Palu (antarasulteng.com) - Posisi antrean mobil yang dikemudikan Amir di Stasiun Pengisian Bahan bakar untuk Umum (SPBU) E`emea, Kecamatan Witaponda, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, pada Rabu petang (20/2), sebetulnya tidaklah terlalu panjang.
Mobil carteran jenis avanza warna krem yang membawa tamu ke Bungku, Ibu Kota Kabupaten Morowali itu, berada pada urutan ke-11, namun sudah hampir sejam mengantre, mobil ini belum juga tiba di mesin pemompa BBM.
Penyebabnya, petugas di SPBU itu selain melayani pengendara roda empat dan roda dua, juga sibuk mengisi puluhan jeriken yang rata-rata berkapasitas 20 liter, baik yang diletakkan berurut dengan ikatan tali rafia di lantai maupun yang berada di atas beberapa mobil bak terbuka maupun tertutup.
Karena mengejar waktu agar bisa segera tiba di Bungku, sekitar 60 km dari lokasi SPBU itu, Amir memutuskan keluar dari antrean dan membeli bensin pada sebuah kios di samping kiri SPBU itu.
Harganya pun tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp6.000,00 per liter.
"Apa boleh buat, sudah begitu kondisi di sini pak. Kita harus sabar menunggu giliran karena pembeli jeriken juga dilayani sama dengan pengguna kendaraan walau hal itu dilarang," ujar Amir.
Menurut pengemudi kendaraan carteran itu, akibat merajalelanya penjualan bensin dan solar ke pengguna jeriken, para pengendara sering harus gigit jari karena dalam waktu beberapa jam saja, bahan bakar di SPBU sudah habis.
Meski SPBU kehabisan stok, namun masyarakat dengan mudah bisa mendapatkan bensin atau soal eceran di sekitar SPBU namun dengan harga yang sudah cukup tinggi.
"Masyarakat sudah lama dan berungkali mengeluhkan hal ini, namun sampai sekarang penanganannya belum juga tuntas. Pelayanan pembeli jeriken tetap berjalan meski sudah ada polisi yang menjaga SPBU," ujar Arifin, seorang warga Bungku.
Ia menyebutkan, pelayanan di SPBU itu setiap hari hanya sebentar saja, rata-rata hanya enam jam karena stok cepat sekali habis
Keterangan yang dikumpulkan Antara di Bungku menyebutkan, merajalelanya pembelian bahan bakar bersubsidi menggunakan jeriken terjadi sejak tiga tahun terakhir ketika kegiatan penambangan nikel dan pembangunan lahan perkebunan sawit mulai marak.
Banyak pihak menduga bahwa para pembeli BBM menggunakan jeriken itu diduga mensuplai kebutuhan perusahaan tambang dan perkebunan karena menghasilkan keuntungan menggiurkan baik penjual maupun pembelinya.
Konon penjual eceran melepas BBM ke perusahaan dengan harga Rp7.500,00 per liter. Ini berarti penjual meraup keuntungan Rp3.000,00 liter sedangkan pembeli bisa menghemat pengeluaran BBM sebesar Rp3.000,00 karena bila membeli dengan harga non-subsidi mereka harus membayar Rp11.500,00 per liter.
Penjabat Bupati Morowali Baharuddin Tanriwali mengaku telah mendengar informasi bisnis BBM bersubsidi menggunakan jeriken atau mobil yang tangkinya sudah dimodifikasi agar berkapasitas besar itu, sehingga ia memutuskan untuk membentuk tim pengawas penyaluran BBM di SPBU.
"Saya sudah memerintahkan Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan untuk membuat konsep surat keputusan bupati tentang pembentukan tim pengawas tersebut karena diduga telah terjadi penyimpangan dalam penjualan BBM bersubsidi yang merugikan masyarakat," katanya.
Tim ini juga mendesak untuk dibentuk karena dalam waktu dekat, Kota Bungku akan menjadi tuan rumah Seleksi Tilawatil Quran (STQ) 2013 tingkat Provinsi Sulteng yang akan diikuti ribuan kafilah dari 11 kabupaten/kota.
"Kalau penyaluran BBM di SPBU tidak ditertibkan sekarang, saya khawatir kendaraan-kendaraan yang digunakan para kafilah akan kesulitan bahan bakar," ujar Baharuddin lagi.
Rekomendasi
Keberanian petugas SPBU melayani pembeli yang membawa jeriken ternyata memiliki alasan yakni karena para pembawa jeriken memegang surat rekomendasi dari pemerintah kabupaten setempat.
Sekretaris Daerah Morowali Syahril Ishak yang dihubungi di Bungku membenarkan bahwa sejak dua tahun terakhir, pihaknya menambil kebijakan untuk memberikan rekomendasi kepada kelompok masyarakat tertentu untuk membeli BBM bersubsidi menggunakan jeriken di SPBU.
