Spritual Kurban

id Idul Adha, Kurban

Kedua ritualitas ibadah ini, selain berdimensi vertikal yang akan diganjar oleh Allah SWT dengan balasan yang sangat besar dan mulia juga berdimensi horizontal, sebagai ibadah untuk menakar karakter kemanusiaan para aghniya dalam berbagi kebaikan ant
Allah memberikan keistimewaan pada bulan Dzulhijjah karena di dalamnya terkandung perintah untuk melaksanakan dua spritualitas ibadah, yaitu berhaji dan berkurban. 

Syariat Islam juga menegaskan bahwa Idul Adha merupakan hari raya yang mengandung nilai spritualitas dan historisitas yang sangat mendalam, khususnya dalam prosesi ibadah haji. 

Pada hari Idul Adha 10 Dzulhijjah, jamaah haji berkumpul di Padang Arafah untuk melaksanakan Wukuf dan seluruh umat Islam berkumpul di masjid atau lapangan untuk melaksanakan sholat Idul Adha. 

Kedua ritualitas ibadah ini, selain berdimensi vertikal yang akan diganjar oleh Allah SWT dengan balasan yang sangat besar dan mulia juga berdimensi horizontal, sebagai ibadah untuk menakar karakter kemanusiaan para aghniya dalam berbagi kebaikan antara sesama manusia. 

Kedua ritualitas ibadah ini mengenangkan umat Islam pada perjalanan spritualitas seorang kekasih Allah SWT yang sangat taat, yaitu Nabi Ibrahim as dalam mengurbankan buah hati-belahan jiwa, putra satu-satunya generasi penerus yang sangat lama dinanti-nantikan karena semata-mata untuk melaksanakan ketaatan atas janji suci yang diikrarkannya (nadzar) pada Allah SWT.

Rangkaian peristiwa penyembelihan putranya, Ismail as dari satu tempat ke tempat lain di Padang Arafah sejak Yaum al-Tarwiyah tgl 8 Dzulhijjah, Yaum al-Arafah tgl 9 Dzulhijjah, Yaum an-Nahr tgl 10 Dzulijjah, dan Yaum al-Jumrah tgl 11 sampai 13 Dzulhijjah merupakan simbo-simbol spritualitas kenabiaan dari keluarga Nabi Ibrahim as yang dibakukan oleh Allah menjadi bagian dari syariat Islam, khususnya dalam prosesi ibadah haji. 

Secara historis, tradisi kurban sudah ada sejak zaman pra Islam. Masyarakat Arab  Jahiliyah berkurban atas nama Tuhan dengan menyiramkan darah binatang yang disembelih ke dinding Ka’bah dan dagingnya dilemparkan ke depan pintu Ka’bah, sebab mereka beranggapan bahwa Tuhan akan menerima darah dan daging itu dengan cara tersebut. 

Dari konteks sosial budaya yang menjadi tradisi Arab Jahiliyah tersebut, maka Allah menurunkan QS. al-Haj ayat 37 untuk memperbaiki konsep dan tata cara pelaksanaan ibadah kurban bagi umat Islam sesuai firman Allah yang artinya: Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan mencapai keridhaan Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. 

Pada zaman Rasulullah, Idul Adha merupakan hari raya shadaqah bagi para sahabatnya. Diceritakan bahwa seluruh  jamaah menyerahkan apa yang dimilikinya, bahkan kaum wanita menyerahkan perhiasan yang mereka cintai. 

Kata kurban, dilihat dari makna bahasa berarti pemberian sesuatu untuk menyatakan kebaktian dan kerelaan. Sedangkan kurban menurut syara’ dijelaskan oleh Prof. Farid Wadjdi dalam bukunya “Daratul Ma’arif Qarnil Isyrin”, yaitu: Apa yang diberikan oleh manusia dari harta benda dan binatang ternak dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah. 

Sebagian ulama berpendapat bahwa melaksanakan kurban hukumnya wajib berdasarkan QS. Al-Kautsar ayat  2: Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkurbanlah untuk mendekatkan diri pada Allah. 

