Tambang Morowali Menggali Kubur Untuk Anak-cucu

id tambang, nikel, morowali

Tambang Morowali Menggali Kubur Untuk Anak-cucu

Salah satu areal penambangan nikel oleh pemegang IUP di atas konsesi PT. Vale Indonesia, Tbk di Teluk Kolono, Kabupaten Morowali, Sulteng, yang mencemari lingkungan/pantai. (Istimewa/PT.VI)

Praktik penambangan mereka saya sebut sebagai `ala-ala babi` atau `ala-ala tikus. Babi itu kan kalau mencari makan sembarang saja menancapkan moncongnya ke tanah dan menggali, tanpa pedul apapun, yang penting dapat makanan."

Palu (antarasulteng.com) - Jam dinding di rumah kepala desa menunjukkan pukul 12.30 ketika sebuah mobil tangki air melintas di Desa Ganda-ganda pada Rabu, 20 Pebruari 2013 untuk mengisi wadah-wadah penampung air yang diletakkan warga di depan rumah masing-masing.

Satu persatu awak mobil tangki air milik sebuah perusahaan tambang nikel itu mengisi sampai penuh loyang, ember dan drum plastik ukuran 100-an liter.

Berapapun jumlah dan ukuran wadah penampung air, semua diisi sampai penuh. Warga yang memiliki uang lebih tampak membeli tandon air berkapasitas 1000-an liter sehingga stok air mereka bisa lebih banyak, namun yang belum mampu harus pasrah dengan mengisi wadah-wadah ukuran puluhan liter saja.

"Begitulah keadaan di sini sekarang pak. Kami tinggal menunggu kemurahan hati para pengusaha penambangan nikel untuk membagi-bagikan air, karena sumur-sumur warga telah kering," kata Eu Lenta, Kepala Desa Ganda-ganda, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah yang ditemui di kediamannya baru-baru ini.

Eu mengaku sedang mengalami kesulitan air bersih yang selalu terulang karena sumur-sumur mengering meski saat ini belumlah tiba musim kemarau.

Selain sumur yang kering, rawa-rawa yang biasanya menampung air bersih juga mengering. Kalaupun tidak kering, airnya keruh sehingga tidak bisa lagi diandalkan walau hanya untuk mandi dan cuci pakaian.

"Ini merupakan salah satu dampak negatif kehadiran perusahaan tambang nikel di sekitar desa ini," kata Eu yang ditemani seorang warga saat berbincang dengan Antara.

Desa Ganda-ganda yang dihuni 1.650 jiwa penduduk tersebut memang bukanlah seperti desa pantai pada umumnya di Teluk Kolono yang kaya mata air sehingga warga yang terdiri atas 556 kk itu memang sudah terbiasa menghemat air.

Namun kondisi saat ini dirasakan lebih berat setelah kehadiran perusahaan tambang nikel membuka hutan di sekitar desa untuk mengeruk jutaan ton tanah mengandung nikel guna diekspor ke mancanegara.

"Saya terpaksa menggunakan pancuran kecil ini karena tidak ada sumber air lain lagi untuk dimanfaatkan," kata seorang warga Bahoue, sebuah kelurahan di ujung Kota Kolonodale yang bertetangga dengan Desa Ganda-ganda saat ditemui sedang mencuci pakaian.

Ada 10 perusahaan tambang nikel pemegang izin usaha penambangan (IUP) yang beroperasi di sekitar Desa Ganda-ganda ini sehingga menjadikannya sebagai desa yang paling banyak beroperasi IUP penambangan nikel di Morowali.

Eu Lenta tidak bisa merinci berapa luas kawasan hutan di gunung-gunung di atas desa itu yang telah digunduli menggunakan alat-alat berat oleh para kontraktor penambangan namun menyebut sudah mencapai ribuan hektare.

Perusahaan tersebut adalah PT. Mulia Pasific Resort (MPR), CV. Ita Matra Nusantara, PT. Integra Teknik Nusantara, PT. Sumber Permata Selaras (SPS), PT. Sumber Swarna Pratama, PT. Graha Sumber Mining, PT. Trinusa, PT. Bangun Bumi Indah (BBI), CV. Reski Utama dan PT. Hoffman International.

Dari 10 perusahaan pemegang IUP itu, kini tinggal empat yang beroperasi yakni PT. Mulia Pasific Resort, PT. Graha Sumber Mining, PT. Trinusa dan CV. ita Matra. Yang lainnya sudah berhenti dan meninggalkan lahan yang sudah gundul dan tak direhabilitasi.

