lapatta.
Libu Adat berasal dari bahasa lokal Kaili di Sulawesi Tengah yang artinya Perkumpulan Adat atau Musyawarah Besar Dewan Adat di daerah itu.
Ia mengemukakan pendekatan adat dan musyawarah antar tokoh masyarakat dan pemerintah daerah serta TNI-Polri adalah langkah bersama guna meredakan ketegangan dua desa tersebut.
"Pemerintah daerah juga turut hadir dalam Libu Adat ini sebagai bentuk komitmen semua pihak dalam menjaga kedamaian serta memfasilitasi dialog antar masyarakat, dengan tujuan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kesejahteraan serta ketentraman masyarakat setempat," ucapnya.
Kata dia, pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat, serta mengutamakan pendekatan adat sebagai sarana penyelesaian konflik yang mengedepankan musyawarah dan mufakat.
"Harapannya ke depan hubungan antara kedua belah pihak masyarakat yang bertikai dapat kembali harmonis seperti sedia kala dengan bersama-sama menjaga kedamaian dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang telah diwariskan oleh para leluhur," sebutnya.
Menurutnya keberadaan para pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah, TNI-Polri dan tokoh adat dapat menjadi pilar dan memiliki perannya masing-masing dalam menjaga stabilitas keamanan dan ketentraman di Kabupaten Sigi.
"Pada intinya dengan Libu Adat ini semua proses penyelesaian konflik dapat memberikan hasil yang memuaskan bagi kedua belah pihak, serta menjadi contoh penyelesaian konflik yang mengutamakan nilai-nilai luhur adat dan kebersamaan," ujarnya.
Diketahui masing-masing kepala desa itu menandatangani surat perjanjian damai dengan sejumlah poin yaitu kedua desa sepakat untuk mengakhiri semua bentuk perselisihan yang terjadi sebelum perjanjian ditandatangani serta kedua belah pihak sepakat saling memaafkan tanpa menuntut pihak tertentu.
Selanjutnya masing-masing desa itu berjanji untuk menjaga hubungan yang baik, saling menghormati, dan menghindari potensi konflik di masa mendatang serta tidak menuntut kompensasi materiil terkait konflik sebelumnya.
"Ada sanksi jika surat perjanjian damai dilanggar yaitu pihak yang memicu perselisihan pertama kali wajib membayar denda adat berupa 12 ekor kerbau dan perlengkapan adat lainnya," bebernya.
Irwan menjelaskan bentuk perjanjian damai ini tidak meniadakan proses hukum atas tindak pidana yang mungkin muncul dari konflik sebelumnya.
"Semua orang berkomitmen menjaga ketertiban dan keamanan, baik di desa masing-masing maupun di wilayah Kabupaten Sigi secara keseluruhan," tuturnya.
Diketahui pertikaian antara kedua desa itu pada 9 Oktober 2024 yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia, dan tiga orang lainnya terkena anak panah rakitan.
Bentrokan terjadi saat salah satu masyarakat Rarampadende terkena anak panah saat melintasi Desa Pesaku sehingga membuat masyarakat di Desa Rarampadende saling balas dan menyerang satu dengan lainnya.
Warga yang meninggal dunia itu berasal dari Desa Rarampadende, Kecamatan Dolo Barat.