Opini - Sulawesi Tengah membangun di wilayah pusaran bencana

id Hasanuddin Atjo,Ketu Ispikani Sulteng

Opini - Sulawesi Tengah membangun di wilayah pusaran bencana

Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP, Ketua Ispikani Sulteng. (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha)

Mengubah tantangan menjadi sebuah kekuatan diperlukan pemimpin yang mampu menerobos batas, pemimpin yang mampu melihat apa yang ada di balik bukit sehingga akan menjadi pemimpin yang produktif. 
Palu (ANTARA) - Membangun dan bencana adalah dua aktifitas yang dampaknya antagonis atau saling bertolak belakang. Membangun akan berdampak kepada manfaat, sedangkan bencana lebih kepada kerugian dan kehancuran. 

Menjadi pertanyaan kemudian bagaimana skenario atau strategi membangun di wilayah yang notabenenya berada di pusaran bencana.

Sulawesi Tengah adalah provinsi bercirikan kepulauan yang terdiri atas 13 kabupaten/kota. Pada satu sisi wilayah ini memiliki sumber daya alam yang sangat menjanjikan dalam hal penyediaan pangan, energi, tambang dan destinasi wisata, namun disisi lain wilayah ini berada di pusaran bencana. 

Ada dua tipe bencana yang sering mengancam wilayah ini, yaitu pertama karena 'takdir atau suratan' dan kedua karena ulah manusia. Tipe bencana yang pertama merupakan bawaan karena Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng dunia yaitu Eurasia, Indoaustralia dan Pasifik dan disebut dengan istilah wilayah Tapak Kuda atau Ring of Fire Indonesia, yaitu wilayah yang rentan dengan gempa yang ikutannya adalah tsunami dan liquifaksi serta bencana letusan gunung api. Berdasarkan peta kebencanaan, sebahagian dari wilayah Sulawesi Tengah berada di lintasan Tapak Kuda, sehingga sering mengalami gempa yang berulang akibat aktifitas patahan atau sesar Palu Koro. 

Hasil penelitian Mudrik Rahmawan Daryono dari LIPI sejak 2011 lalu, menunjukkan bahwa gempa dengan kekuatan besar di atas 7,0 skala Richter akibat patahan Palu Koro telah terjadi pada 1285, 1415 dan kemudian 28 September 2018 yang menimbulkan kerugian dan korban jiwa yang besar.

Selain itu juga diinformasikan pernah terjadi gempa dengan kekuatan yang lebih kecil, namun berdampak besar yaitu pada 1907, 1909, dan 2012. 

Tipe kedua adalah bencana akibat ulah manusia yang tidak terkendali seperti pembukaan hutan untuk kegiatan perkebunan, pertanian dan pertambangan atau kepentingan lainnya; penyempitan Daerah Aliran Sungai (DAS) serta berkurangnya wilayah serapan. 

Bencana ini baru saja dialami oleh Kabupaten Sigi secara berturut-turut di bulan April dan Mei 2019 dan sebelumnya juga dialami oleh Kota Palu, Kabupaten Tolitoli, Morowali, Parigi Moutong dan sejumlah kabupaten lainnya yang datangnya terus berulang. 

Berdasarkan kejadiannya, kita tidak dapat mengatasi bencana tipe pertama, hanya bisa menyesuaikan atau adaptif dengan keberadaanya. Sedangkan tipe bencana kedua dapat dikendalikan dan dikelola, tinggal bagaimana melakukan penataan wilayah hulu dan hilir. 

Karena itu diperlukan sebuah skenario atau strategi membangun di wilayah yang berada di pusaran bencana. Kehadiran pusat studi kebencanaan di Sulawesi Tengah tentunya menjadi salah satu syarat utama.