Untung dan buntung

Eu mengakui bahwa kehadiran sejumlah IUP nikel di desanya membawa manfaat yang cukup besar bagi peningkatan kesejahteraan warga desa karena membuka lapangan kerja yang cukup banyak.

"Hampir semua anak muda di desa ini bekerja di perusahaan-perusahaan tambang itu sekalipun hanya pekerja kasar. Penghasilan mereka juga lumayan, di atas upah minimum yang ditetapkan pemerintah," kata Ibrahim, seorang warga Ganda-ganda yang baru saja berhenti bekerja di PT. MPR.

Bahkan Ibrahim yang mengaku sudah bekerja selama tiga tahun dengan status pengawas bisa menerima penghasilan Rp3 sampai Rp3,5 juta sebulan dari perusahaan tersebut.

"Alhamdulillah, di desa ini hampir tidak ada lagi warga miskin. Kalau masih ada, itu adalah janda-janda yang sudah usia lanjut, namun mereka juga ditopang kehidupannya oleh anak-anak dan familinya," ujar Eu lagi.

Semua perusahaan juga memberikan komitmen untuk memberikan dana pemberdayaan masyarakat yakni Rp5.000 untuk setiap ton ore (tanah yang mengandung nikel) yang dikapalkan menuju negara tujuan ekspor (hampir semuanya ke China) meski tidak semua memenuhi komitmennya.

Dengan dana pemberdayaan itu, masyarakat Desa Ganda-ganda telah menerima dana miliaran rupiah, ada yang dibagikan secara langsung kepada setiap rumah tangga dan ada pula yang dipakai untuk membangun sarana dan prasarana umum yang dibutuhkan seperti perbaikan sekolah, rumah ibadah, sarana air bersih, kantor desa, tempat tambat kapal nelayan, fasilitas pelayanan kesehatan (posyandu) dan pelatihan keterampilan yang dibutuhkan warga.

Namun demikian, dampak negatif yang telah, sedang dan yang mengancam masa depan warga Ganda-ganda dan sekitarnya juga cukup mengkhawatirkan.

"Dulu di awal-awal kehadiran perusahaan tambang banyak warga yang mengalami gatal-gatal. Penyebabnya tidak pasti, namun diduga kuat karena debu yang beterbangan di udara saat truk-truk pengangkut ore beroperasi atau air yang biasa dipakai warga yang tercemar sedimen baik air rawa maupun air laut," ujarnya.

Sekarang ini, kesulitan yang ada di pelupuk mata adalah kelangkaan air bersih. Air rawa mengering di musim panas dan keruh di musim hujan sehingga tidak bisa digunakan, sementara air laut juga menguning karena limbah penambangan sehingga nelayan tidak bisa lagi mencari ikan sekedar untuk makan di tepi pantai seperti dahulu.

Sementara bahaya yang mengancam ketentraman warga adalah banjir yang membawa lumpur dan sedimen berupa potongan-potongan kayu, serta erosi dan longsor akibat lahan gundul yang ditinggalkan begitu saja oleh penambang.

"Tidak ada perusahaan nikel di sini yang merehabilitasi lahan bekas tambang sebelum meninggalkan areal eksploatasinya. Ini sangat membahayakan penduduk di sini bila suatu saat terjadi hujan lebat yang berkepanjangan," ujar Eu lagi dengan menyebut enam perusahaan yang sudah berhenti beraktivitas dan meninggalkan lahan gundul.

Yang menjengkelkan pula, kata Eu, beberapa perusahaan meninggalkan lokasi tanpa membayar dana pemberdayaan kemasyarakatan (CSR) sesuai komitmen mereka untuk warga.

Ia menyebut PT. Integra tidak membayar kewajibannya untuk dua kali pengapalan, PT. SPS dua kapal dan PT. BBI satu kapal. Nilainya totalnya sekitar Rp1,2 miliar karena setiap pengapalan berkapasitas 50.000 ton dimana setiap ton dikeluarkan cana CSR Rp5.000.

Keluhan warga seperti yang dikemukanan Kades Ganda-ganda Eu Lenta ini juga terjadi di puluhan desa di berbagai kecamatan di Morowali yang kedatangan investor penambangan nikel.

Keluhan mereka tidak sekedar dampak terhadap lingkungan seperti debu tebal yang melanda permukiman dan komitmen dalam menyalurkan dana pemberdayaan masyarakat tetapi juga tumpang tindih lahan sehingga banyak lahan warga yang dicaplok perusahaan untuk dikuliti pepohonan dan tanaman di atasnya untuk menggali nikel.

