OPINI - Esensi pindah ibu kota Negara dan response Sulawesi Tengah
Sulawesi Tengah sangat diuntungkan dengan pindahnya Ibukota ke Kalimantan, khususnya wilayah bagian barat yaitu Palu, Donggala, Tolitoli dan Buol, karena berhadapan langsung dengan ibukota Negara itu.
Palu (ANTARA) - Presiden Jokowidodo tanggal 29 Juli 2019 melalui Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro, saat membuka acara pembahasan RPJMN 2020-2024 di Surabaya, menetapkan Kalimantan menjadi Ibukota Negara yang baru.
Lokasi Ibukota mengerucut kepada dua pilihan yaitu Bukit Soeharto di Kalimantan Timur atau Gunung Emas di Kalimantan Tengah.
Dari kajian yang dilakukan Bappenas menyimpulkan bahwa Kalimantan Timur memiliki kelemahan yang paling sedikit. Namun pastinya, akan disampaikan sendiri oleh Jokowi pada bulan Agustus 2019 ini.
Indonesia sentris dan disparitas
Pindah Ibukota telah diwacanakan Jokowi beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pilres tahun 2019. Sejumlah pengamat berpendapat secara politis keputusan diwaktu itu tidak menguntungkan, karena bisa mempengaruhi wajib pilih untuk kemudian meninggalkan Jokowi. Namun, Jokowi lebih mengedepankan kepentingan yang lebih besar.
Ada dua esensi atau makna penting yang tersirat kenapa Ibukota harus pindah ke luar Jawa. Pertama, Jokowi ingin membangun semangat Indonesia Sentris, yang tujuannya menghilangkan mindset "Java Sentris" yang sebelumnya cukup tajam sebagai pembeda dan dipandang menjai salah satu faktor penghambat percepatan dan pemerataan. Kedua, menekan disparitas pertumbuhan ekonomi antar wilayah yang selama ini masih sangat timpang.
Data menunjukkan PDB Indonesia di tahun 2018 sekitar Rp14.100 triliun rupiah. Kontribusi PDRB Pulau Jawa terhadap PDB nasional sebesar 58,61 persen; Sumatra 21,54 persen; Kalimantan 8,05 persen; Sulawesi 6,20 persen; Bali dan Nusatenggara 3,06 persen serta ; Maluku dan Papua hanya 2,54 persen.
Padatnya penduduk di Jawa, minimnya cadangan air, tingginya cemaran lingkungan, rawan bencana banjir dan potensi gempa yang tinggi hanya menjadi penguatan alasan pindahnya ibukota itu. Jokowi sadar betul bahwa modal dasar terwujudnya pemerataan pembangunan adalah terbangunnya semangat dan frekuensi yang sama diantara stakeholders.
Harapan kita semua semangat Indonesia sentris dapat segera terwujud guna menciptalan Indonesia yang Inovatif, tumbuh dan maju bersama untuk Indonesia Hebat tahun 2050. Kesejahteraan yang akan dicapai saat itu sangat spektakuler, karena menempatkan Indonesia di urutan ke-4 dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat dengan PDB 10.5 triliun Dolar AS dari 1 triliun Dolar AS pada 2018.
Pendapatan per kapita mendekati Rp500 juta dari Rp 59 juta di tahun 2018. Patut Dicontoh Pemimpin Daerah Kepeminpinan yang dutunjukkan Jokowi untuk kepentingan yang lebih besar, tidak lagi membedakan suku, bangsa dan "warna" dapat menjadi tauladan bagi seluruh pemimpin di Daerah. Lahirnya pemimpin daerah yang berkarakter Indonesia sentris dan sekaligus sebagai transformator menjadi landasan terwujudnya Indonesia Hebat.
Namun ini semuanya berpulang kepada bagaimana sikap dan peran tiga aktor yang terlibat terhadap lahirnya pemimpin daerah melalui proses Pilkada. Partai pengusung, masyarakat pemilik hak suara, dan lembaga penyelenngara pilkada juga harus memiliki semangat dan kemauan yang sama melahirkan pemimpin daerah berkarakter Indonesia sentris dan transformator di Pilkada 2020 dan 2022. Bila tidak, maka harapan menjadi Indonesia hebat tinggal kenangan dan catatan sejarah untuk diratapi generasi penerus. Jokowi dan Ma’ruf Amin tidak dapat bekerja sendiri. Pemerintah Pusat hanya berperan sebagai pengarah dan pengendali.
