Jakarta (ANTARA) - Peristiwa bersejarah bagi bangsa ini telah terjadi pada Ahad, 20 Oktober 2024, yakni pergantian kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto, untuk periode 2024-2029.
Dalam pidato pelantikan itu, yang sangat heroik dan membakar semangat, Presiden Prabowo memberikan dorongan terhadap beberapa isu utama, seperti ketahanan pangan, ketahanan energi, isu geopolitik global, dan pada akhirnya bangsa Indonesia harus berani menjawab berbagai tantangan tersebut.
Bahkan, Presiden Prabowo memberikan jaminan bahwa selama 4-5 tahun ke depan Indonesia akan mampu swasembada pangan.
Presiden Prabowo Subianto membentuk 46 kluster kementerian, tujuh menko, dan bahkan 56 wakil menteri. Tentu ini terjadi lompatan yang signifikan dari sisi jumlah, kabinet “gemoy”, karena sebelumnya kementerian di era Jokowi hanya 34. Ini pun sudah dianggap (terlalu) gemuk.
Namun, di antara tujuh menko dan 76 kluster kementerian itu, sangat disayangkan tidak ada kluster khusus kementerian yang mengurusi perlindungan konsumen. Padahal kini terdapat lebih dari 282 juta konsumen di Indonesia.
Jika merujuk pada banyak negara di dunia, terdapat kementerian khusus yang mengurusi perlindungan konsumen. Contoh di negeri jiran Malaysia, ada Kementerian Perdagangan dan Hal Ikhwal Perlindungan Konsumen. Di Indonesia, masalah perlindungan konsumen "dicangkokkan" dalam Kementerian Perdagangan, via Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga.
Merujuk pada pidato Prabowo pada pelantikannya, masalah perlindungan konsumen akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru, yang sebagian sudah disebut pada pidato tersebut.
Berikut ini adalah beberapa isu utama yang musti menjadi perhatian Presiden Prabowo, selama masa kepemimpinannya.
Pertama, seiring dengan era digital, masyarakat konsumen Indonesia sangat rentan terkait perlindungan data pribadi, mulai masalah penyalahgunaan data pribadi, baik yang bersifat perdata dan atau pidana. Indonesia memang telah memiliki UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, tapi nyatanya belum efektif untuk melindungi konsumen Indonesia. Berbagai perundungan dan pelanggaran data pribadi, makin marak terjadi. Ironisnya lembaga-lembaga publik yang seharusnya menjadi contoh terhadap aspek keamanan, tapi justru sering mengalami peretasan sistem perlindungan data pribadi masyarakat Indonesia.
Kedua, ekonomi digital memang banyak memberi manfaat pada masyarakat, tetapi di sisi lain, ekonomi digital juga menjadi ancaman serius bagi masyarakat, khususnya yang masih rendah dalam literasi digitalnya. Dampak konkrit dalam hal ini, yang paling dirasakan adalah pinjaman daring (pinjol). Tragisnya justru masyarakat menengah bawah yang menjadi korban pinjol.
Hingga saat ini belum ada jurus ampuh untuk melindungi masyarakat. Pemerintah tampak gagap dan bahkan gagal dalam memitigasi risiko ekonomi digital, khususnya pinjol. Bahkan, yang lebih tragis adalah masalah judi online (judol), yang menyasar ke semua kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, ASN, bahkan kalangan legislatif. Indonesia pun menduduki rating kedua terbesar kedua untuk urusan judol.
Ketiga, masih buruknya perlindungan masyarakat terhadap produk-produk adiktif yang menimbulkan kecanduan dan merusak kesehatan serta struktur ekonomi keluarga. Dalam hal ini adalah makin masifnya konsumsi minuman tinggi gula (minuman manis dalam kemasan), makanan tinggi garam dan lemak, plus makin masifnya konsumsi rokok yang menyasar anak-anak, remaja, dan rumah tangga miskin.
