Budaya di IKN harus dibangun selaras dengan infrastruktur
Jakarta (ANTARA) - Ahli Budaya dari Universitas Mulawarman, Samarinda Dr Syaiful Arifin menilai kemajuan budaya di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) harus dibangun selaras dengan pembangunan infrastruktur yang ada di wilayah tersebut.
Dalam diskusi budaya yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin, Syaiful menilai pembangunan IKN di wilayah Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur bisa menyebabkan budaya lokal masyarakat, seperti Suku Balik yang mendiami lokasi tersebut, bisa tergerus seiring banyaknya pendatang dari berbagai wilayah ke daerah tersebut, yang juga membawa budaya masing-masing.
"Selain suku Balik di Kecamatan Sepaku yang menjadi Lokasi IKN, di Kalimantan Timur, ada empat kelompok suku besar yaitu Suku Kutai, Suku Dayak, Suku Paser, dan Suku Berau. Keempat suku ini ada dua yang lingkungan tempat tinggalnya terdekat dengan lokasi pemerintahan IKN yaitu Kutai dan Paser," katanya.
Syaiful mengungkapkan hasil sensus pada 2020 menunjukkan jumlah masyarakat Suku Kutai yang berada di wilayah tersebut hanya tinggal sekitar sembilan persen, sedangkan suku tersebut memiliki banyak cerita rakyat yang memiliki nilai budaya dan kearifan lokal.
Ia menyebutkan Suku Kutai memiliki beragam sastra lisan seperti tarasul atau tarsulan, bedandeng, tingkilan, dan kenjongan atau bekenjong. Sedangkan, suku tersebut juga memiliki berbagai cerita rakyat seperti mite atau mitos, legenda, dan dongeng.
"Cerita rakyat sudah tentu mengandung muatan budaya kearifan lokal. Jadi, sangatlah disayangkan kalau cerita rakyat yang ada di lingkungan hutan tropis basah Kalimantan Timur akan sirna karena IKN," ujarnya.
Beberapa mite yang terkenal, lanjut dia, seperti mite Hantu Urang, Hantu Aer, dan Hantu Belau, telah menjadi kearifan lokal secara turun temurun, yang berfungsi mengajak anak-anak agar pulang ke rumahnya masing-masing sebelum matahari terbenam.
Di samping itu terdapat pula berbagai legenda seperti Legenda Aji Bidara Putih,Jukut Baong, Sungai Masabang, Jukut Pesut, dan lain sebagainya yang menceritakan tentang asal-muasal Suku Kutai, Kerajaan Kutai, bagaimana berperilaku terhadap alam, dan lain sebagainya.
"Beberapa cerita rakyat di Kalimantan Timur tersebut, memiliki muatan kearifan lokal yang berkaitan dengan organisasi sosial, politik, ekonomi, religi, hingga penyebaran suatu wilayah," ucapnya.
Terkait hal tersebut, sebelumnya Direktur Kebudayaan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Muhsin Palinrungi pada Jumat (6/9) menyatakan pihaknya tengah merancang program musim kehidupan untuk membangun budaya di sekitar wilayah penyangga IKN dengan melibatkan masyarakat adat.
Muhsin menjelaskan musim kehidupan memfasilitasi masyarakat adat untuk melestarikan budaya di sekitar wilayah IKN sekaligus mengoptimalkannya sebagai pengungkit untuk meningkatkan daya saing ekonomi kreatif.
"Misalnya tari-tarian lokal, hasil-hasil kerajinan tangan lokal, dibuat masyarakat lokal setempat supaya mereka bisa berkreasi di situ. Jadi bagaimana budaya-budaya lokal ini tetap dilestarikan, makanan khas lokal, kerajinan budaya juga, sehingga di samping melestarikan, juga sebagai upaya diseminasi budaya," ucap Muhsin Parulingi.
Dalam diskusi budaya yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin, Syaiful menilai pembangunan IKN di wilayah Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur bisa menyebabkan budaya lokal masyarakat, seperti Suku Balik yang mendiami lokasi tersebut, bisa tergerus seiring banyaknya pendatang dari berbagai wilayah ke daerah tersebut, yang juga membawa budaya masing-masing.
"Selain suku Balik di Kecamatan Sepaku yang menjadi Lokasi IKN, di Kalimantan Timur, ada empat kelompok suku besar yaitu Suku Kutai, Suku Dayak, Suku Paser, dan Suku Berau. Keempat suku ini ada dua yang lingkungan tempat tinggalnya terdekat dengan lokasi pemerintahan IKN yaitu Kutai dan Paser," katanya.
Syaiful mengungkapkan hasil sensus pada 2020 menunjukkan jumlah masyarakat Suku Kutai yang berada di wilayah tersebut hanya tinggal sekitar sembilan persen, sedangkan suku tersebut memiliki banyak cerita rakyat yang memiliki nilai budaya dan kearifan lokal.
Ia menyebutkan Suku Kutai memiliki beragam sastra lisan seperti tarasul atau tarsulan, bedandeng, tingkilan, dan kenjongan atau bekenjong. Sedangkan, suku tersebut juga memiliki berbagai cerita rakyat seperti mite atau mitos, legenda, dan dongeng.
"Cerita rakyat sudah tentu mengandung muatan budaya kearifan lokal. Jadi, sangatlah disayangkan kalau cerita rakyat yang ada di lingkungan hutan tropis basah Kalimantan Timur akan sirna karena IKN," ujarnya.
Beberapa mite yang terkenal, lanjut dia, seperti mite Hantu Urang, Hantu Aer, dan Hantu Belau, telah menjadi kearifan lokal secara turun temurun, yang berfungsi mengajak anak-anak agar pulang ke rumahnya masing-masing sebelum matahari terbenam.
Di samping itu terdapat pula berbagai legenda seperti Legenda Aji Bidara Putih,Jukut Baong, Sungai Masabang, Jukut Pesut, dan lain sebagainya yang menceritakan tentang asal-muasal Suku Kutai, Kerajaan Kutai, bagaimana berperilaku terhadap alam, dan lain sebagainya.
"Beberapa cerita rakyat di Kalimantan Timur tersebut, memiliki muatan kearifan lokal yang berkaitan dengan organisasi sosial, politik, ekonomi, religi, hingga penyebaran suatu wilayah," ucapnya.
Terkait hal tersebut, sebelumnya Direktur Kebudayaan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Muhsin Palinrungi pada Jumat (6/9) menyatakan pihaknya tengah merancang program musim kehidupan untuk membangun budaya di sekitar wilayah penyangga IKN dengan melibatkan masyarakat adat.
Muhsin menjelaskan musim kehidupan memfasilitasi masyarakat adat untuk melestarikan budaya di sekitar wilayah IKN sekaligus mengoptimalkannya sebagai pengungkit untuk meningkatkan daya saing ekonomi kreatif.
"Misalnya tari-tarian lokal, hasil-hasil kerajinan tangan lokal, dibuat masyarakat lokal setempat supaya mereka bisa berkreasi di situ. Jadi bagaimana budaya-budaya lokal ini tetap dilestarikan, makanan khas lokal, kerajinan budaya juga, sehingga di samping melestarikan, juga sebagai upaya diseminasi budaya," ucap Muhsin Parulingi.