Di saat sebagai pengarah akan berada di 'anjungan' untuk meneropong jauh ke depan dan di saat sebagai pengendali akan berada di 'buritan'. Demikian halnya dengan kedudukan Pemerintah Provinsi terhadap Kabupaten-Kota. Filosofi ini harus senafas selaras direncanakan dan dikerjakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Baca juga: Opini - Urgensi 'Provinsi Sultim' dari perspektif pemindahan Ibu Kota Negara
Baca juga: Ibu Kota negara pindah, Donggala-Parimo berpeluang dimekarkan
Sulawesi Tengah Jembatan Penghubung
Sulawesi Tengah sangat diuntungkan dengan pindahnya Ibukota ke Kalimantan, khususnya wilayah bagian barat yaitu Palu, Donggala, Tolitoli dan Buol, karena berhadapan langsung dengan ibukota Negara itu. Wilayah Tambu, Kabupaten Donggala berada di Selat Makassar dan segaris dengan lokasi Ibukota baru.
Selanjutnya wilayah kecamatan Kasimbar, kabupaten Parigi Moutong di teluk Tomini juga segaris dengan kecamatan Tambu, dan hanya di pisahkan oleh daratan yang lebar terpendeknya sekitar 18 km. Posisi geografis seperti ini menjadi pilihan untuk membangun "Tol Tambu-Kasimbar".
Tol ini nantinya berperan menghubungkan selat Makassar-teluk Tomini, menghubungkan ALKI II dan ALKI III. Karena itu Sulawesi Tengah harus mengambil peran sebagai jembatan penghubung Ibukota Negara di Kalimantan dengan wilayah di Timur Indonesia melalui integrasi moda transportasi laut dan darat. Skenarionya, dari ibukota Negara kendaraan dapat diangkut dengan kapal fery menuju pelabuhan Tambu. Selanjutnya kendaraan bergerak menuju pelabuhan Kasimbar melalui Tol Tambu-Kasimbar.
Dari Pelabuhan Kasimbar kendaraan diangkut menggunakan fery ke wilayah timur, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Demikian pula sebaliknya dari wilayah di Timur ke Ibukota Negara. Manfaat yang akan diperoleh kalau gagasan ini dapat direalisasikan, di antaranya menurunnya cost logistik sampai 40% dibanding bila melalui jalur laut reguler (mengitari Manado atau Makassar).
Tumbuhnya perekonomian di beberapa wilayah seperti teluk Tomini, teluk Tolo, selat Makassar dan laut Sulawesi serta wilayah Aru dan Banda. Juga memudahkan akses bagi kepentingan pertahanan keamanan, khususnya mobilasi peralatan tempur darat.
Gagasan besar ini tentunya harus termuat dalam dokumen perencanaan RPJMN 2020-2024 yang pemanasannya sudah di mulai di Surabaya untuk Jawa dan Bali. Selanjutnya pertemuan regional Sulawesi akan digelar di Manado 5-6 Agustus 2019.
Kesemuanya ini harus diperjuangkan bersama oleh pemerintah daerah, wakil rakyat di daerah dan pusat, termasuk DPD. Grand desain sebagai Jembatan Penghubung serta interkoneksi dan antarkoneksi wilayah sudah harus dipersiapkan dan teranggarkan di tahun 2020.
Dalam grand desain itu akan tergambar bagaimana Sulawesi Tengah berperan sebagai jembatan penghubung; bagaimana pengembangan KEK Palu dan KI, Morowali, dan pengembangan industri pracetak galian C Palu; pengembangan sektor Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Pariwisata dengan pendekatan Industrialisasi; pengembangan Infrastruktur dasar seperti jalan, pelabuhan laut, bandara perintis, listrik dan air bersih serta infrstruktur penunjang lainnya; meningkatkan status bandara Mutiara Sis Aljufri menjadi bandara Internasional sebagai dukungan pengembangan pariwisata; menjadikan Sulawesi Tengah sebagai Pusat Studi Kegempaan; serta mengembangkan SDM melalui pendidkan vokasi modern pada sektor unggulan; serta rancangan beberapa program lainnya yang dianggap penting. Semoga! (*Kepala Bappeda Sulawesi Tengah)
Baca juga: Opini - Tiga harapan di pundak Jokowi-Mar'uf Amin
Baca juga: OPINI - Indonesia maju, daerah harus selaras dengan prioritas Jokowi-Ma'ruf.
