Kolonodale, Sulteng (ANTARA) - Benang kusut tumpang tindih lahan di perusahaan perkebunan sawit PT Agro Nusa Abadi (ANA), Morowali Utara, Sulawesi Tengah, telah merugikan berbagai pihak. Kompleksitas permasalahan tak kunjung selesai. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah pun turun tangan berupaya mengurai menggunakan skema win-win solution bagi seluruh pemangku kepentingan terkait.
“Mediasi adalah jalan yang baik untuk memastikan hak-hak pemilik lahan,” kata Ridha Saleh, tokoh di Sulawesi Tengah yang terlibat aktif dalam proses penyelesaian lahan PT ANA.
Sejumlah langkah telah dilakukan. Harapannya, klaim-klaim itu mereda dan tidak ada lagi sehingga perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diundang berinvestasi di Sulawesi Tengah itu bisa melanjutkan proses perolehan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).
Sejauh ini, meskipun PT ANA sejak awal mengurus dan berupaya memperoleh sertifikat HGU, regulasi itu belum bisa dipenuhi karena lahan belum clear and clean. HGU belum bisa diperoleh karena masih adanya tumpang tindih SKT (surat keterangan tanah) yang melibatkan sekitar 28 individu dan kelompok yang memperebutkan lahan yang sama yang HGU-nya tengah dimohonkan PT ANA.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Tenaga Ahli Gubernur Sulawesi Tengah, yang kala itu dijabat Ridha Saleh, Pemerintah Propinsi telah mengeluarkan kebijakan lahan yang harus dilepas PT ANA seluas 941 hektar, yang meliputi dua Desa yakni di Desa Bungintimbe seluas 659 hektar dan di Desa Bunta kecamatan Petasia Timur seluas 282 hektar.
Pelepasan lahan tersebut berdasarkan surat Gubernur Sulawesi Tengah, Nomor : 540/412/SEKDAPROF Tanggal 28 november 2022, surat kepala Desa Bungintimbe Nomor : 025/370/LP/biasa/BTB/2023 Tanggal 23 Maret 2023, surat Kepala Desa Bunta Nomor : 048/561/BNT/V/2023 Tanggal 8 Mei 2023 dan surat Bupati Morowali Utara Nomor : 593.7/125/PEN/VIII/2023 Tanggal 9 Agustus 2023.
PT ANA pun siap melaksanakan seluruh isi keputusan tersebut. Termasuk perintah untuk melepas lahan.
Namun, permasalahan lahan di sekitar PT ANA tidak semudah yang dibayangkan. Meskipun rekomendasi Gubernur sudah tegas dan jelas, bahkan dilengkapi dengan penekanan bahwa aparat keamanan diminta menjaga kondusifitas keamanan di lokasi, klaim-klaim lahan yang diikuti penjarahan buah termasuk kebun petani plasma belum juga mereda. Kecenderungannya, bahkan semakin banyak dan luas.
Hampir seluruh lahan di PT ANA di-klaim oleh oknum-oknum masyarakat. Tidak hanya mengklaim, mereka juga memaksa masuk ke kebun perusahaan dan memanen buah-buah kelapa sawit dari pohon yang ditanam perusahaan.
Tidak hanya kebun dalam areal yang tengah dikelola perusahaan, kebun-kebun plasma yang dibangun perusahaan untuk masyarakat pun tak luput dari aksi para klaimer.
Seperti diketahui, PT ANA membangun kebun plasma yang diperuntukkan demi kesejahteraan masyarakat setempat. Namun, tujuan perusahaan yang ingin memberi dampak peningkatan ekonomi itu terkendala. Sejumlah oknum klaimer menduduki lahan-lahan tersebut.
Salah satu pimpinan petani plasma yang juga menjadi Ketua Koperasi Bunga Sawit Desa Bunta, Seprianus Nggaluku mengatakan bahwa klaimer tidak berhak atas lahan tersebut. Apalagi, menurut Seprianus, petani plasma bisa menunjukkan bukti kepemilikan mereka atas lahan tersebut.
Bukti-bukti tersebut yang dimiliki kelompoknya, diantaranya, SK Bupati Morowali Utara No.188.45/KEP-B.MU/0213/IX/2016. “Pada kenyataannya, klaimer ini yang merampas hak petani plasma memanen buah sawit milik petani plasma yang diberikan oleh PT ANA ke petani plasma Desa Bunta,” katanya.
Seprianus Nggaluku juga mengeluhkan perkembangan yang terjadi di lapangan. Bukan hanya menguasai satu atau dua hektar, menurutnya, sekitar 10 blok lahan plasma yang seharusnya menjadi milik petani kelompoknya, telah dikuasai oleh klaimer yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Akibatnya, para petani yang tergabung dalam koperasi tidak bisa menikmati hasil sawit mereka itu.
Aksi oknum-oknum klaimer ini yang membuat situasi di sekitar PT ANA berpotensi menimbulkan konflik antar warga masyarakat. Dengan berpedoman pada perlindungan hak asasi manusia, perusahaan berupaya mencegah konflik dengan meminta kehadiran aparat penegak hukum di lapangan.
