Menggeser kebenaran dalam pikiran

id Hasanuddin Atjo

Menggeser kebenaran dalam pikiran

Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP, penemu teknologi budidaya udang supra intensif Indonesia yang memiliki tingkat produktivitas tertinggi di dunia saat ini. (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha) (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha/)

kebenaran itu sesungguhnya terdiri atas kebenaran dalam pikiran dan kebenaran dalam realitas.
Palu (ANTARA) - Penerbangan Lion Air Palu-Makassar sejak bulan lalu (November) dimajukan satu jam lebih awal dari 07.10 Wita ke 06.10 Wita. Realitasnya tetap saja ada yang tidak dapat berangkat karena terlambat ke bandara meskipun sudah check-in secara dalam jaringan (web check-in).

Ini kembali lagi kepada bagaimana membangun kemampuan adaptasi terhadap sebuah perubahan.

Seperti biasa, dalam penerbangan Palu-Makassar itu, saya kembali mengetik di android saat tiba-tiba teringat kejadian 35 tahun lalu, yakni tahun 1985 ketika diangkat menjadi Tenaga Penyuluh Perikanan Spesialist ( PPS ) yang ditugaskan di Kabupaten Barru dan Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan. 

Saat itu jumlah sarjana S1 terbatas dan kurang berminat bertugas sebagai penyuluh di daerah. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi infrastruktur saat itu yang tidak sebaik sekarang ini, antara lain listrik PLN hanya menyala di malam hari sampai pukul 24.00 Wita,

Pada akhir tahun 1985, saya mendapat pelatihan dari FAO project terkait peningkatan kompetensi dan kapasitas penyuluh dalam menyusun perencanaan untuk program pemberdayaan masyarakat. 

Salah satu senior expert FAO dalam pelatihan itu menyampaikan bahwa kebenaran itu sesungguhnya terdiri atas kebenaran dalam pikiran dan kebenaran dalam realitas. Seorang penyuluh harus memiliki dua kebenaran itu dengan proporsi yang seimbang. Harapannya yang bersangkutan dapat menyusun perencanaan pemberdayaan dengan bias seminal mungkin. 

Baca juga: Surat biasa prangko kilat
Baca juga: Keluar dari pikiran yang terperangkap, kaitannya dengan Permen KP 56/2016


Karena itu seorang penyuluh dituntut untuk memperdalam teori dan memperbanyak ujicoba yang saat itu dikenal dengan istilah kaji-terap. 

Inilah yang hilang dalam program pemberdayaan. Tenaga-tenaga pendamping yang direkrut dalam sebuah program pemberdayaan dinilai belum memiliki kebenaran dalam pikiran dan realitas yang baik dan seimbang.

Sejumlah pengamat mengemukakan bahwa program pemberdayaan saat ini dinilai kurang sukses. Salah satu penyebabnya bahwa perencanaan yang disusun lebih berbasis pada kebenaran dalam pikiran. Basis kebenaran seperti itu kurang memiliki pengalaman terkait 'social barier, market barier' terhadap pengembangan komoditas dalam rangka pemberdayaan.

Solusi yang dapat dipertimbangkan untuk meminimalisasi masalah itu adalah pemberdayaan dengan pendekatan penta helix bahwa mulai dari perencanaan sampai dengan pengedalian harus melibatkan lima komponen yaitu pemerintah, akademisi, pelaku usaha, masyarakat dan media. 

Pelaku usaha sukses bisa menjadi sumber informasi terkait inovasi dan bisnisnya. Dan media bisa menjadi wasit bila ada unsur provokasi yang menjadi salah satu problem dalam pemberdayaan.

Kini juga program pemberdayaan harus berorientasi kepada transformasi digital dan tata ruang dalam rangka efisiensi dan keberlanjutan. Akhirnya kesemua ini bisa direalisasikan jikalau pengambil keputusan sudah berorientasi ke arah itu. Semoga.

Baca juga: Kualitas demokrasi dan ICOR, tantangan Indonesia maju 2045
Baca juga: Kelor di tengah kemiskinan dan stunting, peluang dan tantangan pascabencana