Palu (Antaranews Sulteng) - Masyarakat sekitar, memanggil dia dengan panggilan Om Bob (62 tahun), warga Lorong II Jalan Lasoso, Palu Barat.
Selama 11 hari setelah gempa dan tsunami yang menerjang lingkungan tempat tinggalnya pada Jumat (28/9) petang, Om Bob hingga Selasa (9/10) masih bertahan di kompleks kediamannya, padahal para penduduk sekitarnya telah mengungsi ke luar wilayah.
Pada malam hari, saat listrik tidak bisa mengalirkan energi karena tiang dan kabel-kabel kawatnya centang perenang, Om Bob bertahan di tengah puing-puing rumah. Rumahnya terpendam ke dalam tanah, menyisakan bekas-bekas patahan atap dan tiang.
Jalan menuju tempat tinggalnya terbelah menganga dan dataran tanah yang ambles bermeter-meter.
Saban malam, dia hanya ditemani sebatang senter, tidur di pondok kayu beratap rumbia dan tidak berdinding.
Kompleks rumahnya yang dulu ramai dengan tetangga, kini sunyi senyap.
Suara berisik mahasiswa dan pegawai yang tinggal di kos-kosan karena lingkungannya dekat dengan Kampus IAIN Palu, Universitas Al-Khairaat, dan pusat perbelanjaan Palu Grand Mall, tak lagi mengusik.
Sementara alunan suara mengaji dan adzan di masjid dekat rumahnya, kini menjadi sunyi membisu.
Masjid Iqra, yang sebelumnya berdiri tegap dan memancarkan cahaya hijau dari pilar-pilarnya kini tak bisa lagi didatangi jamaah untuk beribadah.
Masjid yang dibangun mantan Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele itu tersungkur setelah sebagian tanahnya terbelah dan mengeluarkan air bercampur lumpur.
Tanah di halaman masjid yang dulunya tandus kini menjadi aliran sungai kecil yang terbentuk seketika selepas gempa.
Suasana rumah kos-kosan di belakang dan samping rumah Om Bob yang dulunya pecah karena tawa dan canda, kini tergantikan suara jangkrik.
Rumah tetangga yang biasanya ramah, haru membiru kini berubah seperti amarah karena tiang dan dinding-dinding pagar roboh.
Dinding rumah jebol bahkan sebagian bergeser posisi, mengikuti pergerakan tanah saat gempa berlangsung.
Di tengah suasana inilah Om Bob bertahan di bekas reruntuhan rumahnya karena dirinya yakin akan ada hikmah di balik peristiwa dahsyat itu.
"Ini ujian. Kita harus jalani dengan ikhlas karena di balik kesusahan Allah akan memberikan kemudahan," ungkapnya.
Itulah menjadi pegangan Om Bob sehingga dirinya mampu bertahan di tengah dua unit rumah permanennya yang roboh dan tak lagi bisa dihuni. Harta bendanya ludes dalam sekejap.
Sepekan setelah bertahan di dekat rumahnya bersama istri dan seorang anak bungsunya, Om Bob akhirnya mengungsikan istri dan anaknya sementara waktu ke Kalimantan.
Di Kalimantan, istri dan anak bungsunya itu tinggal sementara dengan anak sulungnya yang sudah berkeluarga dan tinggal di seberang pulau.
Sementara Om Bob memilih bertahan di lorong itu, kendati seorang diri saat para tetangga dan penghuni kos sekitarnya mengungsi meninggalkan rumah dan harta benda lainnya.
"Sampai kapan pun saya tetap di sini, di tanah Kaili. Ini tanah nenek moyang kami yang harus kita bangun kembali setelah gempa," kata Om Bob.
Kompleks tempat tinggal Om Bob di Lorong II Lasoso, berjejer sekitar 30 rumah. Umumnya rumah permanen dan sebagian bangunan kos-kosan.
Saat gempa mengguncang Jumat 28 September 2018, lorong ini terbilang salah satu titik parah karena berada di jalur lempeng yang sumbu utamanya diduga dari wilayah di Kelurahan Balaroa.
