Royalti dan Hari Musik Nasional

id Musik,Hari musik,Hari Musik Nasional,Royalti,anang hermansyah

Royalti dan Hari Musik Nasional

Pengunjung melihat pameran foto pada acara Hari Musik Nasional di M Bloc, Jakarta, Senin (9/3/2020). Acara tersebut selain menampilkan pertunjukan musik juga pameran foto perjalanan musisi WR Supratman. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.

Jakarta (ANTARA) - Beragam pesan dan harapan disampaikan banyak pihak bertepatan Hari Musik Nasional, 9 Maret 2020.

Tak sedikit pula kalangan musisi menyampaikannya melalui platform-platform media. Semua pesan dan harapan itu disampaikan, tentu demi kemajuan permusikan nasional.

Pesan dan harapan itu mencerminkan besarnya peran musik. Tak dapat dimungkiri bahwa musik sudah teramat menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Dunia musik nasional juga terus berkembang dengan beragam karya. Hal itu tentu saja melahirkan generasi-generasi baru untuk mengisi zamannya.

Hari Musik Nasional diperingati setiap 9 Maret sejak tahun 2013. Tanggal ini dipilih karena merupakan hari lahir pencipta lagu kebangsaan "Indonesia Raya" serta Pahlawan Nasional, Wage Rudolf (WR) Supratman.

Peringatan kali pertama dilakukan pada 9 Maret 2013 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 10 Tahun 2013 tentang Hari Musik Nasional. Tahun ini merupakan peringatan ke delapan.

Musisi dan pegiat ekonomi kreatif Anang Hermansyah termasuk orang yang menyampaikan harapan terkait peringatan Hari Musik Nasional pada 9 Maret ini. Dia menyampaikan selamat atas peringatan Hari Musik Nasional tahun ini.

Namun bagi dia, peringatan kali ini menyisakan persoalan serius sektor musik di Indonesia. Dunia musik terus berkembang, tetapi juga menghadapi tantangan yang semakin tidak ringan.

Peringatan Hari Musik Nasional pada 2020 ini dinilai masih berkutat pada masalah klasik, yakni mengenai hak cipta. Pemerintah perlu secara tuntas membereskan masalah tersebut.

Ini karena supremasi hak cipta masih sangat lemah. "Sedangkan tantangan di sektor musik Indonesia makin kompleks," ujar Anang dalam keterangan persnya yang disampaikan di Jakarta, Senin (9/3).


Belum Maksimal

Menurut anggota DPR RI periode 2014-2019 ini potensi musik di Indonesia cukup menjanjikan. Hanya saja dalam kenyataannya kontribusi musik untuk Produk Domestik Bruto (PDB) tak mencapai satu persen.

Angka PDB sektor musik hanya 0,48 persen. Salah satunya disebabkan persoalan hak cipta yang tak kunjung dibereskan oleh pemangku kepentingan.

Dari sisi instrumen hukum sebenarnya telah tersedia melalui UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun implementasi di lapangan aturan tersebut belum maksimal.

Seperti keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang cukup vital untuk penarikan dan pembayaran royalti secara akurat, akuntabel dan berintegritas. Namun, keberadaan Big Data tentang musik sampai sekarang belum terwujud.

Sebut saja soal rencana portamento sebagai instrumen untuk monitoring pergerakan pemutaran lagu di rumah karaoke, pusat perbelanjaan, kafe, hotel dan tempat objek wisata. Namun hingga saat ini belum terealisasi.

Portamento sebagai medium untuk supremasi hak cipta dan royalti pencipta dan penyanyi lagu, sampai sekarang juga belum jelas keberadaannya.

Masalah lainnya yang juga perlu menjadi perhatian adalah mengenai perkembangan digital yang begitu masif disandingkan dengan sektor musik di Indonesia. Ada perubahan pola penikmat musik yang satu dekade sebelumnya membeli lagu, namun saat ini hanya menyewa lagu.


Adaptif

Tak terkecuali layanan streaming YouTube yang dijadikan tempat bagi musisi untuk mengunggah karyanya. Perkembangan digital melahirkan disrupsi di sektor musik ini.

"Apa langkah pemerintah? Bagaimana mengenai aturan pajak imbas digital ini?" tanya Anang.

Terhadap hal itu semestinya pemerintah menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangan mengenai hak cipta yang adaptif dengan perkembangan digital yang masif ini. Di negara Eropa dan Amerika telah mengubah aturan tentang hak cipta yang adaptif dengan perkembangan digital berupa Music Modernazation Act.

Di saat momentum peringatan Hari Musik Nasional ini, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah nyata untuk menjadikan musik sebagai salah satu instrumen penting dalam pemasukan bagi negara. Pendidikan di bidang musik harus menjadi perhatian pemerintah untuk mengembangkan musik di Indonesia.

Langkah selanjutnya, pemerintah selayaknya memikirkan mengenai masa depan pekerja musik terkait upah minimum, durasi jam kerja, termasuk sertifikasi bagi pekerja musik. Tujuan utamanya adalah untuk memuliakan profesi musisi.

Fenomena bangkitnya lagu-lagu daerah di panggung musik nasional juga patut disambut positif. Fenomena Didi Kempot, misalnya, harus dijadikan momentum bagi pemerintah untuk menguatkan musik di daerah-daerah.


Laboratorium

Kekayaan musik di Indonesia perlu terus dieksplorasi dan dikembangkan oleh pemerintah bersama pihak terkait. Salah satunya mendirikan laboratorium musik di daerah sebagai bagian dari dorongan pemajuan kebudayaan yang berbasis di daerah.

Untuk itu penting bagi pegiat musik memiliki asosiasi profesi yang didirikan komunitas musik sebagai wadah untuk penguatan sesama pelaku di ekosistem musik di Indonesia. Berdirinya Federasi Serikat Musik Indonesia (FSMI) menjadi embrio positif bagi penguatan para pelaku industri musik di Indonesia.

Peringatan Hari Musik Nasional yang bertepatan dengan hari lahir Pahlawan Nasional WR Supratman memiliki pesan penting. "Salah satu bait di lagu Indonesia Raya, "bangunlah jiwanya, bangunlah raganya" perlu terus diaktualisasikan oleh pemangku kepentingan dengan membangun musik Indonesia agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Seolah menjawab pesan dan harapan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan komitmennya untuk memajukan permusikan di Tanah Air.

Bahkan di Kemendikbud sekarang telah ada Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru (PMMB). Direktorat baru ini di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Direktorat PMMB inilah yang mencari solusi atas permasalahan permusikan nasional. Tak berlebihan kiranya bila banyak pihak menanti kiprahnya.