Sekitar 7.000 hektare lahan pertanian di Sigi terlantar
Bayangkan saja berapa kerugian petani dari potensi lahan pertanian seluas itu yang tidak bisa dimanfaatkan untuk areal tanaman pangan dan hortikultura
Palu (ANTARA) - Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah, Trie Iriyani Lamakampali mengatakan luas areal pertanian di Kabupaten Sigi yang terlantar karena dampak gempa bumi 7,4 SR pada 28 September 2018 mencapai sekitar 7.000 hektare.
"Bayangkan saja berapa kerugian petani dari potensi lahan pertanian seluas itu yang tidak bisa dimanfaatkan untuk areal tanaman pangan dan hortikultura," katanya di Palu, Kamis.
Dia mengatakan untuk beberapa musim tanam (MT) 2019 hingga MT 2020, lahan pertanian di Sigi tersebut belum bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Masalahnya, kata dia, areal pertanian yang masih terlantar tersebar di sejumlah wilayah terdampak bencana alam yang irigasinya juga rusak total dan saat ini sedang dalam perbaikan.
Menurut dia, petani tidak mungkin mengolah lahan, jika tidak didukung ketersediaan air irigasi.
Baca juga : Setahun Bencana Sulteng - Sektor pertanian di Sigi masih terpuruk
Sementara beberapa kecamatan di Kabupaten Sigi selama ini bergantung pada irigasi Gumbasa. Sedangkan saat gempa menerjang sejumlah wilayah di Provinsi Sulteng, irigasi Gumbasa rusak total.
Akibatnya, dapat dipastikan bahwa produksi tanaman pangan dan hortikultura 2019 ini menurun dibandingkan sebelumnya.
Apalagi, kata dia, selain irigasi rusak karena gempa, juga ditambah dengan kemarau panjang melanda semua daerah di Sulteng kurun beberapa bulan terakhir menyebabkan banyak petani mengalami gagal panen.
Terutama di Kabupaten Sigi dan Donggala yang selama ini merupakan kantong-kantong produksi padi, jagung dan kedelai.
Pada panen 2019, Sulteng berharap bisa memperoleh hasil produksi gabah kering giling (gkg) sekitar 1,03 juta ton.
Namun, kemungkinan besar harapan produksi tersebut tidak tercapai karena banyak lahan pertanian, terutama di Kabupaten Sigi yang tidak diolah karena terkendala irigasi rusak.
Juga dampak dari kemarau panjang banyak petani di daerah ini yang mengalami gagal panen.
Sekalipun demikian, stok beras di pasaaran tetap tersedia dalam jumlah memadai karena suplai dari sentra-sentra produksi baik di dalam maupun luar wilayah Sulteng seperti dari Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan tetap berjalan lancar.
Kondisi ini mengakibatkan harga beras di tingkat pengecer juga stabil dan terkendali.
Harga beras medium masih dibawah harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah Rp9.450/kg. Dan beras premium sesuai HET yang ditetapkan pemerintah yakni Rp12.800/kg.***
"Bayangkan saja berapa kerugian petani dari potensi lahan pertanian seluas itu yang tidak bisa dimanfaatkan untuk areal tanaman pangan dan hortikultura," katanya di Palu, Kamis.
Dia mengatakan untuk beberapa musim tanam (MT) 2019 hingga MT 2020, lahan pertanian di Sigi tersebut belum bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Masalahnya, kata dia, areal pertanian yang masih terlantar tersebar di sejumlah wilayah terdampak bencana alam yang irigasinya juga rusak total dan saat ini sedang dalam perbaikan.
Menurut dia, petani tidak mungkin mengolah lahan, jika tidak didukung ketersediaan air irigasi.
Baca juga : Setahun Bencana Sulteng - Sektor pertanian di Sigi masih terpuruk
Sementara beberapa kecamatan di Kabupaten Sigi selama ini bergantung pada irigasi Gumbasa. Sedangkan saat gempa menerjang sejumlah wilayah di Provinsi Sulteng, irigasi Gumbasa rusak total.
Akibatnya, dapat dipastikan bahwa produksi tanaman pangan dan hortikultura 2019 ini menurun dibandingkan sebelumnya.
Apalagi, kata dia, selain irigasi rusak karena gempa, juga ditambah dengan kemarau panjang melanda semua daerah di Sulteng kurun beberapa bulan terakhir menyebabkan banyak petani mengalami gagal panen.
Terutama di Kabupaten Sigi dan Donggala yang selama ini merupakan kantong-kantong produksi padi, jagung dan kedelai.
Pada panen 2019, Sulteng berharap bisa memperoleh hasil produksi gabah kering giling (gkg) sekitar 1,03 juta ton.
Namun, kemungkinan besar harapan produksi tersebut tidak tercapai karena banyak lahan pertanian, terutama di Kabupaten Sigi yang tidak diolah karena terkendala irigasi rusak.
Juga dampak dari kemarau panjang banyak petani di daerah ini yang mengalami gagal panen.
Sekalipun demikian, stok beras di pasaaran tetap tersedia dalam jumlah memadai karena suplai dari sentra-sentra produksi baik di dalam maupun luar wilayah Sulteng seperti dari Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan tetap berjalan lancar.
Kondisi ini mengakibatkan harga beras di tingkat pengecer juga stabil dan terkendali.
Harga beras medium masih dibawah harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah Rp9.450/kg. Dan beras premium sesuai HET yang ditetapkan pemerintah yakni Rp12.800/kg.***