Dampak sosialnya makin terasa, seperti makin tingginya prevalensi penyakit tidak menular (73 persen), masih tingginya prevalensi stunting (21,7 persen), dan penyakit TBC yang masih bertengger pada peringkat kedua. Ini semua dipengaruhi oleh gaya hidup tidak sehat, khususnya dalam pola konsumsi makanan, minuman, dan merokok.
Kebijakan pengendalian untuk kedua komoditas ini masih lemah. Oleh karena itu, di era Prabowo Subianto semestinya ada penguatan dalam tataran implementasi, apalagi sudah ada PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Keempat, infrastruktur yang dibangun di era Presiden Joko Widodo memang cukup masif, khususnya pelabuhan, bandara, dan utamanya jalan tol, yang mencapai panjang lebih dari 3.000-an km. Namun manfaat riil dari infrastruktur ini belum terasa secara signifikan, khususnya untuk menekan tingginya harga komoditas pokok, atau bahkan menurunkan biaya logistik (logistic fee), yang hingga kini masih tinggi. Masih tingginya biaya logistik tentu berdampak terhadap harga bahan pangan, karena menyangkut komplikasi dalam urusan distribusi.
Selain itu, banyak infrastruktur yang dibangun, seperti kata pepatah, hidup segan mati tak hendak, contohnya jalan tol ruas Manado-Bitung.
Kelima, masih tingginya impor bahan pangan, baik itu beras, gandum, mi instan, bahkan singkong dan jagung. Tingginya impor bahan pangan mengakibatkan harga yang mahal, apalagi jika dipengaruhi oleh geopolitik global yang makin memanas, dan faktor krisis iklim. Janji Presiden Prabowo untuk mewujudkan kedaulatan pangan dalam lima tahun ke depan, patut didukung dan diapresiasi. Ketergantungan terhadap impor bahan pangan sudah sangat mengkhawatirkan.
Keenam, komitmen dan janji berdaulat di bidang energi juga hal yang patut didorong, mengingat ketergantungan Indonesia terhadap minyak dan gas elpiji masih sangat tinggi. Padahal di sisi lain cadangan dan pasokan energi kita, baik fosil dan atau energi terbarukan masih melimpah, namun sayang tidak dieksplorasi dengan serius, misalnya gas alam, dan energi panas bumi, yang menduduki rating kedua terbesar di dunia. Dalam hal ini, akan lebih ideal jika Presiden Prabowo berani mengendalikan ekspor batubara, yang cenderung jor-joran. Ekspor yang jor-joran bisa berdampak terhadap krisis pasokan di masa mendatang, seperti pada kasus minyak bumi. Pada era 60-an Indonesia jaya dengan minyak bumi, oil boom, tetapi kemudian ujung-ujungnya kita menjadi pengimpor bahan bakar minyak sampai saat ini. Seharusnya ini menjadi pembelajaran penting untuk kebijakan ekspor energi, khususnya batubara dan gas alam cair.
Dan ketujuh, pada konteks regulasi perlindungan konsumen, mendesak untuk mengakselerasi amandemen UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Proses pembahasan amandemen UU Perlindungan Konsumen sudah berjalan beberapa tahun belakangan, namun hingga pergantian anggota DPR, pembahasan itu belum tuntas. Amandemen UU Perlindungan Konsumen sangat mendesak, tersebab sudah berusia 24 tahun, sehingga banyak isu-isu perlindungan konsumen yang belum terakomodasi.
Demikian sekelumit harapan dan catatan untuk Presiden Prabowo Subianto, dengan kabinet Merah Putih-nya. Postur dan struktur kabinet yang gemoy ini, diharapkan tidak bergerak lamban, tetapi justru sebaliknya, bergerak sigap, akurat dan komprehensif demi melindungi masyarakat Indonesia.
*) Tulus Abadi, Pegiat Perlindungan Konsumen dan pengamat Kebijakan Publik, Pengurus Harian YLKI