Potret kerja keras Sulteng tekan stunting

id stunting,kasus kekerdilan,pemprov sulteng,pemda di sulteng,pemenuhan gizi

Potret kerja keras Sulteng tekan stunting

Kepala DP3A Provinsi Sulteng Ihsan Basir memakaikan APD cegah COVID-19 kepada salah satu anak penyintas gempa, tsunami dan likuefaksi di Palu. (Dok DP3A)

Palu (ANTARA) - Stunting atau kekerdilan anak di Sulawesi Tengah masih menjadi masalah serius yang dihadapi pemerintah setempat dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sulteng prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang di Sulteng tahun 2018 tercatat sebesar 19,7 persen.

Angka itu menurun dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 sebesar 24 persen.

Data juga menyebutkan prevalensi balita pendek dan sangat pendek pun juga ikut menurun dari 41 persen menjadi 32,3 persen, tetapi prevalensi balita kurus dan sangat kurus justru mengalami peningkatan dari 9,4 persen menjadi 12,8 persen.

Baca juga: Pemkab Parimo jadikan rekomendasi akademisi rujukan tangani stunting

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), yang mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan otak.

Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola meminta pemerintah daerah kabupaten dan kota di provinsi itu agar menekan peningkatan kasus stunting, demi mewujudkan pertumbuhan anak dan generasi muda dengan kualitas yang baik.

"Stunting menjadi satu prioritas pembangunan, yang harus menjadi perhatian pemda dan semua pihak, termasuk keluarga, dalam mewujudkan pertumbuhan generasi muda yang sehat," kata Longki.

Komitmen Pemda

Hampir semua daerah di Provinsi Sulawesi Tengah memiliki kasus stunting yang masih tinggi, salah satunya di Kabupaten Sigi.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sigi, angka kasus kekerdilan di daerah itu pada 2019 dengan status pendek dan sangat pendek untuk usia 0-23 bulan mencapai 1.199 kasus atau 20,2 persen, sedangkan usia 0-59 bulan mencapai 3.580 kasus atau 24,7 persen.

Atas kondisi itu, Bupati Sigi Mohammad Irwan Lapatta mengemukakan bahwa penanganan dan pengentasan stunting menjadi satu prioritas dalam penyelenggaraan pembangunan di Sigi.

Baca juga: Gubernur Longki Djanggola minta pemda tekan peningkatan kasus stunting

Pemkab Sigi, kata Irwan telah menetapkan 10 desa sasaran lokasi fokus pencegahan dan penanganan kasus stunting.

10 desa tersebut ditetapkan Pemkab Sigi melalui Keputusan Bupati Sigi Nomor: 444-185 Tahun 2020 terdiri atas Desa Lemosiranindi, Pelempea, Morui, Marena, Siwongi, Rantewulu, Waturalele, Langko, Sibalaya Selatan, dan Sibalaya Barat.

Hal itu dalam rangka mendukung penanganan stunting secara nasional yang merupakan program prioritas nasional dengan target prevalensi penurunan secara nasional mencapai 14 persen.

Irwan mengatakan stunting atau kekerdilan menghambat sumber daya manusia (SDM), karena itu harus diberantas demi menciptakan generasi muda unggul di masa kini dan akan datang.

"Sesuai arahan Presiden bahwa perhatian pemerintah lima tahun ke depan diprioritaskan pada pembangunan SDM, menegaskan arahan tersebut, stunting menjadi salah satu fokus yang harus diselesaikan untuk mencapai pembangunan SDM yang berkualitas, dinamis, terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi," kata Irwan.

Baca juga: Gerakan makan ikan dapat atasi permasalahan stunting di Sulteng

Selain Kabupaten Sigi, Kabupaten Buol juga menjadi satu daerah di Sulteng yang kasus stunting juga masih terbilang tinggi.

Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Buol, kasus stunting dalam kurun waktu tiga tahun terakhir terhitung sejak 2017 sampai 2019 telah terjadi penurunan kasus yang sangat signifikan.

Di tahun 2017 angka kasus stunting di Kabupaten Buol masih mencapai 41,3 persen, terus menurun pada 2018 menjadi 34,2 persen, dan 2019 menjadi 9,4 persen.

Bupati Buol, Amirudin Rauf mengatakan Pemkab Buol berkomitmen kuat untuk memberantas stunting, dengan melakukan pemenuhan gizi yang layak ke masyarakat.

Dia mengatakan setiap warga di daerah yang dipimpinnya berhak untuk tumbuh sehat dan bebas dari stunting atau kekerdilan.

