Euforia 'football's coming home" dalam final Inggris lawan Italia
Jakarta (ANTARA) - Tatkala pemain-pemain Inggris terbangun Kamis pagi untuk kembali ke kamp pelatihannya di pedesaan terpencil di St George's Park, mereka pasti masih merasakan sisa-sisa selebrasi meriah setelah memenangkan semifinal Euro 2020 atas Denmark di Wembley.
Tetapi sementara sampah di seluruh negara dibersihkan setelah rangkaian pesta yang digelar sampai dini hari, Inggris akan menghadapi ujian realitasnya sendiri yang lebih besar.
Walaupun di atas semua curahan kegembiraan itu, euforia yang menyenandungkan "Football's Coming Home", dan hiperbola termasuk seruan seorang pakar agar dijadikan hari libur nasional, Inggris belumlah memenangkan apa pun.
Faktanya, satu-satunya hal dari "coming home" untuk sementara ini adalah Inggris bakal kembali ke Wembley untuk menjalani pertandingan lain Minggu dalam final melawan Italia.
"Pagi ini semua orang menikmatinya. Namun kini kami harus menghadapi salah satu tim paling berpengalaman di dunia sepak bola pada diri Italia, laga nanti itu akan lebih sulit ketimbang laga semalam," kata mantan pemain sayap Inggris dan kini analis radio BBC Chris Waddle.
Tim asuhan Roberto Mancini tidak terkalahkan dalam 33 pertandingan dan mencapai final setelah menang adu penalti melawan Spanyol.
Ini baru penampilan kedua Inggris dalam final turnamen besar, tetapi bagi Italia ini final turnamen besar yang kesepuluh.
Bagi pakar, para mantan pemain yang tidak dapat mencapai final Euro atau Piala Dunia dalam karirnya, dan para suporter Inggris yang telah lama menderita, kegembiraan itu terlihat jelas pada akhir penantian 55 tahun.
Tetapi salah satu jargon yang paling sering digunakan manajer Inggris Gareth Southgate dalam turnamen ini adalah agar timnya "membuat sejarahnya sendiri" dan tidak menanggung beban masa lalu.
Pendekatan tersebut sejauh ini berhasil setelah Inggris menghindari jebakan dari begitu banyak kampanye lainnya, dengan mengalahkan seteru lama Jerman pada 16 besar dan sama sekali tidak gugup bahkan ketika tertinggal lebih dulu oleh Denmark dan kemudian memasuki perpanjangan waktu.
Para pendekar Italia
Di tengah tingginya selebrasi Rabu itu, Southgate kembali menyuntikkan fokus.
"Final harus dimenangkan. Kami harus berkumpul kembali, mempersiapkan diri dengan baik, dan memulihkan diri karena malam ini banyak menguras emosi dan fisik. Italia juga mengalaminya. Mereka memiliki satu hari ekstra untuk pulih," kata dia.
"Italia adalah tim yang bagus sekali, saya sudah menganggap itu dalam beberapa tahun terakhir. Mereka telah menunjukkan performa yang luar biasa, mereka memiliki para pendekar pertahanan di barisan belakang yang telah melewati segala hal," kata dia.
Tetapi lebih dari pada klise pelatih "menghadapi setiap pertandingan sebagaimana adanya", Southgate menyadari sekali tumpahnya emosi dalam turnamen ini.
"Kami memiliki tiga pertandingan yang mengesankan saat ini. Kami sudah bilang bahwa kami ingin memberikan kenangan kepada bangsa kami," kata dia seperti dikutip Reuters.
Dan sementara mungkin perlu sedikit waktu untuk diresapkan, kenangan abadi dari turnamen ini bagi Inggris bukan ditentukan karena telah mengalahkan Jerman, atau memasukkan empat gol saat menyingkirkan Ukraina atau mengalahkan Denmark, melainkan hasil final Minggu nanti itu.
Italia tahu semua soal itu: mereka kalah dalam dua penampilan finalnya dalam Euro 2000 dan 2012 tetapi terjepit di antara kedua hal itu adalah sukses mereka dalam menjuarai Piala Dunia 2006.
Setiap suporter Italia bisa mengingat susunan pemain Marcello Lippi yang sukses pada Piala Dunia di Jerman itu, tetapi sedikit yang akan mengingat pemain yang terkalahkan dalam kekalahan pada final Euro.
