Sejumlah staf Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) sibuk mengisi
formulir di depan loket Bidang Penindakan dan Penyidikan (P2) Bea Cukai
Tanjung Priok di gedung Kantor Pelayanan Utama kelas A Tanjung Priok.
PPJK adalah perusahaan yang mengurus berbagai dokumen kelengkapan
ekspor impor. Eksportir atau importir memberikan kuasa kepada PPJK untuk
menyelesaikan seluruh tahapan ekspor maupun impor barang di pelabuhan.
Pada pertengahan November 2014, para staf PPJK berada di depan loket
P2 untuk mengurus kontainer yang masuk dalam jalur merah, jalur yang
menurut hasil penelitian dokumen impor memerlukan pemeriksaan secara
fisik untuk mencocokan data dalam dokumen dengan kenyataannya secara
fisik.
Pemeriksaan fisik tersebut dilakukan di sejumlah tempat penampungan
sementara yang telah mendapat izin dari kantor Bea dan Cukai Tanjung
Priok, salah satunya fasilitas pemeriksaan fisik milik PT Graha Segara.
Perusahaan tersebut adalah penyedia fasilitas pemeriksaan fisik peti kemas khusus impor baik jalur merah maupun jalur hijau.
Sebelum masuk ke gudang, staf PPJK harus menyerahkan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) yang diganti dengan ID Visitor dan pada pos selanjutnya
ID Visitor itu diganti dengan rompi jingga lusuh dengan nomor dan
tulisan "visitor" putih di bagian punggung.
Tempat pemeriksaan itu berupa ruang berukuran 20 x 50 meter yang
beratap tapi tak berdinding. Ada spanduk besar dengan huruf merah
bertuliskan "Dilarang memberikan dan menerima imbalan dalam bentuk
apapun kepada Karyawan PT Graha Segara TKBM dan Security" di sana.
Di ruangan itu sudah berjejer kontainer-kontainer panjang (40 kaki)
dan pendek (20 kaki) yang menanti untuk diperiksa oleh petugas pemeriksa
bea cukai.
Barang yang dikawal staf PPJK itu masuk dalam
kategori merah karena merupakan barang pindahan. Barang pindahan itu
terdiri dari beragam jenis barang padahal dalam satu kontainer
seharusnya memuat satu jenis barang saja.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, sang pemeriksa dari bea cukai pun
datang mengendarai motor dinas berpelat merah. Ia mengenakan rompi
hitam tebal bertulisan "Custom" dan menutup wajah dengan masker.
Sang pemeriksa mulai memerintahkan pembongkaran barang dalam
kontainer. Namun pemeriksa dan staf PPJK masuk lebih dulu ke dalam
kontainer yang sudah agak lowong.
Sebelumnya staf PPJK itu sudah
lebih dulu merogoh dompet untuk mengeluarkan lembaran uang kertas
berwarna kemerahan dan disodorkan ke petugas pemeriksa bea cukai.
"Yah total untuk bayar buruh, alat dan petugas itu sekitar Rp1 juta lah," kata staf PPJK tersebut.
Tapi ia membantah memberikan uang pelicin kepada sang petugas.
"Yah Rp200 ribu lah (untuk petugas). Ini mah bukan uang pelicin,
tapi katakanlah uang terima kasih karena sudah dibantu," ungkap staf
PPJK itu.
Semua barang pindahan mulai dari baju, sepatu, marmer, piring,
panci, sendok, gelas, televisi layar datar, otopet, kasur, dan beragam
barang rumah tangga lain dikeluarkan dari kertas, kardus dan peti
pembungkus, diperiksa dengan teliti oleh petugas.
Namun barang yang mencapai lebih dari 120 item tersebut tidak
semuanya diperiksa, hanya ada 30 kardus yang dibongkar, difoto dan
ditempeli stiker "Inspected By Customs" oleh staf PPJK dan dicatat dalam
laporan petugas bea cukai.
Selanjutnya sang petugas kembali ke kantor untuk menyerahkan laporan
dan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) dapat keluar pada sore
harinya.
Setelah itu, barang dibungkus ulang sebisanya oleh para buruh. Staf
PPJK mengeluarkan Rp250 ribu untuk upah para buruh yang membantunya.
Staf tersebut kembali harus merogoh kocek. Saat mengembalikan rompi
lusuh yang tadi dia kenakan dia menyodorkan Rp5.000 kepada petugas
loket, dan menyorongkan Rp5.000 lagi saat menukarkan ID Visitor dengan
KTP di gerbang terluar.
"Ya semuanya di sini memang pakai uang," kata staf PPJK.
Staf PPJK itu khawatir bila ia tidak memberikan insentif kepada
petugas akan mendapat kesulitan dalam pemeriksaan fisik barang.
Setidaknya ada biaya tambahan Rp1 juta sampai Rp2 juta dari biaya
operasional biasa bila peti kemas masuk ke jalur merah atau ada
kekurangan dokumen.
