Jakarta (ANTARA) - Di tengah tantangan besar dunia kesehatan Indonesia, penyakit jantung telah menjelma menjadi ancaman yang paling nyata.
Data Kementerian Kesehatan pada 2023 menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskular, termasuk serangan jantung dan stroke, menyumbang hampir sepertiga dari total kematian di Indonesia.
Angka ini menggambarkan betapa mendesaknya kebutuhan bangsa ini untuk serius berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang kesehatan jantung.
Namun, permasalahannya tidak berhenti pada prevalensi penyakit. Indonesia juga menghadapi krisis dalam jumlah dan kompetensi tenaga kesehatan. Rasio tenaga kesehatan di Indonesia hanya sekitar 2,7 per 1.000 penduduk, jauh di bawah standar minimal WHO sebesar 4,45.
Dalam konteks penyakit yang memerlukan penanganan cepat, akurat, dan spesialisasi tinggi seperti jantung, angka ini mengkhawatirkan. Ketika serangan jantung bisa terjadi kapan saja dan membutuhkan penanganan dalam hitungan menit, kekurangan tenaga medis terlatih dapat menjadi perbedaan antara hidup dan mati.
Urgensi ini menuntut sebuah pendekatan strategis dan terstruktur yakni mendidik lebih banyak tenaga kesehatan yang tidak hanya paham teori tetapi juga kompeten secara teknis dan klinis dalam menangani kasus-kasus kardiovaskular. Pendidikan kedokteran dasar saja tidak cukup.
Yang dibutuhkan adalah pelatihan lanjutan yang berbasis praktik dan simulasi, pembelajaran antardisiplin, serta pemahaman mendalam tentang teknologi mutakhir yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari penanganan penyakit jantung.
Sayangnya, model pendidikan dan pelatihan medis di Indonesia masih belum tersebar merata. Akses terhadap pelatihan lanjutan masih sangat terbatas, terutama di luar kota-kota besar.
Hal ini menimbulkan kesenjangan kompetensi yang serius antara tenaga medis di daerah dan di pusat.
Padahal, penyakit jantung tidak mengenal batas geografis. Penyakit ini bisa menyerang siapa saja, baik di kota besar maupun di pelosok desa.
Maka, menjadi tanggung jawab kolektif untuk memastikan bahwa dokter dan tenaga medis di semua wilayah memiliki akses yang setara terhadap pelatihan berkualitas.
Inisiatif Pelatihan
Dalam konteks inilah berbagai inisiatif pelatihan spesifik di bidang jantung harus dipandang sebagai langkah yang sangat penting.
Salah satunya dapat dilihat dari upaya Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang mendirikan pusat pelatihan perawatan jantung (Cardiac Care Training Center/CCTC) pada Juli 2025.
Dr. dr. Dicky Hanafy, Sp. JP, Subsp Ar (K), Subs KI (K), Direktur SDM, Pendidikan dan Penelitian RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita mengatakan Indonesia sudah saatnya memiliki Cardiac Care Training Center (CCTC) sebagai pusat berbagi pengetahuan dan pengembangan keterampilan yang menjangkau rumah sakit dan dokter di seluruh tanah air.
CCTC adalah contoh konkret bagaimana institusi layanan kesehatan dapat bertransformasi menjadi institusi pembelajaran yang berbagi pengetahuan kepada rumah sakit lain.
Namun, penting untuk ditekankan bahwa inisiatif seperti ini seharusnya tidak berhenti pada satu titik. Harapan Kita hanyalah satu titik kecil dalam peta kebutuhan nasional yang jauh lebih besar.
Apa yang dilakukan di satu rumah sakit, meskipun baik, tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan pelatihan bagi ribuan rumah sakit dan puluhan ribu tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.
Yang diperlukan adalah strategi nasional yang mendesain sistem pelatihan berkelanjutan, terintegrasi, dan terdistribusi secara adil di seluruh wilayah.
Langkah-langkah konkret bisa dimulai dari membangun pusat pelatihan regional di berbagai provinsi, mendesain kurikulum pelatihan berbasis kebutuhan lokal, serta mengintegrasikan pelatihan kardiovaskular ke dalam proses resertifikasi tenaga medis.
