Palu (ANTARA) - Dialog Indonesian Lawyers Club (ILC) di TV One menjadi salah satu agenda yang digemari dan digandrungi sejumlah orang.
Acara pada Selasa malam, 11 Februari 2020 di kemas diluar biasanya. Dirancang berkaitan dengan memperingati lahirnya TV One, 14 Februari 2008, yang kebetulan bertepatan dengan hari kasih sayang alias valantine day.
Acara bertema 'Menatap Indonesia ke depan Lewat ILC, dipandu oleh host kondang Karni Ilyas dan menampilkan narasumber lintas generasi antara lain HM Jusuf Kalla, Emil Salim, Rizal Ramli, Mahfud MD, dan Ganjar Pranowo. Ada juga Anies Baswedan, Erick Thohir, Sandiaga Uno, dan beberapa lainnya.
Rizal Ramli satu di antara narasumber yang cukup kritis malam itu. Kadangkala kita memang membutuhkan masukan-masukan kritis untuk sebuah perubahan, menyongsong Indonesia maju tahun 2045 dan diprediksi pendapatan per kapita saat itu sebesar 23.000 dolar AS.
Mengutip pernyataan kritis ekonom Rizal Ramli bahwa salah satu persoalan besar di negeri ini adalah 'money politic' dalam Pilpres, Pileg dan Pilkada. Dan dikatakan juga bahwa ada baiknya partai politik dibiayai oleh Negara. Hanya saja dalam pengelolaannya pihak partai harus mengedepankan profesionalisme.
Satu kutipan menarik ketika Rizal Ramli bertemu perdana Menteri Belanda dan bertanya; Mr. Perdana Menteri, anda habis berapa untuk menjadi Perdana Menteri?. Sang PM menjawab, pertanyaan anda sesungguhnya membuat saya tersinggung berat. Di negeri kami untuk menjadi PM tidak mengenal 'uang panai' dan yang dikenal adalah gagasan-gagasan besar sang calon dan faktor inilah yang menjadi penentu keterpilihannya.
Dari dialog ini bisa diambil pembelajaran dari dua negara dalam melahirkan pemimpinnya. Ada dua catatan penting yang bisa menjadi referensi dan bahan diskusi. Pertama terkait pentingnya gagasan besar maupun lompatan berpikir, dan kedua masih diperlukan 'mahar politik atau uang panai.
Baca juga: Pilkada 2020, perlu figur konseptor dan eksekutor
Bisa dimaklumi kalau 'uang panai' masih menjadi salah satu faktor penentu atas terpilihnya peserta kontestasi. Ini antara lain disebabkan partai belum memiliki sumber biaya mandiri untuk menunjang biaya operasional maupun biaya pemenangan 'jagonya'.
Kedua pendapatan masyarakat utamanya di pedesaan masih rendah, demikian pula tingkat kemiskinan dan penganguran masih tinggi sehingga 'uang panai' menjadi sebuah variabel yang masih dipertimbangkan.
Hasil penelitian Budiono, mantan Wakil Presiden di periode kedua Presiden SBY mengatakan bahwa kualitas demokrasi ditentukan oleh tingkat pendapatan masyarakat. Standar minimal untuk itu di atas 6.000 dolar AS per kapita per tahun, sementara Indonesia baru mendekati 4.000 dolar AS.
Bersama beberapa pengamat dalam satu dialog, memberi pendapat bahwa di Pilkada akan datang termasuk di pada 2020, diprediksi akan banyak mengalami pergeseran atau perubahan paradigma, baik dari sang pemilik hak usung (partai) maupun pemilik hak suara (masyarakat).
Kedua 'rahim politik' itu akan melahirkan pemimpin daerah, sebagian sudah mulai menyandingkan 'gagasan dan uang panai' untuk berdiri sama tinggi sebagai modal dasar menuju perubahan.
Baca juga: JICA-JOCA pada bencana Sulawesi Tengah
Ini merupakan langkah maju dan perlu diberi apresiasi, karena ini akan menjadi spirit atau semangat menggerakkan perubahan secara cepat.
Harapannya adalah ke depan, perubahan ini menjadi gerakan masif.
Proses edukasi yang begitu cepat melalui media sosial, media online, media cetak dan media lainnya merupakan salah satu pendorong perubahan itu.
Disamping itu, desakan dari sejumlah generasi milenial juga menjadi faktor pendorong, dan diikuti oleh kesadaran sejumlah pihak.
Negeri ini memerlukan pemimpin yang memiliki gagasan besar, lompatan atau kuantum berpikir tinggi.
Desa dan kelurahan merupakan garda terdepan dari struktur Pemerintahan. Merekalah yang memiliki sumberdaya, baik alam maupun manusia, bahkan telah disediakan dana APBN yang bersumber dari Kemendes dan Kementerian lainnya.
Namun kondisinya secara umum masih belum sesuai harapan dan di sini pula didapatkan masalah sosial yang tinggi.
Pemerintah melalui dana APBN telah mengucurkan dana desa dalam lima tahun terakhir sekitar Rp300 triliun, ditambah lagi dengan dana kementerian yang puluhan triliun tiap tahun dan juga mendapat tambahan dana dari APBD provinsi maupun kabupaten dan kota.
Baca juga: Pilkada dan 'papoji depan dan belakang'
Lahirnya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang jumlahnya sudah puluhan ribu, tadinya diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi desa, namun yang sukses untuk kemajuan desa persentasenya dipandang sangat kecil.
Semua yang disebutkan di atas lebih disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia dalam melaksanakan tatakelola pemerintahan di garda terdepan.
Kondisi sumberdaya manusia yang dimiliki sangat variatif. Semakin ke timur kondisinya semakin perlu mendapat perlakuan yang lebih.
Jepang, setelah perang dunia ke dua, mengubah pola konsumsi masyarakatnya dari karbohidrat ke makanan yang lebih bergizi dan menyehatkan seperti komoditas hortikultura, ikan dan sejumlah protein lainnya.
Setelah 30 tahun, dengan konsep 'smart village and smart farming', bangsa Jepang menjadi cerdas dan sehat dengan pendapatan perkapita (2018) 43.500 Dolar AS.
Karena itu peran kepala daerah, gubernur dan bupati/wali kota menjadi sangat strategis mewujudkan desa tangguh dan mandiri di setiap wilayahnya. Diperlukan sejumlah contoh 'smart village' atau desa cerdas dengan pendekatan 'smart farming' sebagai 'role model' dan selanjutnya menjadi 'banch marking' bagi desa-desa lainnya.
Hanya saja 'smart village' itu harus diseriusi, dirancang dan dikawal oleh pihak-pihak yang kompeten. SEMOGA. (*Kepala Bappeda Sulteng)
Baca juga: Banyak pendapat 'kurang pendapatan'
OPINI - Gagasan dan 'uang panai'
Negeri ini memerlukan pemimpin yang memiliki gagasan besar, lompatan atau kuantum berpikir tinggi.