Ini tambahan indikator yang diperdalam dan diukur dalam menilai kemajuan pembangunan di daerah. Tidak mesti daerah yang sudah maju akan lebih berpeluang, karena yang diukur adalah percepatannya. Acara berakhir sebelum waktu makan siang.
Sore hari tidak sulit mencari kendaraan, dengan menumpang taxi aplikasi grab meluncur ke Jakarta dan situasi lalu lintas relatif lancar, kecuali dari arah Jakarta. Seperti biasanya dalam perjalanan, saya membuka media online dari smartphone dan tertarik pada satu ulasan tentang Pilkada 2020.
Inti ulasan dalam media online itu bahwa Indonesia membutuhkan sejumlah pemimpin yang berkualitas, mampu berpikir multi dimensi, bukan hanya sekedar dipoles untuk dimenangkan dalam kompetisi pilkada.
Dicontohkan beberapa pemimpin daerah yang masuk kriteria itu di antaranya Jokowi (sewaktu Gubernur DKI), Ridwan Kamil saat menjabat Wali Kota Bandung, Risma Wali Kota Surabaya, Hasto Wardoyo saat menjabat Bupati Kulon Progo dan Nurdin Abdullah saat menjabat Bupati Bantaeng.
Ulasan itu juga mengkuatirkan bahwa politik transaksional diprediksi masih mendominasi jalannya proses Pilkada 2020, namun ada keyakinan bahwa akan lebih baik, namun berpulang kepada pemilik hak suara, partai pengusung dan lembaga penyelenggara. Kasus lembaga penyelenggara yang 'masuk angin atau bocor halus' pun juga ikut diulas.
Baca juga: Banyak pendapat 'kurang pendapatan'
Saya berpikir sejenak untuk menentukan judul dari catatan pinggir yang akan dimuat di media sosial. Akhirnya ketemu dan sebelum mengetiknya tertawa geli sendiri, karena berhubungan dengan istilah 'kantong' dan dalam bahasa pergaulan di Sulawesi Tengah disebut 'papoji'.
Jadilah judul catatan pinggir bahwa untuk menjadikan daerah yang hebat, Indonesia hebat di tahun 2045, dibutuhkan pemimpin-pemimpin daerah yang memiliki 'PAPOJI DEPAN dan BELAKANG'.
Papoji atau kantong depan dianalogikan dengan pikiran-pikiran cerdas, kreatif, kekinian, terukur yang berorientasi solusi dari seorang pemimpin. Makanya dalam setiap memberikan sambutan umumnya seorang pemimpin mengambil catatannya dari kantong depan, bukan kantong belakang.
Namun ternyata tidak cukup hanya memiliki kantong depan, tetapi juga harus diimbangi dengan isi kantong belakang, dikarenakan kualitas berdemokrasi kita yang masih rendah.
Penelitian Prof. Budiono, mantan Wakil Presiden di era Presiden SBY mengemukakan bahwa demokrasi akan berkualitas bila pendapatan perkapita sekitar 6.000 dolar AS atau setara Rp84 juta rupiah dan saat ini baru sekitar 57 juta rupiah/kapita/tahun.
Baca juga: Semua tugas selesai kecuali tugas pokok
Apalagi angka pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan negeri ini masih tinggi yang diduga menjadi pemicu maraknya sejumlah demonstrasi yang sebahagian pesertanya sekedar ikut ramai tanpa paham substansinya dan hanya ikut karena imbalan transaksional ala kadarnya. Ini semua karena masalah 'papoji belakang' dan tentunya memprihatinkan. Dan harus segera dicari solusinya.
Indonesia dikaruniakan potensi sumberdaya alam yang luar biasa hebatnya, ditambah lagi dengan iklim tropis yang memberi kesempatan dapat memproduksi pangan sepanjang tahun dibanding wilayah sub tropis. Negeri ini sudah kalah dengan Vietnam meskipun luasnya tidak kebih besar dari wilayah Pulau Sulawesi dan baru merdeka sekitar 50 tahun yang lalu.
Pemimpin daerah yang memiliki isi 'Papoji depan' yang bernilai, sudah barang tentu akan mempertebal isi 'papoji belakang' yang kemudian bisa memperbaiki kualitas demokrasi, mengurangi pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan atau rasio gini (beda berpendapatan tinggi dan rendah).
Bila papoji belakang sudah berisi, maka masyarakat tidak lagi mempersoalkan naiknya iuran BPJS Kesehatan, dicabutnya sejumlah subsidi. Jangan lagi Pemerintah dibebankan dengan subsidi-subsidi itu.
Harapannya bahwa semua yang terkait (pemilik pemegang hak suara, hak usung, lembaga penyelenggara) atas lahirnya pemimpin daerah yang bisa membuat perubahan, lompatan-lompatan tidak lagi 'terperangkap' dengan isi papoji belakang, tetapi juga sudah mengedepankan isi papoji depan. SEMOGA. (Ketua Bappeda Sulteng)
Baca juga: Melahirkan generasi yang bukan 'kaleng-kaleng'