Misalnya, bila ada surat rekomendasi yang
kurang dari kementerian tertentu, staf PPJK, dengan uang dari importir,
harus membayar untuk mendapatkan surat rekomendasi tersebut.
Padahal
biaya operasional biasa yang dikenakan oleh PPJK kepada importir untuk
peti kemas panjang (40 kaki) "hanya" Rp1,5 juta sedangkan peti kemas
pendek (20 kaki) Rp1,3 juta.
Artinya biaya tanpa kuitansi itu dapat lebih besar dibanding biaya pengurusan resmi.
Berdasarkan statistik resmi KPU Tanjung Priok, pada 2014, setiap bulan ada 5.221 kontainer yang masuk ke jalur merah.
Jumlah
tersebut memang menurun drastis dibanding pada tahun-tahun sebelumnya
yaitu 14.060 kontainer/bulan (2013) dan 15.298 kontainer/bulan (2012).
Namun, bila sebagian besar petugas pemeriksa di lapangan masih
menerima uang antara Rp100 ribu sampai Rp200 ribu maka setidaknya ada
Rp1 miliar uang keluar untuk gerakan di jalur merah pelabuhan.
Tak Perlu Uang
Meski dalam praktek di lapangan pertemuan antara petugas bea cukai
dan pengguna jasa rawan pemberian uang, namun sejumlah pihak menegaskan
hal tersebut tidak terjadi. Salah satunya Direktur PT Menara Jasa
Samudra Dirgantara Zulfahmi. Perusahaan itu adalah salah satu PPJK.
"Sebenarnya barang masuk jalur merah itu tidak masalah karena dia
hanya dicek pasti kebenaran akan dokumen dan fisik, misalnya kita di online
bilang mau impor jeruk terus diperiksa bener enggak 10? Jadi bagi
orang yang bener-bener ya enggak masalah, kelihatannya aja kan ribet
padahal banyak yang masuk jalur merah," kata Zulfahmi.
Menurut Zulfahmi, tidak perlu memberikan uang kepada petugas pemeriksa.
"Asal dokumen yang kita serahkan cocok dengan fisik enggak ada kita
mengeluarkan pengeluaran lagi. Paling keluar untuk biaya buruh, sama
nurunin (kontainer), itu dibebankan ke kita," ungkap Zulfahmi.
Namun ia cukup senang bila ada barang yang masuk jalur merah karena menambah pendapatan perusahaannya.
"Bagi kita pengurus malah ada tambahan mengurus jalur merah itu kan?
Kalau tadinya perjalanan satu hari, jadi tiga hari, jadinya ada
tambahan bagi si pelaksana," tambah Zulfahmi.
Zulfahmi juga mengaku belum pernah diperas oleh oknum petugas bea
cukai agar barang yang dikawal perusahaannya dapat keluar dari
pelabuhan.
"Mereka sendiri tahu kita ini pekerjanya, yang jadi sasaran biasanya
pemilik barang, kita hanya bantu prosesnya, enggak mungkin juga bea
cukainya, pasti ujungnya adalah pemilik barangnya," ungkap Zulfahmi.
Ia malah mengeluhkan pungutan tidak resmi di titik lain yang tidak
dilakukan oleh bea cukai tapi operator di pelabuhan, misalnya untuk
berlomba menaikkan kontainer ke kapal kargo bagi barang ekspor.
Akan Disikat
Kepala Kantor Pelayanan Utama Tipe A Bea Cukai Tanjung Priok B
Wijayanta dengan tegas mengatakan akan menindak bawahannya yang terbukti
mendapatkan insentif dari penyedia jasa.
"Jangankan diberi Rp100 ribu sampai Rp200 ribu atau Rp50 ribu.
Dikasih Rp10 ribu kita sikat! Jangankan segitu, saya pernah ada pegawai
yang perform nangkap narkoba tapi dia terima Rp50 ribu, saya
kasih hukuman. Meski bisa tangkap shabu tapi keterlibatan (mendapat
insentif) itu enggak ada cerita," katanya.
Saat memenuhi permintaan wawancara dengan Antara pada 8 Januari
2015, Wijayanta meminta dengan sungguh-sungguh untuk membuktikan apakah
benar ada anak
buahnya yang mendapatkan uang atau pihak lain yang di luar kewenangan
bea cukai.
"Tapi hati-hati ya kalau hanya mengambil contoh satu
tapi akhirnya meruntuhkan (upaya pembersihan internal) benar-benar
berbahaya karena kami sangat serius sekali misalnya mengonfirmasi ke
GINSI (Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia) apakah benar ada
uang bulanan dan sebagainya. Bahwa Bea Cukai belum bersih memang, tapi
kami benar-benar serius," ungkap Wijayanta.
Besarnya biaya yang menyebabkan kemahalan ongkos logistik, menurut
Wijayanta, juga menjadi tanggung jawab operator pelabuhan.
"Ongkos logistik mahal bukan karena bea cukai tapi demorage-nya
itu menyebabkan tingginya biaya besar sekali bisa 500 persen dari tarif
standar, tapi (pembayaran demorage) itu masalah di PPJK, bukan di
kami," tambah dia.