Tina Rahmawati, SP, MM, Manajer Instalasi Pendidikan dan Pelatihan, RSJPD Harapan Kita, mengatakan, pihaknya telah melatih lebih dari 9.500 tenaga kesehatan profesional sepanjang tahun 2024, selain juga terhubung melalui jejaring dengan lebih dari 560 rumah sakit rujukan di seluruh nusantara. Inisiatif serupa juga perlu dikembangkan elemen kesehatan yang lain.
Pemerintah juga perlu mengalokasikan anggaran khusus untuk pelatihan SDM kesehatan, sebagaimana negara lain telah melakukannya dalam rangka menghadapi beban penyakit tidak menular yang meningkat.
Kurikulum pelatihan perlu disesuaikan dengan tantangan zaman. Penanganan jantung saat ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi pencitraan seperti CT scan koroner, ekokardiografi, kateterisasi jantung, dan pengawasan hemodinamik.
Namun, yang jauh lebih penting adalah pemahaman tentang interpretasi data, pengambilan keputusan klinis berbasis bukti, serta komunikasi efektif dengan pasien dalam kondisi kritis.
Semua ini tidak bisa diajarkan melalui teori semata, tetapi membutuhkan pendekatan pelatihan berbasis simulasi dan praktik langsung yang intensif.
Aspek interdisipliner juga menjadi kunci. Penanganan pasien jantung tidak hanya dilakukan oleh dokter spesialis jantung, tetapi juga melibatkan radiolog, perawat, radiografer, hingga teknisi laboratorium.
Lintas Bidang
Pelatihan harus mendorong kerja sama tim dan pemahaman lintas bidang. Tidak ada tempat lagi bagi ego sektoral dalam penanganan penyakit yang membutuhkan kecepatan, koordinasi, dan presisi tinggi.
Alfred Fahringer, Country Head, Siemens Healthineers Indonesia, mengatakan transformasi pelayanan kesehatan hanya bisa dilakukan dengan mudah melalui pendidikan dan inovasi.
Oleh karena itu, akses tenaga kesehatan ke teknologi pencitraan kelas dunia dan pelatihan langsung akan memungkinkan hasil yang lebih baik bagi pasien jantung. Ia menyarankan penguatan kapasitas tenaga kesehatan di Indonesia dengan lebih optimal berbasis teknologi dan inovasi.
Di sisi lain, aspek etika dan tanggung jawab sosial juga perlu ditekankan dalam pelatihan. Ketika teknologi medis semakin canggih, tantangan etika juga semakin besar.
Tenaga kesehatan harus mampu menyeimbangkan penggunaan teknologi dengan pendekatan humanistik yang menjunjung tinggi martabat pasien.
Pelatihan tenaga kesehatan yang baik bukan sekadar soal keterampilan teknis, tetapi juga tentang membentuk karakter profesional yang tangguh, empatik, dan siap bekerja dalam situasi tekanan tinggi.
Inilah mengapa investasi dalam pelatihan tidak bisa dianggap sebagai biaya, tetapi sebagai upaya strategis membangun fondasi bangsa yang sehat.
Dalam jangka panjang, kualitas layanan kesehatan di Indonesia akan sangat ditentukan oleh kualitas SDM-nya.
Tidak cukup dengan membangun rumah sakit besar atau membeli alat canggih, jika tidak diiringi dengan upaya serius untuk mendidik manusia di belakangnya.
Pengetahuan bisa dibeli, tetapi kompetensi hanya bisa dibangun melalui pelatihan yang sistematis, konsisten, dan berbasis kebutuhan riil.
Penyakit jantung tidak akan menunggu. Tetapi kerap menyerang tiba-tiba, sering tanpa gejala, dan menuntut respons cepat yang hanya bisa diberikan oleh tenaga medis yang terlatih.
Maka, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini selain segera memperkuat ekosistem pelatihan SDM kesehatan secara menyeluruh.
Di tengah risiko yang terus meningkat, pelatihan bukan lagi pilihan, tetapi lebih pada keniscayaan.
Sebab, tak ada sistem kesehatan yang tangguh tanpa manusia yang mumpuni, dan tak ada negara yang kuat tanpa jantung yang berdetak dengan sehat, secara harfiah maupun simbolik.