Terkait hal itu, Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong juga menetapkan 36 desa dari tujuh kecamatan sebagai lokasi fokus (lokus) penanganan stunting di daerah tersebut.

Penetapan desa lokus stunting melalui rangkaian kajian survei dan pemetaan yang dilakukan tim terpadu, termasuk akademisi, sehingga penyusunan rencana program sudah harus dimulai, dan ditindaklanjuti lewat Musrembang sebagai salah satu kegiatan menghimpun aspirasi untuk dimasukkan dalam program prioritas.

"Penuntasan kekerdilan anak merupakan program nasional yang ditindaklanjuti oleh daerah-daerah yang menjadi sasaran, salah satunya di Sulteng adalah Parigi Moutong. Oleh karena itu, program ini menjadi kewajiban serta prioritas dilaksanakan," ujar kata Pelaksana tugas Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Parigi Moutong, Irwan.

Baca juga: Langkah pemerintah di Sulteng atasi stunting dan gizi buruk

Libatkan Akademisi

Agar penanganan stunting berjalan baik melalui program-program strategis, pemerintah daerah menggandeng akademisi dari berbagai perguruan tinggi salah satunya dari Universitas Tadulako.

Kepala Bidang Sosial Budaya Bappelitbangda Parigi Moutong Abdul Said Nurdin mengemukakan kajian akademis terdapat 14 poin rekomendasi analisis situasi yang wajib dijalankan, salah satunya menyelenggarakan pelatihan melaksanakan aksi konvergensi/integrasi lintas sektor.

Dikemukakannya, keberhasilan dalam penanganan kekerdilan anak harus berangkat dari komitmen pemerintah daerah, yang didukung dengan keterlibatan para pihak mulai dari organisasi dan lembaga, pemangku kepentingan, swasta hingga akademisi.

"Keberhasilan Parigi Moutong menekan angka kasus kekerdilan anak hingga 12 persen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mengacu pada rekomendasi hasil analisis tersebut, bahkan pada penilaian tingkat nasional, Parigi Moutong mendapat predikat baik," kata Said.

Begitu juga di Kabupaten Sigi, berkat sinkronisasi dan koordinasi yang melibatkan para pihak termasuk akademisi, maka salah satu strategi pengentasan stunting yakni menjadikan perempuan sebagai sasaran masyarakat hidup sehat (Germas).

“Kampanye Germas cegah kekerdilan ini difokuskan terhadap para remaja putri. Dengan tujuan untuk disiapkan kesehatannya agar tidak menderita anemia,” kata Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Sigi, Rika F Sakaruddin.

Menurut Rika, langkah tersebut bertujuan untuk menyiapkan kesehatan para remaja putri, sehingga kondisi ibu dan bayi kelak bila ia menikah dan hamil dalam kondisi sehat.

Dengan begitu, selama proses mengandung diupayakan tidak menderita anemia, sehingga bayi dalam kandungan tidak terdampak stunting.

Penyebab Stunting

Hampir sebagian besar pemerintah sepakat bahwa terdapat beberapa faktor yang mendasari terjadinya stunting atau kekerdilan dalam tumbuh kembang anak.

Bupati Buol Amirudin Rauf menguraikan tiga faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting meliputi kurangnya ketersediaan gizi, adat atau kebiasaan hidup (gaya/pola hidup masyarakat), dan pengetahuan/pemahaman masyarakat tentang kesehatan.

Ia mengemukakan, pemenuhan kebutuhan gizi warga di Kabupaten Buol merupakan kewajiban pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan yang tidak bisa ditunda dan ditawar.

"Sebab pemenuhan gizi ini sangat penting, untuk memastikan tumbuh kembang masyarakat utamanya generasi muda yang sehat dan berkualitas," ungkap dia.

Langkah pemenuhan gizi, kata dia, dilakukan secara masif dan terstruktur lewat program rencana aksi daerah pengentasan stunting, yang diikutkan dengan sinergi antar organisasi perangkat daerah.

Selanjutnya, faktor kebiasaan, kata Amirudin, semua komponen di Buol harus diberikan pemahaman tentang pentingnya hidup sehat yang dibangun dari lingkungan rumah tangga.

"Ini harus diawali dengan pendataan untuk melihat wilayah-wilayah permukiman warga yang rawan stunting, agar segera dilakukan pembenahan dan pencegahan. Pemerintah akan berupaya melakukan intervensi misalnya menyediakan sanitasi dan air bersih," ujar Bupati.

Begitu pula dengan faktor pemahaman atau pengetahuan masyarakat. Ia menyatakan warga harus diberikan pemahaman dan pencerahan tentang bahaya kekerdilan yang dimulai dengan membangun lingkungan rumah tangga yang sehat.