Wijayanta menjelaskan pula bahwa pembongkaran barang di jalur merah sepenuhnya gratis.
"Pemeriksaan fisik itu hanya lima sampai enam persen dari total
kontainer, sisanya mendapat jalur hijau atau MITA (Mitra Utama), dalam
pemeriksaan kami juga ada tingkatannya, tapi tidak ada biaya," jelas
Wijayanta.
Wijayanta kembali mengulang bahwa biaya yang dikeluarkan adalah
untuk menggerakkan kontainer dari lokasi penimbunan ke tempat
pemeriksaan, membayar kuli bongkar muat, atau biaya lain.
"Yang salah tafsir oleh importir adalah karena (mereka) tidak
mengurus sendiri, begitu ada biaya-biaya seolah-olah itu dari Bea Cukai.
Biaya yang dibayar itu bukan pungutan tapi untuk biaya bisnis, saya
bisa mengatakan itu bukan dari Bea Cukai," katanya.
Kepala Bidang Kepatuhan Internal (KI) Tanjung Priok Dwi Teguh Wibowo
mengatakan divisinya melakukan pengawasan termasuk kepada pemeriksa
fisik.
"Di KI pendampingan pengawasan jalur merah kepada para pemeriksa
fisik. Kami dari kepatuhan internal punya alat ukur sendiri, dilengkapi
juga dengan foto sendiri, sehingga peralatan cukup. Kita kawal agar
tidak ada biaya untuk pegawai, dan pegawai yang tertangkap kita proses,
dan pelanggaran semakin kecil," kata Teguh.
Berdasarkan data Bidang Kepatuhan Internal Tanjung Priok, sepanjang
2013 hanya empat orang yang mendapat penalti karena menerima tip.
Keempatnya adalah petugas di gerbang pelabuhan.
Sementara pada
2014 hanya ada dua orang, satu orang pemeriksa fisik yang memeriksa
barang yang masuk di jalur merah dan satu orang petugas di tempat
penimbunan pabeanan.
"Kalau setahun itu, paling sekali-dua kali (yang tertangkap), sekali
ini yang kita proses artinya dari jarak setahun kami di sini baru satu
yang tertangkap. Jadi di pemeriksaan fisik itu hampir enggak ada lagi
(penerimaan uang)," tambah Teguh.
Teguh semakin yakin karena kantornya tersebut sudah dilengkapi
dengan CCTV maupun kamera tersembunyi di berbagai titik di pelabuhan.
Kamera tersebut punya resolusi tinggi dan dapat menyorot sampai nama
petugas yang tercantum di seragam.
Saat Antara berkunjung ke ruang kontrol Bea Cukai Tanjung Priok di
Gedung Induk lantai tiga pekan lalu, ada 128 monitor berukuran 14 inchi
yang terpasang di ruangan tersebut.
Layar-layar monitor itu
memperlihatkan kegiatan di pelabuhan mulai dari kapal bersandar, bongkar
muat barang, perpindahan barang ke gudang penimbunan, pemeriksaan
barang bila barang tersebut masuk ke jalur merah, termasuk di PT Graha
Segara, hingga saat keluar dari pintu gerbang.
Pembangunan ruang kontrol utama (Main Control Room/MCR)
tersebut menurut Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi
Susila Brata sudah direncanakan sejak 2012 namun baru terealisasi 2014.
Meski dilengkapi dengan layar monitor, server mandiri dan
sejumlah perangkat komputer untuk mengontrol kamera tersembunyi dan
CCTV, namun petugas yang berjaga di ruangan tersebut minim sehingga
aktivitas pelabuhan yang ditangkap kamera, baik yang seusai aturan
maupun tidak, bisa terlewat dari pengawasan.(skd)
Berita Terkait
Presiden Jokowi akan hadiri Kongres XVI GP Ansor di atas kapal
Rabu, 31 Januari 2024 10:26 Wib
Polisi cermati foto lokasi penemuan jenazah wanita dalam peti kemas
Rabu, 24 Januari 2024 7:39 Wib
Polisi sita sebanyak 7,2 kilogram narkotika saat penggerebekan di Tanjung Priok
Selasa, 26 September 2023 13:21 Wib
Satu keluarga tewas akibat kebakaran di Tanjung Priok
Minggu, 27 Agustus 2023 14:31 Wib
Polisi bentuk tim khusus tangkap begal di tol Tanjung Priok
Selasa, 18 Juli 2023 9:13 Wib
Sebanyak 1.073 penumpang kapal laut berlayar dari Pelabuhan Tanjung Priok tujuan Bangka dan Surabaya
Selasa, 25 April 2023 16:24 Wib
Otoritas pelabuhan Tanjung Priok mencatat keberangkatan 173 pemudik
Rabu, 19 April 2023 17:38 Wib
KRI Banjarmasin angkut 861 pemudik menuju Surabaya
Selasa, 18 April 2023 12:31 Wib