Penonton 60.000 pada Minggu akan bernuansa Inggris sekali seperti ketika tim ini menjuarai satu-satunya gelar turnamen utamanya, Piala Dunia 1966. Nama-nama dalam tim Inggris yang menjuarai Piala Dunia tak pernah dilupakan.
Tetapi sementara sampah di seluruh negara dibersihkan setelah rangkaian pesta yang digelar sampai dini hari, Inggris akan menghadapi ujian realitasnya sendiri yang lebih besar.
Walaupun di atas semua curahan kegembiraan itu, euforia yang menyenandungkan "Football's Coming Home", dan hiperbola termasuk seruan seorang pakar agar dijadikan hari libur nasional, Inggris belumlah memenangkan apa pun.
Faktanya, satu-satunya hal dari "coming home" untuk sementara ini adalah Inggris bakal kembali ke Wembley untuk menjalani pertandingan lain Minggu dalam final melawan Italia.
"Pagi ini semua orang menikmatinya. Namun kini kami harus menghadapi salah satu tim paling berpengalaman di dunia sepak bola pada diri Italia, laga nanti itu akan lebih sulit ketimbang laga semalam," kata mantan pemain sayap Inggris dan kini analis radio BBC Chris Waddle.
Tim asuhan Roberto Mancini tidak terkalahkan dalam 33 pertandingan dan mencapai final setelah menang adu penalti melawan Spanyol.
Ini baru penampilan kedua Inggris dalam final turnamen besar, tetapi bagi Italia ini final turnamen besar yang kesepuluh.
Bagi pakar, para mantan pemain yang tidak dapat mencapai final Euro atau Piala Dunia dalam karirnya, dan para suporter Inggris yang telah lama menderita, kegembiraan itu terlihat jelas pada akhir penantian 55 tahun.
Tetapi salah satu jargon yang paling sering digunakan manajer Inggris Gareth Southgate dalam turnamen ini adalah agar timnya "membuat sejarahnya sendiri" dan tidak menanggung beban masa lalu.
Pendekatan tersebut sejauh ini berhasil setelah Inggris menghindari jebakan dari begitu banyak kampanye lainnya, dengan mengalahkan seteru lama Jerman pada 16 besar dan sama sekali tidak gugup bahkan ketika tertinggal lebih dulu oleh Denmark dan kemudian memasuki perpanjangan waktu.
Para pendekar Italia
Di tengah tingginya selebrasi Rabu itu, Southgate kembali menyuntikkan fokus.
"Final harus dimenangkan. Kami harus berkumpul kembali, mempersiapkan diri dengan baik, dan memulihkan diri karena malam ini banyak menguras emosi dan fisik. Italia juga mengalaminya. Mereka memiliki satu hari ekstra untuk pulih," kata dia.
"Italia adalah tim yang bagus sekali, saya sudah menganggap itu dalam beberapa tahun terakhir. Mereka telah menunjukkan performa yang luar biasa, mereka memiliki para pendekar pertahanan di barisan belakang yang telah melewati segala hal," kata dia.
Tetapi lebih dari pada klise pelatih "menghadapi setiap pertandingan sebagaimana adanya", Southgate menyadari sekali tumpahnya emosi dalam turnamen ini.
"Kami memiliki tiga pertandingan yang mengesankan saat ini. Kami sudah bilang bahwa kami ingin memberikan kenangan kepada bangsa kami," kata dia seperti dikutip Reuters.
Dan sementara mungkin perlu sedikit waktu untuk diresapkan, kenangan abadi dari turnamen ini bagi Inggris bukan ditentukan karena telah mengalahkan Jerman, atau memasukkan empat gol saat menyingkirkan Ukraina atau mengalahkan Denmark, melainkan hasil final Minggu nanti itu.
Italia tahu semua soal itu: mereka kalah dalam dua penampilan finalnya dalam Euro 2000 dan 2012 tetapi terjepit di antara kedua hal itu adalah sukses mereka dalam menjuarai Piala Dunia 2006.
Setiap suporter Italia bisa mengingat susunan pemain Marcello Lippi yang sukses pada Piala Dunia di Jerman itu, tetapi sedikit yang akan mengingat pemain yang terkalahkan dalam kekalahan pada final Euro.
Penonton 60.000 pada Minggu akan bernuansa Inggris sekali seperti ketika tim ini menjuarai satu-satunya gelar turnamen utamanya, Piala Dunia 1966. Nama-nama dalam tim Inggris yang menjuarai Piala Dunia tak pernah dilupakan.