Dokter muda Indonesia berpartisipasi garis depan COVID-19 di London

id London,Ardito Widjono,dokter indonesia,corona

Dokter muda Indonesia berpartisipasi garis depan COVID-19 di London

Pekerja NHS bereaksi di Rumah Sakit Royal London di hari terakhir kampanye 'Clap for our Carers' sebagai dukungan dari NHS, di tengah wabah penyakit virus corona (COVID-19), London, Inggris, Kamis (28/5/2020). REUTERS/Henry Nicholls/pras/djo (REUTERS/HENRY NICHOLLS)

Tak ada yang bisa memprediksi kapan corona berakhir

London (ANTARA) - Seorang dokter muda Indonesia berpartisipasi  di garis depan rumah sakit di kota London dalam melayani dan merawat  para pengidap virus corona,  yang terus menelan korban jiwa hingga saat ini.

"Tak ada yang bisa memprediksi kapan corona berakhir," kata dokter Ardito Widjono (26) kepada ANTARA London, Sabtu.

Dito, putra pertama pasangan Argo Onny Widjono dan Endang Nurdin yang bekerja di BBC Indonesia itu, bertugas di rumah sakit Barnet di London utara, salah satu rumah sakit yang  khusus merawat pasien corona  sejak akhir Maret lalu. Saat kasus infeksi COVID-19 di Inggris baru sekitar 17 ribu dengan jumlah meninggal sekitar 1.000 orang.    

Di rumah sakit itu, para dokter, termasuk  Dito, mengalami beban yang sedemikian rupa, termasuk menyaksikan banyak pasien meninggal. Mereka  mengontak atau menelpon keluarga pasien yang meninggal.

Dito,  yang berhasil menyelesaikan pendidikan pada  2017 di program studi kedokteran King's College London, awalnya bertugas di bagian ortopedi atau bedah tulang, terus dirotasi dari semua unit,  bertugas sebagai dokter  untuk anak-anak dan orang dewasa lalu  ditarik untuk bertugas di bagian gawat darurat COVID-19.

Untungnya para dokter yang bertugas di rumah sakit Barnet, khusus corona mendapat tempat tinggal semacam asrama  di dekat rumah sakit supaya mereka tidak menulari keluarga."Menjelang akhir Maret 2020, setelah menghabiskan empat bulan bekerja di bedah ortopedi, saya menerima email dari direktur medis rumah sakit yang  menjelaskan bahwa saya akan dipindahtugaskan ke bagian gawat darurat," katanya.

Dia mengatakan sebagian  besar dokter junior di rumah sakit juga  ditarik dari berbagai spesialisasi medis dan bedah untuk membentuk satu tim tenaga kerja yang bersatu melawan COVID-19.

"Saya senang dengan kepindahan tersebut dan saya merasa bisa berada di tempat yang paling dibutuhkan dan saya bangga akan dapat menggunakan keterampilan saya untuk membantu para penderita penyakit yang belum ada obatnya," ujar Dito,  yang pernah sukses menggelar promosi Indonesia bertajuk  Indonesia Weekend, di Potters Fields dengan latar Tower Bridge di depan kantor  wali kota London.

Lebih lanjut Dito mengatakan tugasnya di garis depan corona  bertepatan dengan minggu pertama  saat puncak kasus corona melanda  Inggris.Pada hari pertama bertugas, tuturnya,  terasa seperti memasuki tugas  militer dengan pengarahan sebelum pergi ke laga pertempuran.Lusinan dokter junior dan senior berkerumun di ruang khusus  untuk merumuskan rencana tugas dan tanggung jawab.

"Banyak dari kami belum pernah melihat pasien dengan gejala  COVID-19 sebelumnya dan ,beberapa dari kami  tidak bekerja di bangsal medis selama bertahun-tahun," katanya.

Namun demikian, sebagian besar dari para dokter itu bersemangat untuk menghadapi tantangan sekali seumur hidup ini, ujar Dito yang pernah menjadi komentator Sepak Bola Liga Premier, berbahasa Indonesia.

Tak semua rencana kerja yang disusun berjalan lancar. Dalam praktiknya, banyak kejadian yang tak terpikirkan sebelumnya. Sepertiga tenaga dokter harus mengisolasi diri karena diduga tertular corona. Akibatnya, setiap pagi ada perombakan besar komposisi dokter yang bertugas. Semua ini  untuk mengisi kekosongan  dalam unit kerja  dan memastikan bahwa setiap lingkungan satuan kerja memiliki staf yang memadai.

Menurut Dito, saat ia berjalan melewati lingkungan pasien corona,  setiap hari ia merasakan ketegangan, yang juga dirasakan  rekan-rekannya. Ada perasaan bahaya potensial di balik setiap pintu ke kamar  pasien dengan COVID-19. Apalagi   para petugas medis  masih ada ketidakpastian perasaan tentang spesifikasi alat pelindung diri (APD).

Rumah sakit-rumah sakit di Inggris sempat kekurangan APD sehingga dokter dan petugas medis disarankan menggunakan ulang APD yang te;ah dipakai, padahal standar medis mengharuskan sekali pakai dan buang. Namun kekurangan itu segera diatasi oleh otoritas kesehatan di Inggris dengan mengimpor APD dalam jumlah besar dari China.

Panduan untuk APD terus berkembang dan pembaruan perlengkapan medis  datang setiap beberapa hari.Setiap informasi baru yang diberikan mengenai penggunaan perangkat medis yang baru kadang  menambah kebingungan dan ada juga rasa frustrasi yang berkembang seputar kekurangan APD.

"Terlepas dari situasi keterbatasan APD, kami semua bertekad untuk memberikan pasien kami perawatan terbaik, " ujar Dito  yang meraih sarjana spesialisasi imaging sciences di tahun 2015 yang memungkinkan  mahasiswa kedokteran meraih  gelar ganda.Dito sempat bertugas selama satu tahun di University College Hospital, London dan sejak Januari  di Barnet Hospital dan pada akhir Maret khusus bertugas di bagian perawatan COVID-19.

Dito yang sempat jadi pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia  United Kingdom  dan pengurus  Young Indonesian Professionals Association (YIPA) mulai terbiasa merawat pasien corona  setelah beberapa hari bertugas. “Kami merasa lega mendapati bahwa sebagian besar pasien kami membaik dan akhirnya dipulangkan. Tetapi bagi mereka yang memburuk, itu adalah pilihan yang sulit antara  perawatan intensif atau tinggal di bangsal untuk perawatan paliatif,  memastikan mereka bisa senyaman mungkin meskipun menjelang  akhir hidup mereka," katanya.

Menurut Dito, ambang batas untuk memasuki perawatan intensif untuk ventilasi sekarang jauh lebih tinggi daripada sebelumnya. Pasien yang lebih muda lebih bertahan hidup.  Sejumlah besar pasien meninggal di bangsal,  yang sebelum pandemi  berkesempatan masuk ke  perawatan intensif .

Dito pun mengakui jumlah kematian akibat corona  tidak seperti  yang pernah disaksikannya  sebelumnya dalam kariernya. “Kami menelepon kerabat pasien setiap hari untuk menginformasikan  tentang perkembangan dan mencoba memberikan kepastian," katanya.

Menyampaikan berita bahwa seorang pasien meninggal  lewat telepon beberapa kali sehari, hampir setiap hari, merupakan beban yang memilukan, tutur Dito."Saya sering menghabiskan malam hari untuk berdoa agar i semua ini segera berakhir," kata Dito yang pada  2018 membentuk badan amal untuk kesehatan anak-anak yatim di Uganda.