Tanah yang terbelah di lorong ini terhubung sampai di Jalan Lasoso sampai ke depan Palu Grand Mall sehingga terbentuk semacam alur sungai yang baru padahal sebelumnya tidak ada jalur sungai di lokasi-lokasi tersebut.
Rumah-rumah yang dilalui jalur ini terbelah bahkan sebagian badan rumahnya ikut tertimbun, seperti tersedot ke dalam tanah.
"Ini di luar dugaan kita semua. Saya dan keluarga hanya bisa pasrah karena akan ada sesuatu yang lebih baik dari peristiwa ini," katanya.
Detik-detik datangnya gempa petang itu, Om Bob baru saja selesai mengurus ternak ayamnya.
Bapak tiga anak itu segera membersihkan badan dan bergegas menjalankan Shalat Maghrib.
"Tiba-tiba angin bertiup, tidak lama kemudian gempa hebat. Saya baru rasakan gempa sebesar ini sampai saya berkali-kali jatuh," katanya.
Saat gempa mengguncang, Om Bob berusaha menghindar di antara pagar dan bangunan rumahnya.
Hanya bergeser beberapa langkah tiba-tiba material dari dinding atas rumahnya roboh. Untungnya Om Bob tidak tertimpa.
Saat ia berusaha melangkah hendak menolong istrinya, ia kembali terjatuh dan melihat dinding depan rumahnya sudah roboh disusul atap rumahnya yang sujud ke tanah.
Sementara dinding beton pagar dan rumah tetangganya sudah terjungkal.
Kabel-kabel listrik di depan rumahnya sudah menggelantung. Suara bruuuk, braaak pun tidak terbendung.
"Saya, istri, dan anak bersyukur karena kami selamat. Tetangga sekitar juga selamat," katanya.
Saat suasana gaduh memecah maghrib petang itu, orang-orang pun berlarian mencari tempat yang aman menyusul merebaknya kabar tsunami sudah naik. Hampir semua rumah ditinggalkan tanpa tertutup.
Kendaraan ditinggalkan di tengah jalan karena jalan sudah pecah bahkan ambles. Tiang listrik dan kabel sudah menutup jalan.
"Saat semua orang sudah pergi saya sendiri bertahan di sini. Sunyi sekali," katanya mengisahkan.
Saat itulah Om Bob mendatangi rumah-rumah yang masih bisa ditutup pintu rumahnya lalu mengamankan barang-barang berharga seperti enam laptop dan sejumlah telepon genggam.
Ketika para pemiliknya kembali tengah malam dan pagi harinya, barulah Om Bob menyerahkan perangkat teknologi itu kepada para pemiliknya.
"Saya amankan barang-barang itu karena khawatir ada orang lain yang mengambil," katanya.
Hingga hari ke 11 setelah gempa, baru sebagian tetangga Om Bob yang kembali bersih-bersih rumah sambil menjaga harta milik mereka. Menjelang maghrib tempat itu kembali sepi karena mereka mengungsi.
Lorong tempat tinggalnya hingga kini belum juga dapat dialiri listrik karena tiang-tiangnya miring bahkan kabel-kabel putus, centang perenang di tanah.
Lorong yang biasanya dilintasi mobil dan sepeda motor itu, hingga kini belum dapat dilalui karena banyaknya titik yang terbelah dan dialiri air.
Meski seperti kota mati, Om Bob tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk meninggalkan tempat itu.
Baginya di tempat itulah separuh dari perjalanan hidup keluarganya dibangun dengan berbagai suka dan dukanya.
Om Bob saat ini masih mengorek-orek barang-barangnya mungkin bisa diselamatkan dari rumahnya yang ambruk.
Setelah itu dia berencana membangun kembali tempat tinggal di lokasi itu dengan sisa-sisa kemampuan dan usia yang ada. Itu pun kalau pemerintah tak merelokasi dia ke tempat lain.***