UNFPA: terjadi kekerasan seksual dalam masa darurat Sulawesi Tengah

id Kekerasan Berbasis Gender,Kekerasan Seksual,Darurat Bencana Sulteng

UNFPA: terjadi  kekerasan seksual dalam masa darurat Sulawesi Tengah

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nyimas Aliah (kiri) dan Koordinator Nasional Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Darurat Dana Penduduk PBB (UNFPA) Ita Fatia Nadia (dua kiri),  Kasubdit Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana Kementerian Sosial Tetri Darwis (dua kanan), dan Konsultan UNWomen Sinta Ratna Dewi (kanan) dalam Seminar "Mendengar Suara Perempuan" yang diadakan di Jakarta, Senin (2/9/2019). ((ANTARA/Dewanto Samodro))

Remaja perempuan yang hamil setelah diperkosa berusaha menggugurkan kandungannya, seringkali dengan cara-cara yang tidak aman. Terdapat dua kasus remaja perempuan meninggal karena aborsi yang tidak aman
Jakarta (ANTARA) - Koordinator Nasional Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Darurat Dana Penduduk PBB (UNFPA) Ita Fatia Nadia mengatakan terjadi 57 kasus kekerasan berbasis gender dalam masa darurat bencana di Sulawesi Tengah yang dilaporkan.

"Terdapat 57 kasus penganiayaan fisik dan seksual termasuk pemerkosaan yang dilaporkan selama penilaian cepat kekerasan berbasis gender yang dilakukan selama November 2018 hingga Januari 2019," kata Ita dalam Seminar "Mendengar Suara Perempuan" yang diadakan di Jakarta, Senin.

Ita mengatakan pemerkosaan dan percobaan pemerkosaan terjadi fasilitas mandi cuci kakus dan area-area gelap dan terisolasi serta di dalam kamp pengungsian dan tenda-tenda.

Perempuan yang mengalami pemerkosaan merasa tabu untuk melapor dan takut dipermalukan oleh anggota masyarakat, takut kehilangan kehormatan, dan dituduh berperilaku buruk.

"Remaja perempuan yang hamil setelah diperkosa berusaha menggugurkan kandungannya, seringkali dengan cara-cara yang tidak aman. Terdapat dua kasus remaja perempuan meninggal karena aborsi yang tidak aman," tuturnya.

Menurut Ita, kebanyakan kejadian pemerkosaan diselesaikan secara adat dan pelaku dihukum dengan membayar denda atau menikahi korban, atau keduanya.

"Banyak penyintas kekerasan berbasis gender tidak ingin melaporkan kejadian pemerkosaan karena tidak ingin dinikahkan dengan pelaku," katanya.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nyimas Aliah mengatakan dampak kekerasan berbasis gender lebih banyak dirasakan perempuan dan anak perempuan daripada laki-laki dan anak laki-laki.

"Mayoritas korban dan penyintas kekerasan seksual adalah perempuan sehingga terminologi kekerasan berbasis gender sering digunakan untuk menarasikan kekerasan terhadap perempuan," katanya. 


Baca juga: Sulteng maksimalkan pelayanan terhadap perempuan-anak korban kekerasan
Baca juga: DP3A : Perempuan dan anak rentan alami kekerasan di lokasi pengungsian
Baca juga: DP3A tingkatkan kapasitas pendamping perempuan-anak korban kekerasan
Baca juga: Kasus kekerasan terhadap perempuan-anak di Sulteng meningkat