Gerhana Matahari Total Dalam Kreasi Seni Budaya

id gmt

Gerhana Matahari Total Dalam Kreasi Seni Budaya

Gerhana matahari (reuters)

Palu, (antarasulteng.com) - Gerhana matahari total (GMT) pada 9 Maret 2016 menyedot perhatian dunia. Tidak saja oleh para peneliti, pemburu gerhana maupun fotografer, tetapi juga para pelaku seni budaya di Sulawesi Tengah.

Sejumlah sanggar seni di Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah, menghadirkan fenomena alam itu ke dalam seni tari dan musik yang digali dari akar sejarah kebudayaan masyarakat lokal di zaman dulu ketika mereka menghadapi fenomena alam gerhana matahari.

"Suvu Dambanulara", demikian nama tari dan musik yang diciptakan oleh Sanggar Seni Nomore, yang kemudian dipentaskan di hadapan undangan dan turis mancanegara pada pementasan seni budaya di kompleks TVRI Palu, Selasa.

"Suvu Dambanulara, itu berasal dari bahasa Kaili, artinya keluar dengan hati yang gembira," kata Sri Minarni, pembina sekaligus penata tari di Sanggar Seni Nomore.

Sanggar Seni Nomere adalah salah satu sanggar seni di Kota Palu yang sudah pernah mengisi seni tarik suara dalam rangka parade lagu di Taman Mini Indonesia Indah pada Desember 2015.

Suvu Dambanulara bersumber dari cerita rakyat ketika terjadi gerhana matahari, yakni mereka keluar rumah dengan perasaan bersuka cita.

Pada tarian itu, Suvu Dambanulara diperankan oleh 19 orang, terdiri atas 10 orang penari dan sembilan orang pemain musik.

Dalam tarian itu, penari laki-laki digambarkan sedang keluar rumah dengan memukul gentong yang terbuat dari bambu.

"Itu isyarat bahwa gerhana matahari telah tiba," kata Jefri, salah seorang pemeran dalam tarian itu.

Bunyi gentongan itu memberi tanda kepada masyarakat bahwa mereka hendaknya segera keluar rumah dengan hati yang bergembira menyambut datangnya gerhana matahari.

"Ini sudah menjadi tradisi turun temurun di masyarakat kita," katanya.

Para penari mengenakan simbol di kepala mereka, baik perempuan maupun laki-laki. Penari perempuan memasang simbol itu terjepit di antara sanggul dan kepala yang menyerupai kipas. Simbol itu menggambarkan gerhana matahari dengan dominasi warna hitam dan sedikit warna kuning.

"Warna hitam itu adalah simbol dari kegelapan," kata dia, menjelaskan.

Sementara gaun di bagian bawah menggunakan batik terbuat dari sarung tenun Donggala, salah satu tenun warisan generasi dahulu yang hingga kini masih tetap dipertahankan.

"Kami sengaja menghadirkan ragam warna tenun Donggala. Ini menggambarkan bahwa tenun Donggala itu banyak warnanya," kata Jefri.

Kolaborasi Tradisi-Modern

Suvu Dambanura adalah tarian yang diiringi dengan musik khas kombinasi antara musik tradisi dengan modern. Alat musik tradisi yang digunakan antara lain lalove (musik tiup dari bambu yang panjang), gendang, paree, alat musik kakula dan podode (bambu menyerupai gentong).

Sementara alat musik modern yang melengkapi aspek tradisional adalah gitar, bas, kajon dan biola.

"Lagunya diciptakan sendiri oleh anak-anak sanggar seni. Mereka hebat, bisa menciptakan lagu dan musik," kata Sri Minarni, memuji anak binaannya.

Tarian dan musik itu dilatih selama 21 hari sebelum tampil di depan pulik, termasuk sejumlah turis mancanegara di halaman pentas seni budaya TVRI Palu.

Ia mengemukakan bahwa semangat berkarya bagi anak-anak muda pecinta seni di Kota Palu cukup tinggi. Saat ini terdaftar sekitar 111 sanggar seni di Dewan Kesenian Kota Palu. Mereka mandiri dan bergotong royong mengadakan sarana penunjang dan dalam mementaskan karya-karya mereka.

Selaku pembina sanggar seni, Sri Minarni rela mengucurkan dana pribadinya untuk membiayai hidup matinya sangar seni yang didirikan sejak 2007 tersebut.

Menurut Sri Minarni, hampir semua alat musik di sanggar itu adalah pinjaman dari anggota sanggar.

"Kami belum mampu membeli alat musik sendiri," katanya.

Demikian halnya dengan ongkos latihan maupun pengadaan pakaian. Semuanya dilakukan melalui gotong royong sesama anggota.

"Kami kumpul-kumpul uang untuk membeli baju sendiri," katanya.

Sri Minarni sendiri mengaku tertarik membina sanggar seni kendati pendanaannya terseok-seok karena didorong oleh rasa cintanya pada seni budaya.

Ia mengaku gagasannya membangun sanggar seni karena terinspirasi saat dirinya bekerja di Taman Budaya Palu selama 25 tahun.

"Kami bersyukur jika pemerintah berkeinginan membantu sanggar seni di daerah kita," katanya.

Sementara Wali Kota Palu Hidayat mengaku sangat antusias ingin menghidupkan sanggar seni di Kota Palu. Dirinya telah memerintahkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk menginventarisasi kebutuhan sanggar seni, lalu didukung dengan peralatan serta sarana lain untuk kelancaran kegiatan.

"Ke depan tidak ada lagi sanggar seni yang tidak punya alat musik," katanya.

Hidayat bahkan telah memerintahkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah agar mendesain taman kota yang ada untuk dijadikan tempat pementasan musik tradisi.

Dengan demikian, setiap Sabtu dan Minggu malam, para sanggar seni itu digilir untuk tampil di ruang publik sehingga minat dan bakat mereka tersalurkan.