Palu (ANTARA) - DESA sejak tahun 2015 hingga 2020 menerima transfer dana desa mendekati angka total Rp320 triliun, belum termasuk dana yang bersumber dari Kementrian dan Lembaga teknis lainnya, serta dari masing-masing pemerintah daerah.
Ini satu jumlah yang cukup fantastis, dan sesungguhnya bisa menjadi pendorong kuat untuk keluar dari persoalan sosial di desa-desa.
Kesemuanya bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat agar bisa keluar dari perangkap tingginya kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan serta angka stunting, yaitu pertumbuhan otak anak yang terganggu akibat kurang asupan gizi.
Evaluasi menunjukkan bahwa pemanfaatan dana desa secara umum belum memberikan manfaat sesuai harapan. Sejumlah Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) banyak tidak operasional karena gagal kelola, bahkan sejumlah kades dan perangkatnya terpaksa harus berhadapan dengan masalah hukum yang berujung pidana.
Kepala desa yang berhadapan dengan masalah hukum lebih dikarenakan salah eksekusi. Program disusun cenderung tanpa observasi, komunikasi, dan desain yang baik, langsung dieksekusi. Ini sama halnya dengan bermain bola 2x45 menit tanpa analisis situasi, komunikasi antarpemain dan tidak ada desain atau skenario langsung eksekusi. Hasilnya hampir dipastikan tidak akan ada goal bahkan bisa kebobolan karena keasyikan menyerang tanpa pola.
Baca juga: OPINI - Desa cerdas, solusi keluar dari ketertinggalan
Peran tenaga pendamping juga dinilai kurang maksimal dan ikut memperparah kinerja kepala desa dalam memanfaatkan dana desa. Proses rekruitmen tenaga pendamping dinilai juga belum sesuai harapan. Bisa jadi lebih disebabkan pekerjaan menjadi tenaga pendamping desa belum memiliki daya tarik yang kuat, sehingga calon yang berkualitas tidak ikut seleksi.
Pemerintah pusat dan daerah diharapkan bisa memberi perhatian yang lebih untuk meningkatkan kapasitas kepala desa bersama perangkatnya. Demikian pula dalam proses rekruitmen kepala desa, bakal calon harus melalui test atau uji kompetensi dahulu, terutama kemampuan digitalisasi sebelum ditetapkan sebagai calon kades untuk dipilih oleh warganya. Peradaban digitalisasi kini sangat penting karena telah menjadi salah satu kebutuhan untuk menjadi maju.
Kapasitas OK-DE merupakan singkatan dari (1) Observasi; (2) Komunikasi dan Koordinasi; (3) Desain serta (4) Eksekusi. Empat kapasitas ini harus ditransfer kepada para kepala desa dan perangkatnya demikian pula kepada tenaga pendamping.
Baca juga: OPINI - Gagasan dan 'uang panai'
Harapannya mereka secara bersama mampu (kompeten) melakukan observasi terhadap potensi sumberdaya desa dan tantangannya. Kemudian mampu mendiskusikan dan mengkomunikasikan dengan stakeholders terjait termasuk media. Selanjutnya dilakukan desain program, dan terakhir mengeksekusinya.
Setiap Kabupaten minimal memiliki satu desa contoh atau role model, untuk implementasi gagasan atau konsep ini dan bisa dinamakan 'smart village' dengan aktifitas ekonomi misalnya 'smart farming' kehadiran lembaga-lembaga terakreditasi dan berperan sebagai instruktur untuk transformasi empat kapasitas tadi dan sekaligus mendampingi desa contoh atau role model, menjadi salah key point atau kunci sukses.
Regulasi terkait dengan desa contoh pendekatan smart village dengan mekanisme yang telah diuraikan di atas idealnya segera dipersiapkan sebagai landasan bagi daerah untuk merancang dan inplementasi. Peran Kementrian Dalam Negeri dan Kementiran Desa menjadi kunci sukses. SEMOGA. (* Ketua Bappeda Sulteng)
Baca juga: Pilkada 2020, perlu figur konseptor dan eksekutor
Baca juga: JICA-JOCA pada bencana Sulawesi Tengah
Kades dan perangkatnya harus miliki OK-DE
Kapasitas OK-DE merupakan singkatan dari (1) Observasi; (2) Komunikasi dan Koordinasi; (3) Desain serta (4) Eksekusi. Empat kapasitas ini harus ditransfer kepada para kepala desa dan perangkatnya demikian pula kepada tenaga pendamping.