Alasannya, Kabupaten Morowali yang luas dengan penduduk hampir 200 ribu jiwa itu hanya memiliki empat buah SPBU yakni di Beteleme, Korolama, E`emea dan Kota Bungku.
Ini menyulitkan warga yang tinggal jauh dari SPBU untuk memperoleh bahan bakar murah, terutama kelompok tani dan nelayan serta warga yang tinggal di pulau-pulau dan daerah terpencil yang sulit transportasi serta komunikasi.
"Karena itu, kami memutuskan untuk memberikan rekomendasi yang ditandatangani Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemkab Morowali kepada kelompok-kelompok itu dengan persyaratan yang cukup ketat," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa rekomendasi hanya diberikan kepada kelompok tani atau nelayan yang organisasinya serta permohonan BBM-nya sudah disahkan kepala desa dan camat serta diverifikasi kepala dinas bersangkutan. Jangka waktunya juga ditetapkan selama tiga bulan untuk setiap rekomendasi dengan jatah yang sudah ditetapkan," ujarnya.
Selain kepada kelompok tani dan nelayan/petambak, kata Syahril, pihaknya juga memberikan rekomendasi kepada pedagang tertentu dijual eceran kepada warga yang jauh dari SPBU dengan ketentuan BBM itu tidak boleh dijual eceran pada radius tiga kilometer dari SPBU dan harganya tidak boleh melebihi Rp5.000,00 liter.
Saat mengantre di SPBU, pembeli menggunakan jeriken tidak boleh mengganggu antrean kendaraan roda dua dan empat. Pelayanan terhadap jeriken pemegang rekomendasi hanya bisa dilakukan setelah pukul 17.00 waktu setempat.
"Namun dalam praktiknya diakui banyak terjadi penyelewengan mulai dari penyaluran yang meyimpang dari jatah yang tertera dalam rkeomendasi, waktu pelayanan di SPBU, harga eceran yang diluar persyaratan serta lokasi penjualan yang bahkan ramai di sekitar SPBU.
Untuk menertibkan hal itu, Sekda mengaku telah menarik wewenang menandatangani rekomendasi dari Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan untuk ia tandatangani sendiri dan telah meminta kepolisian untuk menindak tegas para pedagang eceran BBM yang tidak mematuhi ketentuan itu.
"Kalau ditemukan ada pelanggaran, BBM-nya harus disita dan oknumnya dproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku," ujarnya.
Sita 37 ton BBM
Dihubungi di tempat terpisah, Kapolres Morowali AKBP Suhirman mengaku sudah melakukan operasi penegakkan hukum terhadap perdagangan bahan bakar mnyak bersubsidi berdasarkan Undang-undang No.22 tahun 20012 tentang Migas.
Selama 2012 pihaknya menyita 37 ton bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium dan solar dan memproses hukum 29 orang tersangkanya dan selama periode Januari-Februari 2013, pihaknya sudah menyia 13 ton BBM bersubsidi dan memproses sembilan tersangka.
BBM bersubsidi yang di sita itu umumnya diambil dari kendaraan-kendaraan yang sedang mengangkutnya seperti truk, mobil bak terbuka atau angkutan umum bahkan sepeda motor.
"Ada indikasi kuat bahwa bahan bakar bersubsidi itu akan didistribusikan ke perusahaan tambang atau perkebunan yang seyogianya membeli BBM dengan harga nonsubsidi," ujarnya.
Menurut dia, penangkapan para tersangka dan penyitaan barang bukti tersebut merupakan yang terbesar di antara polres-polres di Sulawesi Tengah. Hal itu merupakan indikasi bahwa kepolisian di daerah tambang nikel dan perkebunan terbesar di Sulteng ini sangat serius menangani dugaan penyelewenangan penggunaan BBM bersubsidi.
Namun demikian, Suhirman mengakui bahwa tindakan penegakkan hukum tersebut belum sepenuhnya menghentikan praktik penyelewengan penggunaan BBM bersubsidi dengan modus membeli BBM dari SPBU menggunakan jeriken atau mobil-mobil yang tangkinya sudah dimodifikasi agar berdaya tampung lebih besar.
Kebijakan Pemkab menerbitkan rekomendasi pembelian BBM kepada kelompok tertentu dan masyarakat terpencil sebenarnya harus didukung, namun dalam praktiknya ditemukan banyak penyahagunaan sehingga harus ditertibkan.
"Saya juga sudah bingung bagaimana menghentikan praktik penyelewengan penggunaan BBM bersubsidi ini. Penertiban memang harus tegas namun kebutuhan masyarakat di daerah terpencil dan kepulauan juga harus mendapat perhatian,` ujar Syahril Ishak, Sekda Morowali. (R007)