akarta, (Antaranews Sulteng) - Pembangunan infrastruktur fisik ekonomi digital harus dibarengi dengan "soft infrastructure" berupa pengembangan kapasitas Sumber Daya Manusia dan dukungan regulasi apabila Indonesia ingin mencapai target menjadi negara raksasa digital di 2020, kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.
"Jangan melulu fokus dalam pembangunan infrastruktur fisik," kata Darmin di Seminar "Mendorong Terciptanya Inklusi Keuangan Melalui Pemanfaatan Sistem Digital", di Jakarta, Rabu.
Turut hadir dalam acara tersebut Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir dan Practice Manager for East Asia and Pacific for The Finance, Competitiveness and Innovation Global Practice The World Bank Ganesh Rasagam.
Inisiasi pengembangan "soft infrastructure", kata Darmin, telah dimulai dengan dua program besar.
Pertama, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Peraturan ini dalam rangka memperluas akses masyarakat terhadap layanan perbankan.
"Di dalam Perpres SNKI, ada beberapa pilar yang perlu dijalankan. Mulai dari edukasi dalam bidang ini hingga sertifikasi tanah rakyat," ujar Darmin.
Kedua, program bantuan sosial sekarang ini telah dilakukan secara nontunai. Mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH), Program Indonesia Pintar (PIP), Program Indonesia Sehat (PIS) bahkan Beras Sejahtera (Rastra).
"Program sosial yang tadinya sangat offline, kita mengubahnya secara bertahap jadi online, by name by address," kata Darmin.
Ke depannya, pemerintah akan menyusun regulasi yang tidak mengekang industri ekonomi digital, namun tetap memperhatikan aspek kehati-hatian dan perlindungan konsumen.
"Kita juga perlu paham bagaimana regulasinya. Regulasi terlalu ketat akan mengekang inovasi, terlalu longgar bisa dimanfaatkan pihak-pihak melakukan wan prestasi," katanya.
Indonesia menargetkan akan menjadi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan target transaksi daring senilai 130 miliar dolar AS pada 2020.