Pati Polri jadi pejabat gubernur, urgensikah ?

id Tjahjo

Pati Polri jadi pejabat gubernur, urgensikah ?

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (antaranews)

Ada aturan undang-undangnya. Kalau dianggap gaduh, menimbulkan pro dan kontra, saya hargai semua pendapat

Jakarta, (Antaranews Sulteng) -Isu dua nama perwira tinggi Polri yang digadang-gadang menjadi penjabat gubernur, menjadi polemik di masyarakat. 

Adalah Asisten Operasi (Asops) Kapolri Irjen Pol M. Iriawan dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Pol Martuani Sormin yang dicalonkan untuk menjabat sebagai penjabat gubernur di dua provinsi. Iriawan rencananya akan ditunjuk menjadi penjabat gubernur Jawa Barat menggantikan Ahmad Heryawan yang akan pensiun pada 13 Juni 2018. Sementara Martuani bakal ditunjuk sebagai penjabat gubernur Sumatera Utara menggantikan Tengku Erry Nuradi.

Keduanya direncanakan bakal menjabat sebagai penjabat gubernur hingga rangkaian Pilkada Serentak 2018 selesai.

Menanggapi hal ini, Wakapolri Komjen Pol Syafruddin mengatakan bahwa hal itu masih sebatas wacana yang sedang dikaji oleh Kementerian Dalam Negeri.

Syafruddin pun berseloroh mungkin namanya bisa saja diusulkan karena dua nama tersebut masih belum pasti.

"Masih wacana, belum tentu, bisa juga (nama) saya, Wakapolri (dimunculkan). Tergantung Mendagri pilih siapa," ujar jenderal bintang tiga itu.

  Mendagri miliki dasar hukum 

Sementara Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengakui bahwa awalnya dirinya meminta Menkopolhukam Wiranto dan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian untuk mengajukan nama calon guna mengisi jabatan penjabat gubernur hingga Pilkada Serentak 2018 usai.

"Yang mengusulkan yang bersangkutan (Kapolri)," kata Tjahjo.

Saat ini pihaknya masih menunggu surat resmi pengusulan nama dari Kapolri.

Dari nama yang diusulkan itu akan disampaikan oleh Mendagri ke Presiden Joko Widodo melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Tjahjo pun mengakui bahwa langkahnya menimbulkan polemik di mata publik. Namun demikian, ia berpegangan bahwa penunjukan perwira Polri untuk menjadi penjabat gubernur memiliki dasar hukum yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada dan Permendagri 1 Tahun 2018.

Permendagri tersebut baru ditandatanganinya pada 9 Januari 2018.

Tjahjo membeberkan bahwa Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara, pada Pasal 4 Ayat 2 menyebutkan bahwa penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di lingkup pemerintahan pusat atau provinsi.

Permendagri ini menggantikan aturan sebelumnya yakni Pasal 4 Permendagri Nomor 74 Tahun 2016 yang membatasi penjabat gubernur hanya untuk pimpinan tinggi madya Kementerian Dalam Negeri atau Pemda Provinsi.

"Ada aturan undang-undangnya. Kalau dianggap gaduh, menimbulkan pro dan kontra, saya hargai semua pendapat," katanya.

Tak hanya untuk Sumatera Utara dan Jawa Barat, pihaknya juga akan menempatkan pejabat setara eselon satu dari Polri atau TNI sebagai penjabat gubernur di Papua. Pasalnya Gubernur Papua yang saat ini adalah Lukas Enembe akan berakhir pada 9 April 2018 atau sebelum Pilkada Papua 2018 selesai.

 Tjahjo beralasan penempatan pati Polri atau TNI di Sumatera Utara, Jawa Barat dan Papua karena aspek kerawanan di daerah tersebut.

Saat ditanya langkahnya terkait dengan manuver politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Tjahjo tegas membantah.

"Tidak ada sangkut pautnya dengan partai," katanya.

Tjahjo Kumolo menambahkan bahwa ini bukan pertama kalinya penjabat gubernur diisi perwira tinggi. Sebelumnya ia pernah menempatkan perwira tinggi Polri dan TNI sebagai penjabat gubernur di Aceh dan Sulawesi Barat pada Pilkada Serentak 2017.

Tercatat Irjen Pol Carlo Brix Tewu pernah menjabat sebagai penjabat sementara Gubernur Sulbar dan Mayjen TNI Soedarmo sebagai penjabat sementara Gubernur Aceh.

  Pengamat nilai langgar hukum 

Sementara pengamat Kepolisian, Bambang Widodo Umar mengatakan penunjukan pati Polri untuk menjadi pejabat gubernur, melanggar hukum. Ia berpendapat fungsi Kepolisian adalah sebagai alat penegak hukum, bukan alat politik.

"Penunjukan tersebut bisa menyeret pejabat polisi ke ranah politik praktis. Dan karena esprit de corps bisa mempengaruhi netralitas polisi dalam tugas pengamanan Pemilu di daerah yang melaksanakan Pilkada," katanya.

Bambang mengatakan penilaiannya mengacu pada Pasal 23 dan Pasal 28 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri.Pasal 23 menyebut bahwa "Sumpah bagi anggota polisi dalam menjalankan tugas harus netral". Sementara Pasal 28 menyebut bahwa "Anggota polisi tidak boleh melibatkan diri pada kegiatan politik praktis dan jika akan menduduki jabatan di luar Polri, harus mengundurkan diri".

Tak hanya itu, menurut Bambang, dalam Pasal 201 Ayat 1 Undang-Undang Pilkada, diatur bahwa yang diangkat menjadi penjabat gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang merupakan kalangan sipil.

Pihaknya pun mempertanyakan alasan keamanan yang disampaikan Mendagri Tjahjo.

"Kalau soal keamanan, kan sudah ada kapolda di wilayah yang bertanggung jawab terhadap masalah kamtibmas," katanya.

Bambang menilai bahwa Polri sebenarnya sudah banyak melanggar fungsinya. Ia merinci bahwa pelanggaran fungsi Polri terjadi sejak dua perwira tinggi Polri diangkat menjadi Dirjen Imigrasi dan Dirjen Perhubungan Darat beberapa waktu lalu.

"Saat itu sudah diingatkan (melanggar), tapi tetap saja dilanjutkan," katanya.

Namun sekarang malah berkembang ke penunjukkan jabatan kepala daerah.

Sebagai aparat negara, seharusnya Polri bersikap profesional dan netral dari pemegang kekuasaan. Janji setia Polri adalah pada negara, bukan pada rezim. Rezim bisa berganti, namun kesetiaan pada negeri haruslah harga mati.