Kunci perbaiki demokrasi adalah buat parpol lebih baik
Jakarta (ANTARA) - Pengamat Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi menilai salah satu kunci memperbaiki demokrasi adalah membuat partai-partai politik (parpol) menjadi lebih baik, terutama terkait dengan pelembagaan atau institusionalisasi partai politik.
"Tak ada resep demokrasi tanpa parpol. Maka, apabila mau memperbaiki demokrasi, kuncinya adalah bikin parpol jadi lebih baik. Kalau parpol memburuk, tingkat kepercayaan publik pada demokrasi juga memburuk. Maka, demokrasi tergantung pada seberapa baik institusionalisasi partainya. Semakin baik institusionalisasi parpol, semakin baik demokrasinya," kata Burhanuddin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dia menyampaikan hal itu dalam seminar nasional bertema "Pelembagaan Partai dan Kepemimpinan Strategis Nasional" yang digelar Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) bersama Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG) Pascasarjana Universitas Indonesia di Bandung, Jawa Barat, Kamis.
Lebih lanjut, Burhanuddin menyebutkan tiga isu pelembagaan atau institusionalisasi parpol yang rentan melahirkan konflik intra-partai, sehingga perlu diperbaiki.
Pertama ialah terkait model genetik partai-partai di Indonesia yang secara umum lebih dipengaruhi oleh karisma figur, dengan ditandai oleh peleburan total terhadap identitas partai dengan pemimpinnya.
Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan menjelaskan partai menjelma sebagai pihak yang hanya bertumpu pada daya tarik personal, bukan pada daya tarik institusional. Menurutnya, kondisi itu memang mengurangi potensi konflik, tetapi tidak bersifat permanen.
"Masalah kedua adalah ketersediaan sumber daya, terutama pembiayaan partai, baik dari sisi kebutuhan operasional partai maupun pemilu atau campaign finance. De-institusionalisasi partai yang melahirkan konflik banyak disebabkan oleh perebutan sumber daya," jelas Burhanuddin.
Berikutnya, yang ketiga adalah masalah faksionalisasi atau perebutan kekuasaan antara sejumlah pihak di partai.
Dosen pascasarjana Universitas Paramadina itu mengatakan ada tiga tipologi dari faksionalisasi itu. Klasifikasi pertama ialah faksi yang terbentuk atas dasar kesamaan cara pandang dalam merespons isu-isu politik. Faksi itu biasanya tidak berusia panjang dan bersifat insidental dan informal.
Klasifikasi kedua adalah faksi yang terbentuk karena relasi patronase politik, yakni dipengaruhi faktor karisma tokoh-tokoh sebagai penyokong dan pengurus partai lainnya sebagai klien. Klasifikasi ketiga yaitu faksi yang terbentuk secara formal dan terorganisasi.
"Saya termasuk orang yang tidak pernah mau nyinyir dengan politisi dan aktivis partai. Kalau ada orang baik masuk partai politik, kita harus dorong. Jangan sampai partai diisi sama orang yang bermasalah karena masalah partai sudah banyak. Trust (kepercayaan) rendah, fungsi intermediasi dipersepsi rendah. Makin lama, pemilih makin jauh dengan partai; tetapi kita tidak ada pilihan lagi berdemokrasi tanpa partai," ujar Burhanuddin.
Selain Burhanuddin, seminar tersebut juga dihadiri oleh sejumlah pihak lainnya, antara lain Kepala Program Studi (Kaprodi) SKSG A. Hanief Saka Ghafur serta Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
"Tak ada resep demokrasi tanpa parpol. Maka, apabila mau memperbaiki demokrasi, kuncinya adalah bikin parpol jadi lebih baik. Kalau parpol memburuk, tingkat kepercayaan publik pada demokrasi juga memburuk. Maka, demokrasi tergantung pada seberapa baik institusionalisasi partainya. Semakin baik institusionalisasi parpol, semakin baik demokrasinya," kata Burhanuddin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dia menyampaikan hal itu dalam seminar nasional bertema "Pelembagaan Partai dan Kepemimpinan Strategis Nasional" yang digelar Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) bersama Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG) Pascasarjana Universitas Indonesia di Bandung, Jawa Barat, Kamis.
Lebih lanjut, Burhanuddin menyebutkan tiga isu pelembagaan atau institusionalisasi parpol yang rentan melahirkan konflik intra-partai, sehingga perlu diperbaiki.
Pertama ialah terkait model genetik partai-partai di Indonesia yang secara umum lebih dipengaruhi oleh karisma figur, dengan ditandai oleh peleburan total terhadap identitas partai dengan pemimpinnya.
Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan menjelaskan partai menjelma sebagai pihak yang hanya bertumpu pada daya tarik personal, bukan pada daya tarik institusional. Menurutnya, kondisi itu memang mengurangi potensi konflik, tetapi tidak bersifat permanen.
"Masalah kedua adalah ketersediaan sumber daya, terutama pembiayaan partai, baik dari sisi kebutuhan operasional partai maupun pemilu atau campaign finance. De-institusionalisasi partai yang melahirkan konflik banyak disebabkan oleh perebutan sumber daya," jelas Burhanuddin.
Berikutnya, yang ketiga adalah masalah faksionalisasi atau perebutan kekuasaan antara sejumlah pihak di partai.
Dosen pascasarjana Universitas Paramadina itu mengatakan ada tiga tipologi dari faksionalisasi itu. Klasifikasi pertama ialah faksi yang terbentuk atas dasar kesamaan cara pandang dalam merespons isu-isu politik. Faksi itu biasanya tidak berusia panjang dan bersifat insidental dan informal.
Klasifikasi kedua adalah faksi yang terbentuk karena relasi patronase politik, yakni dipengaruhi faktor karisma tokoh-tokoh sebagai penyokong dan pengurus partai lainnya sebagai klien. Klasifikasi ketiga yaitu faksi yang terbentuk secara formal dan terorganisasi.
"Saya termasuk orang yang tidak pernah mau nyinyir dengan politisi dan aktivis partai. Kalau ada orang baik masuk partai politik, kita harus dorong. Jangan sampai partai diisi sama orang yang bermasalah karena masalah partai sudah banyak. Trust (kepercayaan) rendah, fungsi intermediasi dipersepsi rendah. Makin lama, pemilih makin jauh dengan partai; tetapi kita tidak ada pilihan lagi berdemokrasi tanpa partai," ujar Burhanuddin.
Selain Burhanuddin, seminar tersebut juga dihadiri oleh sejumlah pihak lainnya, antara lain Kepala Program Studi (Kaprodi) SKSG A. Hanief Saka Ghafur serta Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.