Namun, kesepakatan (jumhur) ulama menetapkan bahwa hukum pelaksanaan kurban itu adalah sunnah mua’kad, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan dan lebih besar pahalanya dari sunnah biasa. Karena tinggi derajad kurban di sisi Allah yang hampir mendekati hukum wajib, sehingga Rasulullah menegaskan dalam haditsnya:

Barangsiapa yang mendapatkan kelapangan untuk berkurban, lalu ia tidak mau berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat  sholat kami.

Kurban menjadi bukti ketaatan seorang muslim kepada Allah melalui penyembelihan hewan ternak, sebab darah dan daging hewan kurban tidak akan sampai pada Allah, hanya ketaatanlah yang akan diterima oleh Allah Swt. 
Penyembelihan hewan kurban dilakukan pada hari Idul Adha dan hari Tasyriq tgl 11 sampai 13 Dzulhijjah dengan ketentuan 1 ekor kambing untuk 1 orang dan 1 ekor sapi/kerbau/unta untuk 7 orang dan daging kurban langsung dibagikan terutama pada fakir miskin, orang-orang terlantar, dan boleh diambil sedikit oleh orang yang berkurban.

Kurban juga disebut ibadah amaliyah yang dapat mengharmoniskan hubungan sosial antara sesama muslim dan pahalanya yang sangat besar disediakan Allah kelak di akhirat. Rasulullah Saw mengatakan bahwa: “tetesan darah dan bulu-bulu hewan yang dikurbankan akan menjadi tebusan dosa bagi orang yang berkurban.”

Pelaksanaan ibadah haji dan kurban yang dilaksanakan setiap tahunnya diabadikan Allah Swt dari nilai-nilai historisitas perjalanan kehidupan nubuwwah Nabi Ibrahim as bersama keluarganya. 

Dalam kisah kehidupan keluarga Nabi Ibrahim as disebutkan bahwa ketika Nabi Ibrahim as mendapatkan perintah Allah untuk pergi dari Makkah ke Palestina, ia harus meninggalkan isteri dan anaknya Ismail as yang masih bayi di dataran tandus gersang, disana mereka tidak mempunyai  sanak saudara, kerabat, kenalan, bahkan tidak ada air dan makanan. 

Isterinya, Siti Hajar sembari menyerahkan seluruh kehidupannya pada sang Khalik mengajukan pertanyaan kepada suaminya: Ya Ibrahim, kekasih Allah; engkau hendak pergi ke mana? Apakah engkau akan meninggalkan kami, isteri dan anakmu di tempat yang gersang ini? Tiga kali Nabi Ibrahim as mendengar pertanyaan itu dari isterinya tanpa mampu memberikan jawaban, kecuali dengan sorotan mata kesedihan dan penuh kasih sayang. 

Akhirnya, dengan bimbingan Allah Nabi Ibrahim menjawab sesuai dengan ungkapan QS. ash-Shaffat ayat 99-101: Dan berkatalah ia; Sesungguhnya Aku akan pergi kepada Tuhan-ku. Dia akan memimpinku; Ya Allah karunikanlah hamba anak yang shaleh. 

Maka Kami bahagiakan dia dengan anak yang penyabar. 
Mendengar jawaban ini, isterinya Siti Hajar merasa lega dan berkata; pergilah  engkau menghadap Allah, jangan ragu lagi dan kami rela ditinggalkan untuk memenuhi perintah Allah Swt.

Dari rangkaian perjalanan historis keluarga  Nabi Ibrahim as di atas dapat dipahami bahwa sebagai suami, Nabi Ibrahim as berani menempuh liku-liku hidup yang amat garang dan keras, pergi bolak balik antara Makkah dan Palestina yang pada zaman itu hanya dapat ditempuh dengan menggunakan binatang atau berjalan kaki. 

Semua pengorbanan itu ditunjukkan Nabi Ibrahim as kepada isteri dan anaknya kesayangan untuk menjalankan ketaatan dan perintah dakwah yang diberikan Allah di daerah Palestina. 

Sebagai seorang isteri, Siti Hajar rela ditinggalkan oleh suami yang sedang menjalankan dakwah menyebarkan nilai kebenaran agama Allah. Siti Hajar juga rela melepaskan tambatan hati, anak tercintanya Nabi Ismail as untuk dijadikan hewan kurban oleh suaminya demi ketaatannya kepada Allah Swt.

