Sango Barnabas (65), seorang warga Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah menceritakan sekitar 1970 anoa (Bubalus quarlessi dan Bubalus capricornus), satwa endemik Sulawesi itu sering terlihat di kawasan hutan lindung Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
Bahkan, mamalia langka yang memiliki tinggi badan berkisar 80-100 Cm dengan berat bisa mencapai 300 Kilogram itu sering dengan jinak masuk sampai ke permukiman warga di Desa Kanawu, salah satu dari empat desa yang berada di sekitar Danau Lindu.
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini, anoa yang berbulu hitam maupun cokelat tersebut sudah sangat jarang sekali diketemukan di Kawasan Taman Nasional.
Biasanya warga yang masuk hutan hanya menemukan jejak kaki anoa. "Tetapi tidak pernah lagi melihat satwa yang bentuknya seperti banteng itu," kata lelaki yang juga salah satu tokoh masyarakat di Kecamatan Lindu.
"Ini dikarenakan habitat anoa di TNLL terus terusik perambah hutan, selain serig diburu warga untuk mendapatkan dagingnya guna dikonsumsi.
Anoa dataran tinggi maupun dataran rendah sangat menyukai daun muda yang mengandung garam. Begitu pula air yang sedikit mengandung garam.
Anoa yang dalam bahasa Kulawi dan Lindu adalah "Lupu" itu juga suka menyantap lumut-lumut yang hidup di batang pepohonan dan batu-batuan.
Mengingat anoa merupakan satwa endemik yang hanya ada di Pulau Sulawesi, termasuk Sulteng, Sango berharap masyarakat tidak lagi memburu untuk mengambil dagingnya.
Anoa perlu dilindungi, bukan sebaliknya justru diburu masyarakat. Jika masyarakat terus memburunya, maka tidak mustahil satwa yang bahasa Lindu/Kulawi menyebutnya "Lupu" akan punah.
Penangkaran
Bukan hanya Sango yang peduli dengan anoa. Tetapi juga seorang peneliti satwa bernama Idris Tinulele pun mengusulkan kepada pemerintah dalam hal ini pihak Balai Besar TNLL untuk mempertimbangkan kemungkinan melakukan penangkaran anoa seperti yang dilakukan satwa endemik lain (burung maleo).
Keberadaan dua jenis anoa yaitu Bubalus quarlesi dan Bubalus depressicornis di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) semakin berkurang sehingga perlu dibangun penangkaran untuk menyelamatkan satwa endemik Sulawesi itu dari kepunahan.
Jika masyarakat terus memburunya, maka tidak mustahil mamalia yang dilindungi itu akan punah," kata peneliti muda mamalia di Palu itu.
Idris yang sejak 2.000 aktif dan gencar melakukan kegiatan penelitian khusus burung di TNLL itu, mengatakan cukup prihatin atas populasi anoa yang semakin punah.
Padahal, populasi satwa yang dilidungi di Kawasan TNLL pada beberapa tahun silam cukup banyak sehingga sering dijumpai di beberapa titik habitat di dalam kawasan hutan lindung tersebut.
"Sangat disayangkan kalau anoa sampai benar-benar punah," katanya.
Dia mengaku anoa yang pada era 70-80-an masih banyak ditemukan di beberapa titik di dalam Kawasan Taman Nasional, kini sudah hampir tidak terlihat lagi.
Mungkin masih ada, tetapi habitatnya sudah jauh di dalam hutan dan jumlahnyapun hampir punah karena banyak diburu masyarakat baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun kemungkinan diperdagangkan.
Padahal, anoa merupakan salah satu dari sejumlah satwa endemik Sulawesi yang patut untuk dilindungi dari ancaman kepunahan.
Menurut dia, salah satu antisipasi agar populasi anoa kembali bisa ditingkatkan yakni melalui sistem penangkaran seperti halnya yang dilakukan pihak Balai Besar TNLL terhadap satwa lainnya (burung maleo dan tarsius).
"Saya sangat mendukung sekali, jika ada penangkaran anoa dan satwa lainnya guna menyelamatkan dari kepunahan akibat perburuan," kata peneliti jeblosan Universitas Tadulako (Untad) Palu itu.
Tersisa 140 ekor
Sementara Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pelayanan Balai Besar TNLL, Yulianto membenarkan populasi anoa dalam beberapa kurun waktu terakhir ini terus berkurang karena terus diburu masyarakat.
Ia mengatakan beberapa tahun silam, jumlah populasi anoa di TNLL masih berkisar 1.000 ekor. "Tapi sekarang ini hasil penelitian pada 2013 tinggal sekitar 140 ekor," katanya.
