Ikan Tuna Kini Kembali Ke Kapal Nelayan Lokal

id tuna

Ikan Tuna Kini Kembali Ke Kapal Nelayan Lokal

Dua nelayan memperlihatkan tuna hasil tangkapan mereka kepada Kadis Kelautan dan Perikanan Sulteng Hasanuddin Atjo (kanan) dan Kepala UPT Pelabuhan Perikanan Agus Sudaryanto (kedua kiri) di PPI Donggala beberapa waktu lalu. (ANTARASulteng/Rolex Malaha)

Sekarang sudah tidak ada lagi penangkapan ikan secara liar. Jadi, nelayan kalau menangkap ikan, pakai pancing saja, jangan pakai bom atau bahan kimia," ujarnya.
Palu (antarasulteng.com) - Wawan tampak begitu bangga menunjukkan ikan tuna berukuran besar hasil tangkapannya kepada para anggota Komisi IV DPR RI dan Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Gelwyn Yusuf di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Donggala, Sulawesi Tengah, baru-baru ini.

Ada tiga bak penampungan ikan tuna di dalam pabrik pengolahan ikan skala mini (miniplant) di PPI tersebut yang diperlihatkan Wawan kepada para tamunya.

Sebuah bak beton warna putih berukuran 1x2 meter setinggi satu meter tampak penuh diisi beberapa ekor ikan tuna yang diawetkan dengan es batu. Satu bak lagi yang berukuran 3x2 meter di sampingnya masih kosong.

"Kalau yang ini isinya hanya satu ekor, tetapi berat ikannya mencapai 68 kilogram. Nilai jualnya sekitar Rp2,5 juta," kata Wawan, nelayan penangkap tuna di PPI Donggala tersebut sambil memperlihatkan sebuah bak penampungan berukuran sekitar 80 cm x 2 meter.

Ikan-ikan tuna tersebut siap dikirim ke Makassar untuk diolah menjadi daging ikan (loin) sebelum diekspor ke berbagai negara, terutama Jepang, Korea Selatan, dan Hongkong.

Harga jual nelayan kepada mitra mereka yakni eksportir di Makassar, Sulawesi Selatan, saat ini rata-rata mencapai Rp36.000 atau sekitar tiga dolar AS per kilogram dalam bentuk utuh.

"Hasil tangkapan kami sekarang ini lumayan pak, cuma es batu saja yang kurang sehingga tidak bisa menangkap banyak-banyak karena khawatir ikan-ikan akan busuk percuma," ujar Wawan yang dibenarkan beberapa nelayan yang menemaninya.

Sebenarnya, PPI Donggala sudah memiliki pabrik pengolahan ikan skala kecil (mini plant) yang bisa mengubah ikan tuna menjadi daging ikan (loin) berkualitas ekspor. Miniplant yang dibangun dengan dana APBN Tahun 2013 itu dilengkapi sebuah ruang pembekuan (air blast freezer-ABF) dan gudang pendingin (cold storage).

Akan tetapi, pabrik itu belum bisa beroperasi sampai saat ini karena keterbatasan air bersih yang berkualitas untuk mencuci ikan agar memenuhi standar kualitas ekspor.

"Sebenarnya kalau ikan-ikan tuna itu bisa diolah di sini menjadi loin, harga yang diterima nelayan bisa naik sampai dua kali lipat yakni menjadi sekitar tujuh dolar AS per kilogram, sehingga nilai tambah yang diterima nelayan akan sangat tinggi," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Hasanuddin Atjo.

Sekalipun begitu, para nelayan di Donggala tampak bersyukur sebab meski harga yang mereka terima masih relatif rendah karena menjual ikan secara gelondongan, namun volume tangkapan mereka semakin naik.

Pasalnya, mereka kini lebih leluasa menangkap ikan di laut karena tidak perlu bersaing lagi dengan kapal-kapal besar yang tidak mereka kenal, yang beroperasi dengan berbagai peralatan modern.