Ismail as sebagai anak yang taat pada Allah dan orangtuanya, dengan ikhlas dan berani mengorbankan dirinya sebagai martir membela kebenaran perintah Allah yang diterima ayahandanya. 

Dengan penuh keyakinan, kesungguhan, dan keberanian, Ismail as mendorong  ayahnya agar yakin dan tidak ragu menjalankan perintah Allah Swt untuk menyembelih dirinya. Bahkan Ismail melempar syaithan yang menggodanya agar menolak keinginan ayahandanya untuk menyembelih dirinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS, As-Shaffat ayat 102, yaitu: Wahai ayahanda, kerjakan apa yang diperintahkan Allah kepada ayahanda. Insya Allah, ayahanda akan mendapatkan saya dalam golongan orang-orang yang sabar.

Keberanian berkurban dari tiga serangkai keluarga Nabi Ibrahim as membuahkan hasil yang sangat besar berupa ketabahan dan kebahagiaan yang abadi di sisi Allah, sebab semua tahapan peristiwa pengurbanan mereka diabadikan oleh Allah Swt menjadi rangkaian ibadah haji yang dilaksanakan setiap tahun oleh umat Islam dari seluruh dunia dan diabadikan Allah Swt sebagai salah satu nama surah dalam al-Qur’an. 

Apa nilai pendidikan yang dapat kita petik dari historisitas pengurbanan Nabi Ibrahim as bersama keluarganya? Dari kisah tersebut nampak jelas bahwa kecintaan Nabi Ibrahim kepada isteri dan anaknya, kecintaan Siti Hajar kepada anaknya, dan kecintaan Ismail as pada kedua orangtuanya tidak ada artinya dibandingkan dengan kecintaan dan ketaatan mereka pada Allah Swt. 

Kisah ini menjadi pelajaran bagi umat Islam agar tidak tertipu oleh sesuatu yang bersifat kebendaan duniawi yang dicintai, sehingga melupakan ketaatan, kewajiban, dan ketentuan agama Allah, sebagaimana firman-Nya dalam QS, al-Anfal ayat 28, yaitu: Dan ketahuilah, bahwa harta kalian dan anak-anak kalian adalah ujian. Atau Jangan karena harta dan anak-anak kalian melalaikan Allah Swt.

Karena itu, tidak mengherankan jika dalam kehidupan ini, ketika kita sukses meraih kekayaan harta benda, anak-anak, dan kedudukan, maka muncullah berbagai tuntutan kehidupan yang terkadang dapat menggiring kita pada perbuatan yang menyimpang dari ketaatan dan kepatuhan terhadap ketentuan agama Allah Swt.

Romantika kehidupan ini telah menjadi sunnatullah, manakala semakin tinggi tempat yang kita naiki, maka semakin banyak pemandangan yang belum dilihat. Karenanya, semakin besar energi yang dibutuhkan untuk mendaki tempat itu. 

Artinya, semakin sukses seorang muslim meraih harta benda, anak, dan kedudukan, maka semakin besar kecintaanya untuk berkurban memenuhi berbagai fasilitas kehidupan keluarganya. 

Dalam kondisi seperti ini, maka dibutuhkan spritualitas dan komitmen beragama yang kuat berupa; keimanan, kesabaran dan ketabahan menghadapai berbagai kekurangan material yang mungkin terjadi, tidak menempuh cara-cara yang melanggar agama Allah Swt sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim as dan keluarganya yang hidup di tengah padang pasir yang serba kekurangan, bahkan sekedar untuk minumpun harus berlari kesana kemari tanpa kepastian dari mana harus mendapatkan sumber kehidupan, yaitu air minum untuk Ismail yang masih bayi.

Perjuangan Siti Hajar dengan penuh kesabaran diiringi dengan doa kepada Allah agar diberikan jalan kehidupan membuahkan hasil, yaitu Allah memberikan sumber kehidupan berupa air zam-zam yang keluar dari bekas gesekan telapak kaki Ismail di atas pasir, dan air kehidupan ini dapat dinikmati oleh umat Islam sampai hari ini. Wallahu’alamu bishawab.


*Penulis adalah dosen FTIK IAIN Palu dan Mahasiswa program doktoral konsentrasi PAI Multikultural UNISMA Malang