Palu (ANTARA) - SUATU ketika di 2017 saya dan anak bungsu yang bersekolah di salah satu SMA di DKI Jakarta, bersama satu temannya menuju ke salah satu mall di pusat Kota Jakarta.
Taksi Blue Bird yang kami ditumpangi mengambil rute arah Jalan Medan Merdeka Barat dengan harapan lebih cepat sampai.
Namun prediksi itu ternyata meleset dan kami berempat terperangkap kemacetan hebat.
Saya bertanya ke sopir; mas, macet kenapa ini?. Si driver menjawab; biasa pak, lagi demo perselisihan pilkada.
Oooo....dan dalam hati berkata 'penyakit kambuhan datang lagi' dan rupa-rupanya makin parah. Apakah ini karena obatnya 'habis' atau 'salah obat'?
Si bungsu dan temannya mulai menggerutu dengan situasi itu karena sudah 30 menit taxi hanya merayap seperti semut. Mungkin juga mereka kesal karena sudah membayangkan lezatnya makanan di mall yang dituju. Karena memang rencana 'have lunch' (makan siang) di sana.
Beberapa saat kemudian si bungsu mulai angkat bicara. Papa, kalau menurut teman-teman di sekolah, mereka-mereka itu masuk kelompok 'banyak pendapat, kurang pendapatan' dan diamini oleh temannya; betul itu oom.
Saya diam sejenak dan bertanya kenapa bilang begitu? Mereka kompak menjawab: 'bodoh-bodohnya' mereka papa!!.
Emangnya kenapa?, saya seakan-akan pura-pura tidak tau.
Baca juga: Semua tugas selesai kecuali tugas pokok
Bayangkan toch... hanya dengan imbalan nasi bungkus, air kemasan dan sedikit uang transpor, mereka berteriak-teriak tidak jelas, berpanas-panas belum lagi dikejar-kejar petugas, kata mereka.
Saya biarkan mereka berbicara lepas untuk menggali 'pasion' mereka terhadap kelompok itu. Mendingan mereka cari kerja lain karena masih banyak yang lebih produktif lanjut anak saya dan temannya.
Karena lalu lintas kembali lancar, mereka lega dan beralih topik membicarakan tentang menu untuk siang ini, kesenangan milenial generation, kesenangan mereka berdua tentunya.
Saya masih membuka 'bagasi pikiran' untuk menganalisis, mengolah dan melahirkan 'caratan pinggir' terkait dengan peristiwa demo yang baru saja menganggu kenyamanan orang lain, karena telah menimbulkan kemacetan dan kerugian yang sulit dihitung.
Teringat dengan hasil penelitian Prof. Budiono, mantan Wakil Presiden RI yang mengemukakan bahwa demokrasi akan berkualitas kalau pendapatan perkapita telah tembus diangka 6.000 dolar AS, sementara saat ini baru mendekati 4.000 dolar AS.
Baca juga: Melahirkan generasi yang bukan 'kaleng-kaleng'
Selanjutnya Siti Zohra, Peneliti Senior LIPI mengatakan bahwa persoalan Indonesia bukan terletak pada radikalisme, tetapi lebih kepada persoalan kemiskinan yang masih tinggi yaitu sekitar 9,7 persen dan pengangguran sekitar 5,3 persen.
Semakin ke timur Indonesia, angka kemiskinan dan pengangguran itu semakin parah.
Karena itu tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2020-2024, Presiden Jokowi-Mar’uf Amin adalah Pengembangan SDM untuk pertumbuhan yang berkualitas.
Makna dari tema ini adalah kemiskinan, pengangguran dapat ditekan serta pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan bila mampu melahirkan manusia-manusia unggul.
Banyak manusia unggul di negeri ini yang sudah saya contohkan pada beberapa artikel sebelumnya. Meskipun pendidikannya terbatas (tidak tamat SD, tidak tamat SMP) tetapi memiliki karya dan prestasi yang membanggakan.
Pantong anak kolam (penjaga kolam budidaya udang intensif) di Barru, tidak tamat SD namun berpendapatan melebihi gaji pejabat Eselon IV.
Amir pengelola warung ikan bakar di Palu tidak tamat SMP, tetapi pendapatannya melebihi gaji pejabat Eselon II di daerah.
Terakhir adalah Chaerul, montir sepeda motor, tidak tamat sekolah dasar, tetapi dapat menciptakan pesawat ultralight dari mesin motor 150 cc meskipun belum terbang sempurna.
Baca juga: Warkop mobile, kreativitas di era disrupsi
Referensi di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa Indonesia memiliki anak-anak muda yang berbakat dan berkemampuan yang luar biasa. Bisa dibayangkan, tidak tamat SD dan tidak tamat SMP saja, pendapatannya bisa melebihi pejabat struktural. Bisa membuat pesawat sederhana.
Generasi yang terperangkap sejumlah demo yang diceritakan di atas sesungguhnya juga memiliki potensi untuk menjadi manusia hebat bahkan lebih hebat, karena sebahagian dari mereka memiliki pendidikan yang lebih baik.
Ini semua bergantung kepada skenario yang dibangun oleh masing-masing daerah dalam menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran, menekan tingkat ketimpangan atau rasio gini serta pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Saat ini di sejumlah daerah sedang ramai penyampaian sejumlah program kerja oleh para bakal calon kepala dan wakil kepala daerah untuk mengurangi angka kemiskinan, pengangguran maupun ketimpangan.
Terlihat dan terkesan bahwa penyampaian itu masih normatif substansinya, masih berenang di permukaan, belum sampai menyelam ke dasar untuk membuat skenario-skenario yang konkret substansinya.
Kalau sang pemilik hak usung dan pemilik hak suara belum bisa keluar dari paradigma lama, maka kepala daerah bersama wakil yang terpilih cenderung kepada yang berorientasi normatif.
Baca juga: Hasanuddin Atjo: Saya mendaftar bakal cagub bukan pelanggaran
Apalagi di tahun ini Presiden Jokowi dan Wapres Mar’uf Amin akan menerapkan penyederhanaan birokrasi dengan mengurangi pejabat struktur eselon 3 dan 4 serta mengembangkan jabatan fungsional berdasarkan keahlian yang tentunya menuntut kehadiran pimpinan yang berorientasi kongkrit.
Kita masih berharap bahwa yang terpilih adalah pasangan yang berorientasi kongkret agar bisa memanfaatkan sumberdaya alam 'surga dunia' yang kita miliki dengan investasi pemerintah yang terbatas untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan yang akan menurunkan tensi demo-demo yang tidak produktif.
Kalau skenario yang terakhir (berorientasi kongkrit) yang menjadi pilihan, maka sumberdaya manusia kita insyah Allah akan menjadi manusia unggul dan memperoleh status atau predikat 'banyak pendapat, banyak pendapatan'.
Karena pesawat Garuda 713 Makassar-Jakarta sudah mendarat, saya pun berkemas dan bergerak turun. (Hasanuddin Atjo: Ketua Bappeda Sulteng)
Baca juga: Ini kata Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP soal keputusannya menjadi bakal calon gubernur
Banyak pendapat 'kurang pendapatan'
Kalau sang pemilik hak usung dan pemilik hak suara belum bisa keluar dari paradigma lama, maka kepala daerah bersama wakil yang terpilih cenderung kepada yang berorientasi normatif.