Palu (ANTARA) - Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum (Kemenkum) Sulawesi Tengah (Sulteng) memfasilitasi harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pemerintah Kabupaten Morowali tentang Peraturan Pelaksana Perda Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan.
"Peraturan ini bukan hanya soal hukum di atas kertas, tetapi tentang bagaimana negara hadir secara nyata di rumah-rumah, sekolah, dan ruang publik, di mana perempuan dan anak seharusnya merasa aman,” kata Kepala Kanwil Kemenkum Sulteng Rakhmat Renaldy di Palu, Jumat.
Ia menjelaskan harmonisasi ini memastikan bahwa setiap pasal dalam rancangan peraturan daerah tidak hanya memenuhi standar teknis perundang-undangan, tetapi juga memiliki daya lindung yang kuat, tidak multitafsir, dan mampu diterapkan di lapangan dengan efektif.
Menurut dia, harmonisasi ini bukan sekadar proses teknokratis, melainkan upaya menjahit kembali tenun keadilan sosial bagi mereka yang kerap berada di tepi sistem, perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual.
Dalam pembahasan, lanjut dia, tim dari Divisi Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaan Hukum (P3H) Kanwil Kemenkum Sulteng melakukan telaah menyeluruh.
Mulai dari norma-norma hukum nasional yang relevan, keterkaitan dengan UU Perlindungan Anak dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hingga aspek-aspek lokal yang perlu menjadi pertimbangan agar peraturan benar-benar kontekstual dengan realitas Kabupaten Morowali.
Ia mengatakan seiring dengan upaya harmonisasi ini, Kanwil Kemenkum Sulteng juga mendorong lahirnya regulasi turunan dan langkah-langkah penguatan seperti pendirian pusat layanan terpadu, pelatihan petugas pendamping korban, serta penyediaan anggaran yang memadai untuk implementasi kebijakan.
"Semoga ini bukan hanya menjadi regulasi yang indah di atas kertas, tetapi juga menjadi pelindung yang nyata, yang menjangkau setiap perempuan dan anak, bahkan di pelosok desa sekalipun," ujarnya.
Sekretaris Daerah Kabupaten Morowali Yusman Mahbub menegaskan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak adalah bagian dari pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan.
“Kekerasan terhadap mereka tidak boleh lagi menjadi cerita yang diabaikan. Harus ada kepastian hukum dan sistem perlindungan yang menyeluruh,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa penyusunan regulasi ini merupakan bentuk tanggung jawab moral dan konstitusional. Harmonisasi ini, kata dia, diharapkan menjadi momentum membangun kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
"Ketika korban tahu bahwa ada aturan yang berpihak padanya, mereka akan lebih berani berbicara. Dan ketika pelaku tahu bahwa ada hukum yang tegas, maka akan berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan," ujarnya.