"Kami sangat berterima kasih kepada ibu Menteri Kelautan dan Perikanan yang telah berani menangkap dan menenggelamkan kapal-kapal asing ilegal yang tertangkap dan juga kebijaksanaan lain untuk melindungi nelayan kecil agar bisa melaut di wilayahnya sendiri secara leluasa," kata Marwan, seorang Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) nelayan di PPI Donggala.

Saat berdialog dengan para anggota Komisi I DPR RI yang mengunjungi mereka pekan lalu, Marwan mengemukakan bahwa sejak Menteri KP menyatakan perang terhadap pencurian ikan, melakukan moratorium perizinan kapal asing, dan melarang penggunaan pukat harimau, nelayan lokal kini meraih kembali wilayah lautnya.

"Sekarang hasil tangkapan kami cukup lumayan pak, baik ikan cakalang dan layang maupun ikan tuna. Karena itu, kebijakan ibu menteri tersebut harus dilanjutkan," katanya.

Namun, nelayan masih mengeluhkan terbatasnya es balok untuk pengawetan ikan dan bahan bakar solar untuk mesin-mesin kapal mereka. Ini menyebabkan waktu melaut mereka masih terbatas, rata-rata hanya 100-an hari dalam setahun.

Kabar gembira

Orang yang paling gembira dengan kabar seperti yang disampaikan para nelayan dari Donggala itu tampaknya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Saat memberikan sambutan pada peluncuran Sail Tomini 2015 di Mal Epiwalk Kuningan Jakarta, Selasa (5/5), ia mengungkapkan bahwa dirinya baru saja mendapat laporan dari Pulau Kisar, Provinsi Maluku, bahwa nelayan di sana kini sudah bisa menangkap ikan tuna dengan kail dan kapal ukuran kecil saja.

Ia mengaku bangga dan terharu bahwa berbagai peraturan yang dikeluarkannya seperti `perang` terhadap penangkapan ikan secara ilegal (illegal, unreported and unregulated fishing), moratorium pemberian izin penangkapan ikan kepada kapal asing bertonase 30 GT ke atas, dan larangan alih muatan kapal ikan (transhipment) di tengah laut, telah membuat nelayan lokal kini leluasa menangkap ikan di laut miliknya.

"Sekarang sudah tidak ada lagi penangkapan ikan secara liar. Jadi, nelayan kalau menangkap ikan, pakai pancing saja, jangan pakai bom atau bahan kimia," ujarnya.

Ia mengaku sangat prihatin karena selama 10-15 tahun terakhir, ikan tuna hanyalah tinggal nama bagi nelayan lokal dan kecil karena habis diambil oleh pelaku-pelaku besar dan ilegal.

"Nelayan kita sudah tidak pernah melihat tuna lagi, sudah tidak bisa menikmatinya karena harganya mahal. Sekarang, dengan berbagai kebijakan yang diambil, nelayan kecil sudah bisa menangkap dan menikmati ikan ini. Mudah-mudahan ikan tuna akan memberikan dampak kesejahteraan yang besar bagi nelayan lokal di masa mendatang," tuturnya.

Kepada para kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota yang memiliki wilayah laut, Menteri Susi meminta agar mengawasi dan menghentikan praktik-praktik penangkapan ikan menggunakan bahan peledak dan cara-cara yang merusak lingkungan lainnya.

"Kampanyekan terus pengelolaan laut yang berkelanjutan. Kita harus kelola laut dan pantai untuk kesejahteraan anak cucu kita," kata pemilik perusahaan penerbangan Susi Air ini.

Mudah-mudahan, kata perempuan kelahiran Pangandaran, Jawa Barat, 50 tahun lalu itu, laut dan pantai serta berbagai kekayaan alam di dalamnya membawa kesejahteraan bagi rakyat dan memberi kontribusi signifikan dalam meningkatkan kualitas SDM karena masyarakat mengonsumsi ikan lebih banyak sebab jumlah produksinya mencukupi dan harganya pun terjangkau.  (R007/S024)