Lokasi Ibukota mengerucut kepada dua pilihan yaitu Bukit Soeharto di Kalimantan Timur atau Gunung Emas di Kalimantan Tengah.
Dari kajian yang dilakukan Bappenas menyimpulkan bahwa Kalimantan Timur memiliki kelemahan yang paling sedikit. Namun pastinya, akan disampaikan sendiri oleh Jokowi pada bulan Agustus 2019 ini.
Indonesia sentris dan disparitas
Pindah Ibukota telah diwacanakan Jokowi beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pilres tahun 2019. Sejumlah pengamat berpendapat secara politis keputusan diwaktu itu tidak menguntungkan, karena bisa mempengaruhi wajib pilih untuk kemudian meninggalkan Jokowi. Namun, Jokowi lebih mengedepankan kepentingan yang lebih besar.
Ada dua esensi atau makna penting yang tersirat kenapa Ibukota harus pindah ke luar Jawa. Pertama, Jokowi ingin membangun semangat Indonesia Sentris, yang tujuannya menghilangkan mindset "Java Sentris" yang sebelumnya cukup tajam sebagai pembeda dan dipandang menjai salah satu faktor penghambat percepatan dan pemerataan. Kedua, menekan disparitas pertumbuhan ekonomi antar wilayah yang selama ini masih sangat timpang.
Data menunjukkan PDB Indonesia di tahun 2018 sekitar Rp14.100 triliun rupiah. Kontribusi PDRB Pulau Jawa terhadap PDB nasional sebesar 58,61 persen; Sumatra 21,54 persen; Kalimantan 8,05 persen; Sulawesi 6,20 persen; Bali dan Nusatenggara 3,06 persen serta ; Maluku dan Papua hanya 2,54 persen.
Padatnya penduduk di Jawa, minimnya cadangan air, tingginya cemaran lingkungan, rawan bencana banjir dan potensi gempa yang tinggi hanya menjadi penguatan alasan pindahnya ibukota itu. Jokowi sadar betul bahwa modal dasar terwujudnya pemerataan pembangunan adalah terbangunnya semangat dan frekuensi yang sama diantara stakeholders.
Harapan kita semua semangat Indonesia sentris dapat segera terwujud guna menciptalan Indonesia yang Inovatif, tumbuh dan maju bersama untuk Indonesia Hebat tahun 2050. Kesejahteraan yang akan dicapai saat itu sangat spektakuler, karena menempatkan Indonesia di urutan ke-4 dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat dengan PDB 10.5 triliun Dolar AS dari 1 triliun Dolar AS pada 2018.
Pendapatan per kapita mendekati Rp500 juta dari Rp 59 juta di tahun 2018. Patut Dicontoh Pemimpin Daerah Kepeminpinan yang dutunjukkan Jokowi untuk kepentingan yang lebih besar, tidak lagi membedakan suku, bangsa dan "warna" dapat menjadi tauladan bagi seluruh pemimpin di Daerah. Lahirnya pemimpin daerah yang berkarakter Indonesia sentris dan sekaligus sebagai transformator menjadi landasan terwujudnya Indonesia Hebat.
Namun ini semuanya berpulang kepada bagaimana sikap dan peran tiga aktor yang terlibat terhadap lahirnya pemimpin daerah melalui proses Pilkada. Partai pengusung, masyarakat pemilik hak suara, dan lembaga penyelenngara pilkada juga harus memiliki semangat dan kemauan yang sama melahirkan pemimpin daerah berkarakter Indonesia sentris dan transformator di Pilkada 2020 dan 2022. Bila tidak, maka harapan menjadi Indonesia hebat tinggal kenangan dan catatan sejarah untuk diratapi generasi penerus. Jokowi dan Ma’ruf Amin tidak dapat bekerja sendiri. Pemerintah Pusat hanya berperan sebagai pengarah dan pengendali.
