Indonesia disebutkan bisa jaga pasokan mineral kritis global

id mineral kritis,teknologi hijau

Indonesia disebutkan bisa jaga pasokan mineral kritis global

Eskavator beraktivitas di kolam penampungan lumpur lapindo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (22/1/2021). Berdasarkan survei dan kajian Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur mengandung potensi mineral logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth element (REE). Antara Jatim/Umarul Faruq/zk.

Yogyakarta (ANTARA) - Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Himawan Tri Bayu Murti Petrus menyebut Indonesia berpeluang menjadi penjaga rantai pasok mineral kritis global untuk kebutuhan teknologi hijau.

Himawan dalam keterangan resmi UGM di Yogyakarta, Rabu, mengatakan gesekan geopolitik antara Tiongkok dan negara barat berpotensi menyebabkan kekacauan rantai pasok mineral kritis global.

"Posisi Indonesia sebagai blok netral dengan kekayaan mineral yang dimiliki dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pemain global untuk memenuhi rantai pasok mineral-mineral tersebut," kata dia.


Saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pengolahan Bahan Mineral Fakultas Teknik UGM, Himawan mengatakan Indonesia memiliki kekayaan dan berkah alam dalam bentuk mineral, antara lain batuan laterit dengan jumlah besar di wilayah Sulawesi.

Potensi nikel, kobalt, mangan, bauksit, timah dengan grade terbaik di dunia juga tersebar di wilayah Indonesia.

Sementara, beberapa mineral kritis yang dibutuhkan untuk produksi baterai, kata dia, antara lain litium, nikel, kobalt, mangan, grafit, dan silikon.

Unsur lain yang cukup penting untuk diperhatikan, kata dia, yakni logam tanah jarang (LTJ) seperti lantanum, serium, neodimium, praseodimium, skandium yang banyak digunakan sebagai aditif dan unsur penguat dalam peningkatan efisiensi dan kinerja teknologi hijau.

Menurut dia, sebagian besar unsur mineral kritis rawan gangguan, baik gangguan secara politis, sosial, ekonomi, dan geopolitik.

Unsur grafit, silikon, mangan, dan LTJ misalnya, rawan dari segi rantai pasokan akibat monopoli oleh Tiongkok yang memegang 73 persen suplai grafit untuk baterai, 64 persen suplai silikon, 94 persen suplai mangan untuk baterai, dan 85 persen suplai LTJ.

Karena itu, menurut Himawan, eksplorasi sumber primer dan sekunder mineral kritis dan strategis di Indonesia perlu menjadi perhatian, termasuk kemandirian hilirisasi dalam meningkatkan nilai tambah dari potensi mineral yang ada.

Menurut dia, diperlukan paradigma baru dalam pengelolaan bahan mineral yang didasarkan atas aspek keberlanjutan, yaitu konsepsi "zero waste" dan ekonomi sirkular.

"Hal ini tentunya menghasilkan kemandirian pada rantai pasok domestik yang sangat kuat, sehingga dapat mengurangi dampak akibat ketidakstabilan rantai pasok global," kata dia.