DPR: Edukasi reproduksi siswa harus berlandas Pancasila & nilai agama

id UU Kesehatan, Alat Kontrasepsi Remaja, Komisi VIII DPR,kontrasepsi,kontrasepsi pelajar,pp kesehatan,anggota dpr,dpr ri,e

DPR: Edukasi reproduksi siswa harus berlandas Pancasila & nilai agama

Ilustrasi - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama Kementerian Sekretariat Negara dan Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) mengajak para delegasi dari negara-negara berkembang untuk memberi edukasi tentang ketahanan keluarga dan pentingnya kesehatan reproduksi di salah satu pesantren di Kota Surabaya, Jawa Timur. (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)

Jakarta (ANTARA) -

Anggota Komisi VIII DPR RI Luqman Hakim menilai pelaksanaan edukasi kesehatan reproduksi dan seksual di Tanah Air harus berlandaskan nilai-nilai moral Pancasila dan nilai-nilai universal agama-agama
"Pelaksanaan edukasi kesehatan reproduksi sangat penting diletakkan di atas dasar nilai-nilai moral Pancasila dan nilai-nilai universal agama-agama," kata Luqman dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, landasan filosofis dan etik itu akan berperan menjauhkan remaja Indonesia dari perilaku seks bebas.

Hal tersebut disampaikan Luqman guna menanggapi adanya ketentuan mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).

PP itu antara lain mengatur mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja. Pasal 103 Ayat 1 PP itu menyebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.

Kemudian Ayat 4 menyatakan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja, paling sedikit terdiri atas deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.

Luqman lalu menilai penyediaan alat kontrasepsi untuk siswa dan remaja itu berpotensi menciptakan persepsi salah mengenai seksualitas pada usia remaja.

“Dengan adanya akses langsung ke alat kontrasepsi, ada risiko bahwa remaja akan menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang dapat diatasi dengan mekanisme teknis semata, tanpa memperhatikan aspek emosional, moral, dan sosial yang penting,” ujar dia.

Hal itu, kata Luqman, berpotensi membuat pelajar menduga bahwa hubungan seksual pada usia muda adalah hal yang boleh untuk dilakukan.

“Ini berpotensi mempromosikan pemikiran bahwa hubungan seksual di usia muda adalah hal yang dapat diterima, asalkan dilakukan dengan penggunaan kontrasepsi, tanpa memberikan cukup penekanan pada risiko dan konsekuensi jangka panjang dari perilaku seksual prematur,” katanya.


Menurutnya, seharusnya upaya sistem reproduksi sesuai siklus hidup, khusus untuk anak usia sekolah atau remaja, tidak termasuk dengan penyediaan alat kontrasepsi. Selain dapat menimbulkan kesalahan persepsi tentang hubungan seksual, Luqman memandang aturan tersebut tidak sejalan dengan norma-norma agama dan susila di Indonesia.

“Karena itu, aspek edukasi kesehatan reproduksi untuk remaja harus menjadi prioritas utama dibandingkan pemberian alat-alat kontrasepsi,” ucapnya.