Di saat sebagai pengarah akan berada di 'anjungan' untuk meneropong jauh ke depan dan di saat sebagai pengendali akan berada di 'buritan'. Demikian halnya dengan kedudukan Pemerintah Provinsi terhadap Kabupaten-Kota. Filosofi ini harus senafas selaras direncanakan dan dikerjakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Baca juga: Opini - Urgensi 'Provinsi Sultim' dari perspektif pemindahan Ibu Kota Negara
Baca juga: Ibu Kota negara pindah, Donggala-Parimo berpeluang dimekarkan
Sulawesi Tengah Jembatan Penghubung
Sulawesi Tengah sangat diuntungkan dengan pindahnya Ibukota ke Kalimantan, khususnya wilayah bagian barat yaitu Palu, Donggala, Tolitoli dan Buol, karena berhadapan langsung dengan ibukota Negara itu. Wilayah Tambu, Kabupaten Donggala berada di Selat Makassar dan segaris dengan lokasi Ibukota baru.
Selanjutnya wilayah kecamatan Kasimbar, kabupaten Parigi Moutong di teluk Tomini juga segaris dengan kecamatan Tambu, dan hanya di pisahkan oleh daratan yang lebar terpendeknya sekitar 18 km. Posisi geografis seperti ini menjadi pilihan untuk membangun "Tol Tambu-Kasimbar".
Tol ini nantinya berperan menghubungkan selat Makassar-teluk Tomini, menghubungkan ALKI II dan ALKI III. Karena itu Sulawesi Tengah harus mengambil peran sebagai jembatan penghubung Ibukota Negara di Kalimantan dengan wilayah di Timur Indonesia melalui integrasi moda transportasi laut dan darat. Skenarionya, dari ibukota Negara kendaraan dapat diangkut dengan kapal fery menuju pelabuhan Tambu. Selanjutnya kendaraan bergerak menuju pelabuhan Kasimbar melalui Tol Tambu-Kasimbar.
Dari Pelabuhan Kasimbar kendaraan diangkut menggunakan fery ke wilayah timur, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Demikian pula sebaliknya dari wilayah di Timur ke Ibukota Negara. Manfaat yang akan diperoleh kalau gagasan ini dapat direalisasikan, di antaranya menurunnya cost logistik sampai 40% dibanding bila melalui jalur laut reguler (mengitari Manado atau Makassar).
Tumbuhnya perekonomian di beberapa wilayah seperti teluk Tomini, teluk Tolo, selat Makassar dan laut Sulawesi serta wilayah Aru dan Banda. Juga memudahkan akses bagi kepentingan pertahanan keamanan, khususnya mobilasi peralatan tempur darat.
Gagasan besar ini tentunya harus termuat dalam dokumen perencanaan RPJMN 2020-2024 yang pemanasannya sudah di mulai di Surabaya untuk Jawa dan Bali. Selanjutnya pertemuan regional Sulawesi akan digelar di Manado 5-6 Agustus 2019.
Kesemuanya ini harus diperjuangkan bersama oleh pemerintah daerah, wakil rakyat di daerah dan pusat, termasuk DPD. Grand desain sebagai Jembatan Penghubung serta interkoneksi dan antarkoneksi wilayah sudah harus dipersiapkan dan teranggarkan di tahun 2020.
Dalam grand desain itu akan tergambar bagaimana Sulawesi Tengah berperan sebagai jembatan penghubung; bagaimana pengembangan KEK Palu dan KI, Morowali, dan pengembangan industri pracetak galian C Palu; pengembangan sektor Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Pariwisata dengan pendekatan Industrialisasi; pengembangan Infrastruktur dasar seperti jalan, pelabuhan laut, bandara perintis, listrik dan air bersih serta infrstruktur penunjang lainnya; meningkatkan status bandara Mutiara Sis Aljufri menjadi bandara Internasional sebagai dukungan pengembangan pariwisata; menjadikan Sulawesi Tengah sebagai Pusat Studi Kegempaan; serta mengembangkan SDM melalui pendidkan vokasi modern pada sektor unggulan; serta rancangan beberapa program lainnya yang dianggap penting. Semoga! (*Kepala Bappeda Sulawesi Tengah)
Baca juga: Opini - Tiga harapan di pundak Jokowi-Mar'uf Amin
Baca juga: OPINI - Indonesia maju, daerah harus selaras dengan prioritas Jokowi-Ma'ruf.