Berkurangnya populasi anoa dalam kurun beberapa tahun ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang memburu untuk dikonsumsi.
Anoa yang ada di Kawasan TNLL terdiri atas dua jenis, yaitu yang bulunya hitam (Bubalus quarlessi) dan yang bulunya coklat (Bubalus capricornus).
Anoa berbulu hitam kebanyakan hidup dan berkembang di dataran rendah dan berusuhu suhu cukup dingin.
Sementara anoa cokelat yang tubuhnya agak lebih kecil memilih hidup dan berkembangbiak di dataran tinggi yang jauh dari jangkauan manusia.
Perkembangbiakan anoa hampir sama seperti sapi biasa dengan masa kehamilan enam hingga delapan bulan. Jika dalam keadaan sehat, anoa bisa melahirkan dua ekor anak.
Bentuk fisik anoa adalah tubuh dan kepala menyerupai kerbau tetapi lebih kecil, tanduk memanjang lurus ke belakang, warna rambut dari hitam kecoklatan sampai hitam legam dan rambut lebih jarang pada individu dewasa.
Panjang ekor mencapai lutut kaki belakang, dengan tinggi bahu berkisar antara 70 cm-110 cm dan berat badan dewasa mencapai 100-150 kg.
Telinga berbentuk oval (lonjong) dengan ujungnya meruncing, bagian dalam berwarna terang (putih kecoklatan), ada noktah putih di daun telinga sebelah dalam.
Ujung hidung berwarna hitam, kadang terdapat warna putih pada bagian bawah leher berbentuk bulan sabit.
Bentuk pangkal tanduk mendekati segitiga, membesar di pangkal tanduk dan semakin mengecil dan meruncing di ujungnya, juga terdapat garis-garis menyerupai cincin dari pangkal sampai sekitar pertengahan panjang tanduk. Panjang tanduk dapat mencapai 35 cm.
Sedangkan anoa Dataran Tinggi bentuk tubuh dan kepala menyerupai kerbau tetapi lebih kecil dibandingkan Anoa Dataran Rendah dan tanduk memanjang lurus ke belakang.
Warna rambut coklat kemerahan, tebal, agak ikal/keriting mirip rambut domba dan ekornya pendek. Tinggi bahu berkisar antara 60 cm-70 cm dengan berat badan dewasa tidak lebih dari 70 kg.
Telinga berbentuk oval (lonjong), bagian dalam berwarna coklat kehitaman, ujung hidung berwarna hitam, potongan melingkar pangkal tanduk bulat mendekati bentuk cincin, diameter tanduk dari pangkal sampai pertengahan tanduk hampir sama besar (seperti tabung) kemudian semakin mengecil dan meruncing di ujungnya.
Permukaan tanduk rata/halus, tidak terdapat garis-garis menyerupai cincin dari pangkal sampai sekitar pertengahan panjang tanduk seperti pada tanduk Anoa dataran rendah.
Panjang tandukdapat mencapai 20-25 cm, bentuk tengkorak menyerupai tengkorak kerbau dengan tanduk lurus memanjang ke belakang.
Sebelum tahun 1970-an, satwa langka itu banyak ditemukan di hutan perawan dataran Lindu, Kulawi, Gimpu, dan Palolo (Kabupaten Sigi) serta dataran Napu di Kecamatan Lore Utara, Lore Tengah, Lore Barat dan Lore Selatan (Kabupaten Poso).
Yulianto mengatakan dalam rangka mengantisipasi semakin langkanya satwa tersebut di dalam Kawasan Taman Nasional, pihak TNLL terus gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang ada di sekitar kawasan.
"Kami membuat poster-poster anoa dan papan informasi untuk kemudian di pasang pada titik-titik habitat anoa," katanya. Juga meminta bantuan kepada lembaga-lembaga adat setempat agar masyarakat tidak lagi memburu satwa yang dilindungi tersebut.
Dia berharap upaya-upaya yang telah dan terus dilakukan pihak TNLL untuk melindungi keberadaan anoa di dalam Kawasan Taman Nasional dapat membuahkan hasil guna meningkatkan kembali populasi anoa.
Luas areal TNLL sekitar 217 ribu hektare, sebagian wilayahnya masuk dalam pemerintahan Poso dan Kabupaten Sigi.
Di Kawasan TNLL tersebar habitat sekitar 117 jenis mamalia, 29 reptilia, 14 jenis amfibia, dan lebih dari 50 persen diantaranya satwa endemik Sulawesi yang selama ini hidup dikawasan hutan TNLL.
Selain tempat tujuan wisata yang banyak dikunjungi wisatawan manca negara, TNLL juga tempat untuk kepentingan penelitian.(skd)