Penyintas gempa Pasigala sudah tiga kali jalani puasa Ramadhan di huntara

id Huntara,Huntara petobo,Petobo,Pasigala,Nasdem,Nasdem sulteng,Ramadhan

Penyintas gempa Pasigala sudah tiga kali jalani puasa Ramadhan di huntara

Warga penyintas gempa dan likuefaksi Petobo beraktivitas di hunian sementara. (Dok ANTARA)

Tiga tahun sudah lamanya warga korban bencana masih diliputi ketidakpastian kapan bisa hidup di lokasi hunian tetap (Huntap) yang permanen sebagaimana janji pemerintah
Palu (ANTARA) - Sebagian warga penyintas gempa, tsunami dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah, sudah tiga kali menjalani puasa Ramadhan di hunian sementara (huntara) sejak tahun 2019 - 2021, setelah bencana itu memporakporandakan permukiman warga pada 28 September 2018 lalu.

Penyintas gempa dan likuefaksi Kelurahan Petobo, Kota Palu, misalnya, Jumat mengaku sudah tiga kali menjalani puasa Ramadhan di huntara.

Sekitar 500 kepala keluarga penyintas gempa dan likuefaksi di Petobo masih berada di hunian sementara yang dibangun oleh pemerintah sejak tahun 2018 pascagempa.

Merespon kondisi itu, Ketua DPW NasDem Sulteng Atha Mahmud menyatakan progres pembangunan kembali untuk pemulihan warga di Pasigala dalam skema rehab-rekon pascabencana 28 September 2018 hingga kini tak kunjung rampung tuntas.

"Tiga tahun sudah lamanya warga korban bencana masih diliputi ketidakpastian kapan bisa hidup di lokasi hunian tetap (Huntap) yang permanen sebagaimana janji pemerintah," ucap Atha Mahmud.

Kata Atha Mahmud memasuki Ramadhan ketiga, warga korban bencana masih hidup di lokasi pengungsian.

"Ini fakta miris dan sangat mengganggu nurani kemanusiaan kita. Padahal sebelumnya di tahun 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan pembangunan Huntap mesti harus selesai sebelum memasuki bulan suci Ramadhan 2019, Agar warga korban bencana dapat menikmati bulan Ramadhan di hunian baru yang diperuntukkan," ujar Atha.

Menurut Atha, lamanya penyelesaian masalah pembangunan hunian tetap warga penyintas, mengindikasikan bahwa ada ketidakberesan yang terus menerus dibiarkan jadi berlarut. Seolah negara melalui Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah tidak mampu menunaikan kewajiban konstitusionalnya dalam memenuhi hak warga korban bencana.

"Saya kira, hampir tiga tahun dan tiga Ramadhan ini adalah batas waktu toleran bagi pemerintah pusat dan daerah. Cukup sudah bermain-main dengan soal kemanusiaan. Sudahi itu, segera tuntaskan Huntap yang jadi hak warga," tegas Atha.

Sementara kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan durasi waktu dua tahun telah berakhir sesuai dengan Inpres nomor 10 tahun 2018 tentang percepatan rehab-rekon pascabencana gempa dan tsunami di Provinsi Sulteng.

Menurut Atha Mahmud sudah semestinya ada upaya luar biasa dilakukan. Evaluasi menyeluruh dilakukan terhadap program rehab-rekon di Sulteng. Setelah Inpres Nomor 10 tahun 2018 telah berakhir masa berlakunya di tahun 2020 sebagai panduan yuridis dalam penanganan pasca bencana di Sulteng.

"Urgensi evaluasi menyeluruh dipandang penting sebab nampak nyata kegagalan dalam memenuhi tenggat waktu sebagaimana dipersyaratkan dalam Inpres Nomor 10 tahun 2018 tersebut. Tidak hanya pada siapa pihak yang bertanggungjawab di soal apa, tapi yang terpenting adalah tranparansi dan integritas dalam penyaluran triliunan rupiah alokasi anggaran negara," ujarnya.

"Kita tidak ingin triliunan anggaran negara yang telah dialokasikan menguap percuma tanpa dirasakan manfaatnya secara menyeluruh bagi warga korban bencana," ujarnya lagi.

Hal itu penting, karena, menurut Atha, sebab kita sadar betul setelah penanganan bencana alam pemerintah fokus pada penanganan bencana non alam, pandemi COVID-19.