Jakarta (ANTARA) - Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam dua dekade terakhir telah melahirkan lanskap sosial yang baru. Media sosial menjadi ruang publik digital yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini, membangun narasi, serta menyebarkan isu-isu sosial, ekonomi, dan politik secara luas dan cepat.
Di era digital ini, masyarakat memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya dalam memengaruhi proses kebijakan publik.
Salah satu dampak signifikan dari perubahan ini adalah meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mendorong lahirnya kebijakan melalui viralitas isu di media sosial. Fenomena ini dikenal dengan istilah viral-based policy (kebijakan berbasis viralitas), yakni kebijakan publik yang dirumuskan sebagai respons cepat terhadap isu-isu yang viral di ruang digital.
Munculnya kebijakan semacam ini menunjukkan adanya dinamika baru dalam tata kelola pemerintahan yang lebih terbuka terhadap tekanan publik. Namun, pada saat yang sama, juga muncul tantangan terhadap kualitas, keberlanjutan, dan legitimasi dari kebijakan yang dihasilkan.
Partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan bukanlah konsep baru. Namun, platform digital telah memungkinkan partisipasi ini terjadi secara lebih cepat, terbuka, dan meluas.
Di Indonesia, contoh nyata terlihat dalam berbagai isu penting seperti revisi Undang-Undang KPK, pengesahan Omnibus Law, kenaikan harga BBM, hingga isu pendidikan dan lingkungan. Masyarakat merespons isu-isu tersebut melalui berbagai kanal digital seperti petisi daring, kampanye hashtag, hingga aksi digital serentak yang kerap kali menjadi viral.
Viralitas tersebut berdampak langsung terhadap arah kebijakan. Ketika sebuah isu mendapat perhatian luas di media sosial, pemerintah sering kali terdorong untuk segera menanggapi atau menyesuaikan kebijakan agar tidak kehilangan legitimasi publik.
Hal ini menunjukkan bahwa media sosial telah menggeser bentuk partisipasi publik dari yang semula bersifat prosedural dan formal menjadi lebih spontan, horizontal, dan berbasis gerakan massa digital.
Pemerintah di era digital dituntut untuk responsif terhadap tuntutan masyarakat. Dalam konteks viralitas isu, respons ini sering kali bersifat cepat dan mendadak. Kebijakan dirumuskan dalam waktu singkat, atau paling tidak, pemerintah memberikan respons publik dalam bentuk pernyataan, klarifikasi, atau rencana tindak lanjut.
Namun, di sinilah tantangan utama dari viral-based policy. Karena muncul sebagai respons terhadap tekanan digital yang masif, banyak kebijakan yang bersifat reaktif tanpa melalui proses analisis kebijakan yang memadai.
Beberapa contohnya termasuk larangan mendadak terhadap aplikasi tertentu, pelarangan acara atau kegiatan, hingga distribusi bantuan instan tanpa peta jalan yang jelas. Seperti dicatat oleh Saputra (2024), kebijakan yang dibentuk di tengah tekanan opini publik sering kali lemah dalam hal perencanaan, koordinasi lintas sektor, dan evaluasi keberlanjutan. Akibatnya, kebijakan tersebut justru dapat memicu polemik baru atau bahkan penolakan dari kelompok masyarakat yang lebih luas, terutama dari kalangan warganet.
Risiko dan tantangan
Terdapat sejumlah risiko inheren dalam kebijakan yang dibentuk karena tekanan viralitas. Pertama, ketidakseimbangan antara substansi kebijakan dan proses perumusannya. Tidak semua isu viral mencerminkan urgensi atau kompleksitas permasalahan secara menyeluruh. Pemerintah yang terlalu cepat mengambil keputusan berisiko mengabaikan aspek fundamental dari kebijakan seperti landasan hukum, dampak sosial, dan aspek teknis lainnya.
Kedua, minimnya deliberasi publik. Idealnya, kebijakan publik dibentuk melalui partisipasi para pemangku kepentingan yang relevan, termasuk akademisi, praktisi, masyarakat sipil, dan lembaga legislatif.
Namun dalam konteks kebijakan berbasis viralitas, proses konsultasi ini sering kali dilewati atau dipersingkat secara drastis. Akibatnya, kebijakan menjadi kurang representatif dan rawan disalahpahami oleh publik.
Ketiga, dari sisi birokrasi, terdapat dilema antara menjaga responsivitas terhadap masyarakat dengan menjaga stabilitas dan kredibilitas kebijakan jangka panjang. Jika birokrasi terlalu sering bersikap reaktif terhadap tekanan media sosial, maka akan tercipta kesan bahwa kebijakan pemerintah mudah dipengaruhi oleh popularitas sesaat. Hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap konsistensi dan otoritas kebijakan negara.
Menghadapi tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis untuk menciptakan kebijakan yang tidak hanya responsif, tetapi juga sistematis dan berkualitas.
Pertama, perlu dibangun sistem deteksi dini isu publik berbasis media sosial. Pemerintah dapat memanfaatkan teknologi big data dan kecerdasan buatan untuk memantau dan menganalisis sentimen publik secara real-time. Dengan pendekatan ini, isu-isu yang berpotensi viral dapat diantisipasi sejak dini dan ditanggapi secara terukur.
Kedua, penguatan proses konsultasi publik harus tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari perumusan kebijakan, bahkan dalam situasi yang menuntut respons cepat. Forum daring, polling resmi, diskusi terbuka, dan kerja sama dengan lembaga independen seperti think tank bisa mempercepat proses konsultasi tanpa mengorbankan kualitas.
Ketiga, kepemimpinan publik yang adaptif dan visioner menjadi kunci utama. Pemimpin harus mampu memilah isu mana yang membutuhkan respons segera dan mana yang lebih baik ditangani melalui pendekatan jangka panjang. Selain itu, penting untuk menjaga konsistensi narasi publik dan menyampaikan keputusan kebijakan secara terbuka dan transparan agar masyarakat memahami konteksnya secara utuh.
Fenomena viral-based policy merupakan gambaran nyata dari pergeseran paradigma dalam interaksi antara masyarakat dan negara. Di satu sisi, fenomena ini membuka peluang demokratisasi ruang publik yang lebih inklusif dan partisipatif. Namun di sisi lain, jika tidak diimbangi dengan proses kebijakan yang rasional dan terstruktur, maka viralitas dapat menjadi sumber instabilitas kebijakan yang membahayakan kredibilitas negara.
Keseimbangan antara kecepatan dan ketepatan, serta antara responsivitas dan kualitas, adalah kunci untuk menghadirkan kebijakan publik yang tidak hanya menjawab tekanan sesaat, tetapi juga mampu menyelesaikan akar persoalan dan membawa manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Dengan membangun kapasitas kelembagaan, memanfaatkan teknologi informasi, serta memperkuat kepemimpinan publik yang cerdas dan terbuka, pemerintah Indonesia dapat menyikapi fenomena viral-based policy sebagai peluang, bukan ancaman.
Ruang digital adalah kenyataan baru dalam demokrasi modern, dan pemerintah yang mampu beradaptasi dengannya akan lebih siap menghadapi tantangan zaman.
*) Vincensius Soma Ferrer, S.A.N., M.Si. adalah Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Lampung (Unila)