Ubah menjadi kekuatan

Jepang adalah negara dengan tingkat kebencanaan gempa dan tsunami yang tinggi. Proses yang berulang dari bencana itu dilengkapi dengan kekalahan perang dari tentara sekutu oleh jatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki, yang membuat masyarakat Jepang menjadi disiplin, komitmen, mau belajar serta konsisten. Masyarakat Jepang patuh dengan wilayah merah yang telah terpetakan untuk tidak melaksanakan pembangunan, mereka patuh mengikuti aturan desain konstruksi antigempa. Mereka telah terbiasa dengan proses mitigasi bencana bila musibah itu datang. Kebiasaan-kebiasaan ini membuat masyarakat Jepang memiliki etos dan budaya kerja yang baik, sehingga wajar kalau saat ini, Jepang telah menjadi negara maju pada hampir semua aspek kehidupan. 

Mengacu dari realitas di atas, maka Sulawesi Tengah dapat belajar dan mendalami serta menjadikan referensi bagaimana strategi Jepang membangun negaranya yang juga berada di pusaran bencana seperti Sulawesi Tengah.

Semua ini tentunya berpulang kepada pemimpin dan masyarakatnya bagaimana mengubah tantangan menjadi sebuah kekuatan untuk kemudian bermuara kepada terwujudnya sumber daya manusia yang produktif.
 
Gubernur Sulteng Drs H Longki Djanggola, MSi (kanan) tersenyum lebar saat menyalami Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP usai mengukuhkannya kembali menjadi Kadis KP Sulteng di Kantor Gubernur Sulteng di Palu, Jumat (1/2). Atjo sudah lebih 11 tahun menduduki jabatan ini dan tercatat sebagai dinas yang paling besar menghasilkan pendapatan asli daerah. (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha) (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha/)

Butuh penerobos batas

Mengubah tantangan menjadi sebuah kekuatan diperlukan pemimpin yang mampu menerobos batas, pemimpin yang mampu melihat apa yang ada di balik bukit sehingga akan menjadi pemimpin yang produktif. 

Paling tidak ada lima kriteria untuk menjadi pemimpin seperti itu di antaranya adalah update, adaptif, inovatif, demokratis dan tegas. Sang penerobos batas harus sedikit tau dari yang banyak bukan banyak tau dari yang sedikit, sehingga memiliki mindset lebih terbuka untuk menggunakan sejumlah tenaga ahli dalam menyusun roadmap, menggunakan sejumlah ahli dan praktisi dalam hal transformasi inovasi. 

Sebuah artikel di harian Kompas minggu lalu menulis bahwa 'produktif dimulai dengan cara berpikir'. Cara berpikir yang dimaksud adalah seperti yang telah di ulas di atas.

Tahun 2020, Provinsi Sulawesi Tengah akan melaksanakan pesta demokrasi dalam rangka memilih kepala daerah mulai dari memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur, wali kota dan bupati. Semua ini akhirnya berpulang kepada masyarakat yang memilihnya. Harapan dari sejumlah pihak bahwa kepala daerah yang terpilih tentunya adalah kepala daerah Sang Penerobos Batas yang mampu berlari dengan langkah sama bersama seluruh stakeholder terkait yaitu masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah. 

Dengan demikian tujuan mengejar ketertinggalan untuk Sulawesi Tengah yang lebih kuat, maju dan mandiri dapat direalisasikan. Tidak lagi terperangkap dengan tujuan sekedar terpilih. Semoga !! (Ketua Ispikani Sulawesi Tengah)

Baca juga: OPINI - Ibu Kota RI pindah, Tol Tambu-Kasimbar sebuah keniscayaan
Baca juga: OPINI - Luar Jawa berpeluang jadi Ibu Kota RI, Wilayah ALKI II diuntungkan
Baca juga: Mikro plastik mengancam, rumput laut bisa jadi solusi (vidio)

 
Pengusaha asal Inggris yang berinevstasi di Ogotua, berbincang dengan Kadis KP Sulteng Hasanuddin Atjo di PPI Donggala belum lama ini. (Antarasulteng.com/Rolex Malaha)