Jaringan Advokasi Anti Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah sudah berulang kali melakukan aksi baik demnstrasi maupun seminar dan pertemuan-pertemuan denagn berbagai pihak untuk mengecam ekspansi tambang di Kabupaten Morowali yang melaju tanpa kendali dalam lima tahun terakhir.

Menurut data yang dirilis Jatam Sulteng, pada 2007 terdapat 126 IUP nikel yang diterbitkan Bupati Morowali dan pada 2011 jumlahnya melonjak hingga 189 Izin. Dari jumlah itu hanya 77 Izin yang masuk kategori `clean and clear.`

"Sisanya beroperasi tanpa kendali, tanpa kontrol," ujar Andika, Manager Riset dan Kampanye JATAM Sulteng.

Selain menimbulkan dampak dan ancaman terhadap warga dan lingkungan, kehadiran IUP-IUP penambangan itu juga dinilai tidak membawa dampak yang signifikan ke kas daerah.

Pada 2007, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Morowali Rp5,5 miliar dan empat tahun kemudian menjadi Rp19.651.390.324. Jumlah itu tidak semuanya bersumber dari sektor pertambangan.

`Ala-ala babi`

Sekda Morowali Syahril Ishak yang turun langung memimpin tim melakukan inspeksi mendadak terhadap aktivitas perusahaan tambang nikel awal Februari 2013 mengaku geleng-geleng kepala melihat cara-cara pemilik IUP menggaruk bumi untuk mendapatkan ore.

"Praktik penambangan mereka saya sebut sebagai `ala-ala babi` atau `ala-ala tikus. Babi itu kan kalau mencari makan sembarang saja menancapkan moncongnya ke tanah dan menggali, tanpa pedul apapun, yang penting dapat makanan. Begitu pula dengan tikus," ujar Syahril memberi kiasan.

Syaril mengaku dalam inspeksi itu mereka menemukan tujuh perusahaan yang tidak melaksanakan teknik penambangan sesuai dengan dukumen amdal serta AKL dan UKL yang sudah ditetapkan.

Perusahaan-perusahaan tersebut menggusur lahan tanpa memisahkan top soil di tempat tersendiri agar nantinya bisa digunakan untuk menutup lokasi bekas penambangan agar bisa ditanami kembali untuk kepentingan renovasi lahan pascatambang.

Selain itu, kata dia, perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki sarana pengendalian limbah atau sedimen dan air berupa kolam-kolam penampungan (sedimen and water pond) sehingga bila terjadi hujan, sedimen dan air dari lokasi penambangan akan langsung mengalir ke tempat rendah bahkan ke pantai dan mengancam permukiman dan lahan perkebunan warta serta mencemari air laut.

Menurut Syahril, perusahaan yang ditindak baru sebagian kecil karena baru perusahaan itu yang bisa didatangi. Masih banyak lagi lokasi eksploatasi nikel yang belum didatangi dan diduga masih banyak pula yang tidak mematuhi kewajibannya dalam melakukan penambangan.

"Kalau mendengar keluhan dan laporan dari masyarakat, memang banyak pratik penambangan nikel oleh para pemegang IUP yang tidak sesuai dengan ketentuan mengenai praktik-praktik penambangan yang baik dan ramah lingkungan," ujarnya.

Pemerintah Kabupaten Morowali dibawah pimpinan penjabat Bupati Baharuddin Tanriwali tampaknya mulai melakukan penertiban terhadap IUP-IUP tambang nikel di daerah berpenduduk sekitar 200.000 jiwa itu, meski banyak pihak pesimistis karena masa tugasnya sebagai kepala daerah hanya beberapa bulan saja.

Baharuddin menyatakan menutup pintu untuk sementara bagi pemohon baru IUP nikel karena jumlah IUP yang ada saat ini sudah terlalu banyak jumlahnya dan persoalan yang ditimbukannya juga semakin komplex yang dikeluhkan banyak warga.

Ia mengaku akan fokus dulu untuk membenahi persoalan-persoalan yang timbul akibat maraknya eksploatasi lahan untuk mengeruk kekayaan tambang khususnya nikel.

"Bahkan saya pernah mendengar sindiran orang bahwa areal IUP yang sudah diterbitkan di daerah ini sudah lebih luas dari luas daratan Morowali sendiri," ujarnya.

Ia berharap bisa mulai mengurai benang kusut pertambangan nikel di daerahnya yang terjadi selama ini.

"Kalau nanti sudah ada bupati baru yang terpilih, terserah dia apakah mau menerbitkan IUP baru lagi ataukah menutup secara permanen sambil membenahi IUP yang sudah ada agar semua bisa menerapkan praktik penambangan yang baik dan benar demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan ekonomi daerah," ujar Baharuddin.
(R007)