Akademisi IAIN Palu mendampingi bekas napi keluar dari stigma teroris

id wisdom institut,WI ,napiter,IAIN Palu,dr lukman s thahir

Akademisi IAIN Palu mendampingi bekas napi keluar dari stigma teroris

Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, Dr Lukman S Thahir MA (ANTARA/Muhammad Hajiji)

Palu (ANTARA) - Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, Dr Lukman S Thahir MA melakukan pendampingan terhadap tujuh bekas narapidana kasus terorisme, untuk keluar dari stigma teroris.

Mereka yang didampingi oleh Dr Lukman S Tahir ialah Hasanuddin atau dikenal dengan nama Ustad Hasan, Abdurahman Kalahe dan Tugiran. Kemudian Brur terlibat dalam kasus penembakan Jaksa Silalahi. Kemudian Aat terlibat dalam kasus bom Tentena. Amrin Yode juga kasus bom Tentena, Agus Jenggot, kasus mutilasi siswa.

"Yang kami harus lakukan dalam rangka menghilangkan stigma bahwa mereka itu teroris pascaterpidana, yang pertama saya mendorong mereka bekas napi untuk tidak peduli dengan perkataan orang tentang diri kalian," ucap Dr Lukman S Thahir, di Palu, Sabtu.

Dr Lukman yang juga Direktur Wisdom Institut Provinsi Sulteng mengatakan, pembangunan kepercayaan diri menjadi penting bagi bekas napiter. Hal itu karena, kebanyakan orang hanya terjebak pada label. Padahal, label yang diberikan kepada seseorang, belum tentu seperti itu adanya.

"Karena itu saya mendorong mereka agar tidak terpengaruh dengan anggapan-anggapan yang ada di masyarakat yang menyebut bahwa mereka adalah "teroris"," sebutnya.

Olehnya, Dr Lukman S Thahir mendorong para bekas napiter bahwa merekalah yang menentukan diri mereka sendiri, karena itu jangan terjebak dengan stigma di masyarakat.

"Yang lalu biarlah berlalu, anda (bekas napiter) harus mulai melakukan hal-hal yang baru," sebutnya

Lukman S Thahir yang merupakan Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Palu ini menyebut, terdapat tiga strategi atau tahapan untuk mendorong bekas napiter melakukan hal-hal baru, pascamereka keluar dari lembaga pemasyarakatan.

Tahap pertama, kata Lukman, yakni melebur diri bersama dengan bekas napiter sejak mereka masih berada di dalam lapas, untuk mengenal mereka secara dalam dan turut merasakan penderitaan mereka.

"Ini dalam rangka membangun kepercayaan. Nah, dalam upaya membangun kepercayaan itu, saya lebih membiasakan diri untuk lebih banyak mendengar apa yang menjadi keluh kesah mereka, ketimbang menggurui mereka," ujarnya.

"Biarkan dulu mereka berbicara, ibarat kata seperti orang yang mabuk dengan ideologi, biarkan dulu mereka muntahkan semua, lalu nanti dia akan merasa nyaman. Ini juga untuk membangun empati dan bersimpati terhadap mereka," ujarnya.

Proses ini membangun kepercayaan itu, akui Lukman, membutuhkan waktu kurang lebih 9 bulan,yang berlangsung di dalam lapas.

Agar bisa berkomunikasi dengan mereka, Dr Lukman yang juga Mantan Sekjen PB Alkhairaat, membawa nama Alkhairaat saat hendak menemui mereka di Lapas Petobo. Dari situ, ia menggunakan pendekatan budaya Poso, karena Dr Lukman juga merupakan pria asal Kabupaten Poso.

"Untuk membangun keakraban dengan mereka, saya mencari tau siapa nama panggilan kesayangan ibu mereka. Saya dapati itu, maka ketika bertemu saya sampaikan itu ke mereka. Dari situ, muncul anggapan dari mereka bahwa, orang ini bukan orang lain," ungkapnya.

Tahap kedua, yaitu membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh bekas napiter pascakeluar dari lapas. Di antaranya yakni mengembangkan keterampilan-keterampialn apa yang bisa dilakukan bekas napiter.

"Upaya ini untuk membangun ekonomi mereka pascakeluar dari lapas. Banyak permintaan bantuan kepada saya, yang sesungguhnya di luar dari kesanggupan saya. Misalnya Ustad Hasan, istrinya ingin menjual nasi goreng. Nah, untuk menjual nasi goreng tentu membutuhkan peralatan dan gerobak, termasuk kursi dan meja serta tendanya. Nah ini membutuhkan dana sekitar Rp30 juta," ungkap Dr Lukman.

Sebagai seorang akademisi yang tentu memiliki keterbatasan pendapatan. Hal itu tidak dapat disanggupi secara materi oleh Dr Lukman. Namun bukan berarti bahwa Dr Lukman patah lepas tangan. Setelah melakukan identifikasi kemampuan keterampilan, dirinya berupaya membangun jaringan dengan berbagai pihak, agar pengembangan keterampilan bekas napiter bisa direalisasikan.

"Dan Alhamdulillah ada orang yang membantu Ustad Hasan, dan usaha itu berjalan hingga saat ini," ungkap dia.

"Jadi, setelah membangun kepercayaan, melebur dengan mereka, mengambil hati mereka, lalu memecahkan masalah mereka karena hidup ini butuh makan. Karena itu kembangkan keterampilan mereka," tambahnya.

Setelah membantu memecahkan masalah, kemudian dilakukan pendampingan pada tahap ketiga yaitu mengubah ideologinya.

"Kami mulai sisir satu demi satu pemahaman mereka, orang kalau sudah percaya dengan kita tanpa kita sentuh ideologinya dia sendiri akan berubah," sebutnya.

Dengan begitu, kata dia, bekas napiter mengikuti pola-pola interaksi beragama yang dilakukan oleh Dr Lukman S Thahir.

Lukman menyarankan, langkah pendampingan tersebut terhadap bekas napiter perlu dikembangkan oleh BNPT lewat program deradikalisasi.