Potensi konflik itu terbuka lebar. Itu sebabnya, Kepala Desa Bungintimbe Musniati dan Kepala Desa Bunta Christo Lolo juga sepakat untuk mengajukan permohonan pengamanan kepada kepolisian setempat hingga proses pelepasan lahan dilakukan dan tercapai kesepakatan bersama terkait pengelolaan plasma.
Musniati juga mengingatkan agar verifikasi dan validasi kepemilikan lahan di lapangan dilakukan dengan cara yang hati-hati dan tidak gegabah. Sebab, banyak penggugat yang mengklaim di atas lahan yang sama sehingga menciptakan konflik horizontal antar sesama masyarakat.
Banyak pihak dan harus duduk bersama
Dalam hal lahan dan masyarakat, menurut Ridha, PT ANA tentu saja memiliki kewajiban membangun perkebunan plasma bagi masyarakat. Namun luasan di masing-masing desa akan bervariasi sesuai dengan kesepakatan bersama. Menurutnya, upaya yang telah dilakukan bersama telah berjalan dengan baik karena penyelesaian dilakukan dari bawah ke atas.
Menurutnya, mediasi harus terus dilakukan. “Petani plasma bisa aktif kembali, serta buruh bisa produksi lagi dan jalan seperti biasa. Prosesnya saat ini terus berjalan. Pada rapat terakhir, BPN menginfokan HGU tahap pertama kemungkinan akan disetujui,” katanya.
PT ANA pun, menurut Ridha, secara berkesinambungan telah mengikuti tahapan-tahapan yang berlaku serta patuh pada peraturan yang telah ditetapkan Gubernur.
Memang, berdasarkan laporan verifikasi Econusantara (ENS), awal kehadiran PT ANA di Sulteng bermula dari undangan pemerintah daerah. PT ANA menerima undangan investasi dari Pemerintah Kabupaten Morowali pada awal tahun 2006. Sebagai tindak lanjutnya, perusahaan melakukan pengurusan HGU pertama kali dimulai sejak tahun 2007.
Pada tahun 2011, PT ANA telah mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP). Hasil investigasi ENS, PT ANA belum memiliki HGU akibat sengketa tanah yang belum terselesaikan. Kompleksitas masalah ini juga tampak dari hasil validasi dan verifikasi objek lahan yang berbeda-beda setiap kali dilakukan serta kurangnya kejelasan mengenai batas dan penanda batas lahan.
Pakar Hukum Kehutanan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Hotman Sitorus menegaskan bahwa penerbitan sertifikat HGU memang melalui sebuah proses yang panjang. Setelah diterbitkannya ijin lokasi (Ilok) lalu dilanjutkan dengan proses penerbitan IUP maka berdasarkan aturan semua pihak yang sebelumnya memiliki lahan tersebut sudah tidak memiliki hak lagi, dan hak tersebut telah beralih pada pemilik IUP.
"UU Perkebunan 39/2014 pasal 42 secara tegas mengatur syarat berkebun adalah mempunyai IUP atau HGU kemudian diubah putusan MK No. 138/2015 menjadi mempunyai IUP dan HGU. Tetapi harus dipahami bahwa putusan MK ini hanya berlaku perusahaan yang IUP-nya terbit setelah putusan MK tahun 2015 sedangkan bagi perusahaan yang IUP-nya terbit sebelum putusan MK tahun 2015 syaratnya adalah cukup mempunyai IUP,” tegasnya.
Lebih lanjut Hotman juga menyoroti berbagai kasus konflik agraria yang disebabkan oleh kisruh akibat banyaknya Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang dimiliki masyarakat.
Menurutnya, SKT yang dikeluarkan oleh pemerintah desa tersebut harus ditertibkan. Tidak hanya berimplikasi pada semakin lamanya proses alih fungsi lahan, dikhawatirkan juga memicu terjadinya konflik antar masyarakat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Ekologi Nusantara Lestari (EKONESIA) Azmi Sirajudin pun menyampaikan bahwa masalah klaim lahan yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit PT ANA di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah harus dilihat secara holistik.
Hal ini terkait dengan berbagai aspek dan unsur yang saling bersinggungan, baik dari sisi perusahaan, masyarakat, petani, dan pemerintah daerah.
Oleh karena itu diharapkan, rekomendasi dari Pemprov Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Morowali Utara mengenai distribusi lahan sekitar 659 hektare di Desa Bungintimbe dan 282 hektare di Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur dapat segera dilaksanakan.
"Kami berharap dengan adanya komunikasi dan penyelesaian yang melibatkan semua pihak, konflik agraria di Morowali Utara dapat diselesaikan secara damai dan berkeadilan," katanya.
Memang, perbedaan kepentingan sangat mungkin terjadi. Kendati demikian, semua pihak, baik masyarakat, LSM, juga perusahaan diharapkan berpikir dan bersikap konstruktif sehingga proses penyelesaian lahan berjalan lancar serta menemukan solusi terbaik.
Pemprov Sulteng urai benang kusut klaim lahan dan dorong proses HGU perusahaan sawit PT ANA

Dokumentasi - Perkebunan kelapa sawit. ((FOTO ANTARA))