Gubernur: jangan politisasi masalah bencana

id Gubernur sulteng,politisasi,karo humas

Gubernur: jangan politisasi masalah bencana

Karo Humas dan Protokoler Pemprov Sulteng Moh Haris Kariming (kedua kiri) saat mendampingi Gubernur Sulteng (kedua kanan) dan Dubes Prancis untuk Indonesia (kanan) meninjau fasilitas air bersih bantuan Prancis untuk korban bencana di Kota Palu belum lama ini. (Antaranews Sulteng/Humas Pemprov Sulteng)

"Jangan jadikan bencana sebagai panggung politik untuk meraup simpati," katanya
Palu (Antaranews Sulteng) - Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola meminta para politisi untuk tidak menjadikan bencana di Kota Palu, Sigi dan Donggala sebagai komoditas politik untuk mencari popularitas dengan menyalahkan pihak lain.

"Untuk para politisi, kami (pemerintah) memohon agar masalah kemanusiaan jangan dipolitisasi. Bencana bukan komoditas politik. Bencana ini butuh mereka yang punya empati dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Jangan jadikan bencana sebagai panggung politik untuk meraup simpati," katanya kepada wartawan melalui Kepala Biro Humas dan Protokoler Pemprov Sulteng Muh Haris Kariming, Senin. 

Gubernur mengemukakan himbauan itu menanggapi pernyataan seorang anggota Komisi I DPRD Sulteng Yahdi Basma pada sebuah media di Palu, Senin, yang menyebut Pemprov Sulteng bersikap absurd, tidak jelas dan mengacuhkan pengungsi terdampak gempa yang berada di Makassar dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Haris menegaskan bahwa Pemprov Sulteng dibantu seluruh pemerintah kabupaten dan Kota sedang berkonsentrasi mengurus pengungsi yang berada di area pengungsian di kabupaten dan kota terdampak bencana.

Mengenai penanganan pengungsi yang berada di luar Sulteng adalah kewenangan dari Kementerian Sosial dengan berkoordinasi Dinas Sosial kabupaten/kota tempat di mana pengungsi itu berada. 

Kemudian setiap kali rapat koordinasi, gubernur selalu memastikan bahwa ada penanganan terhadap pengungsi di luar daerah kepada pendamping Kemensos RI yang ditugaskan di Palu. Dari laporan-laporan itulah disusun rencana aksi bagaimana menangani pengungsi-pengungsi tersebut.

"Jadi tidak benar bahwa Pemprov Sulteng mengacuhkan pengungsi di luar daerah," tandas Haris.  

Selanjutnya, kata dia, berdasarkan laporan dari pemprov dan kabupaten/kota di mana pengungsi berada, maka disusunlah rencana aksi pemulangan mereka yang mau pulang, misalnya melalui bus penumpang umum atau kapal laut.

"Jadi, menurut kami, justru pemikiran Yahdi Basma itulah yang absurd dan tidak jelas. Bagaimana repotnya pemprov bila semua masyarakat pengungsi ke luar provinsi itu, yang rata-rata pulang kampung, itu harus dijenguk," tegas Haris.

Saat mereka yang selamat dan nyaman berada di tempat keluarganya masing-masing di kampung halaman, saudara-saudari mereka tetap bertahan dan berjuang hidup di Kota Palu, Sigi, dan Donggala melawan ketakutan, memulihkan trauma dan hidup bersama dalam pengungsian yang serba terbatas fasilitasya.

"Justru menurut kami, mereka (pengungsi ke luar provinsi-red) bersikap masa bodoh dengan saudara-saudari mereka yang bertahan di wilayah terdampak langsung bencana ini," katanya.

Kata Haris lagi, mereka yang pergi mengungsi ke kampung halamannya atau ke daerah lain atau ke luar negeri, ada yang tidak memberitahu tetangganya, Ketua RT, RW, kelurahan dan kecamatan, bahkan pemda, sehingga tidak diketahui keberadaan mereka dan tidak ada data warga yang mengungsi ke luar daerah.

Akan tetapi setelah keamanan semakin kondusif, kondisi sudah mulai membaik, baru mereka mau pulang dan ada yang meminta difasilitasi, meminta ongkos pulang memanfaatkan sumbangan kemanusiaan seperti yang disebut Yahdi Basma. 
 
Karo Humas dan Protokoler Pemprov Sulteng Moh Haris Kariming saat menghadiri acara Anugerah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Gedung MNC Jakarta, Sabtu (3/11). (Antaranews Sulteng/Humas Pemprov Sulteng)

Mana rasa empatimu?

"Sebagai manusia, wajarlah ketakutan itu datang menyergap saat berhadapan dengan bencana. Tapi kami juga mesti bertanya di mana empati, kemana simpati, di mana pula rasa prihatin mereka kepada saudara-saudari mereka yang juga tertimpa bencana yang sama tetapi memilih tetap bertahan di tempat pengungsian di Palu, Sigi dan Donggala," ujarnya.

Sementara itu, orang-orang dari seantero nusantara bahkan dunia internasional datang ke wilayah ini untuk membantu, menyokong dalam pemulihan darurat bencana. 

"Bila saja yang mengungsi keluar wilayah Palu adalah perempuan, anak-anak, orang tua jompo atau orang sakit, tentu bisa kita maklumi. Tapi yang keluar meninggalkan kita ini adalah mereka yang bisa kita pakai sumberdayanya menyokong saudara-saudara kita di sini," kata Haris lagi.

Ia menambahkan, 'Ketika saudara-saudari mereka hidup dalam pengungsian yang serba terbatas fasilitasnya, mereka aman dan nyaman di luar daerah. Sekali lagi di mana empatinya, di mana rasa prihatinnya. Lalu sekarang berkoar-koar di media massa dan media sosial.' 

Ketika pemerintah dan berbagai pihak bekerja keras sejak masa tanggap darurat hingga transisi menuju pemulihan, apakah yang sudah mereka buat? Cuma mengkritik, mengeluh atau memprotes. 

"Yang penting sekarang, kata Haris lagi, adalah membantu dan menyokong mereka yang terdampak bencana dengan tulus ikhlas.

Kami minta kembalilah ke Palu, Sigi dan Donggala. Tak usahlah saling menyalahkan dan merasa seolah-olah paling benar dan hebat menangani dampak bencana ini," ujarnya

Gubernur atas nama pemerintah provinsi dan pemerintah daerah terdampak gempa, tsunami dan likuifaksi ini mengucapkan terima kasih tak terhingga atas bantuan dan dukungan dari seluruh daerah di regional Sulawesi dan Indonesia bahkan masyarakat internasional.

"Mari kita bergandengantangan, membangun kembali daerah kita. Mari bangkit bersama-sama. Saling menguatkan," ujarnya. (Humas Pemprov Sulteng)
 
Gubernur Sulteng Longki Djanggola (kedua kanan) berdialog dengan seorang pengungsi korban bencana di tenda penampungan di Donggala, Rabu (17/10) (Antarasulteng/Humas Pemprov)