Mahasiswa Halsel minta revisi wilayah usaha pertambangan

id ESDM

Mahasiswa Halsel minta revisi wilayah usaha pertambangan

Sejumlah mahasiswa tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Halsel, menggelar aksi terkait kunjungan empat Menteri ke perusahan industry di Pulau Obi, Rabu meminta Kementerian ESDM merevisi Wilayah Usaha Pertambangan (WUP). ANTARA/Abdul Fatah

Ternate (ANTARA) - Sejumlah mahasiswa tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Halsel, Maluku Utara, menggelar aksi terkait kunjungan empat menteri ke perusahaan industri di Pulau Obi, Rabu, meminta Kementerian ESDM merevisi Wilayah Usaha Pertambangan (WUP).

Ketua Umum PMII Halsel, Muhlis Usman dalam orasinya menyatakan, berdasarkan data one map Indonesia, sebagian besar Pulau Obi berada pada WUP.

Dengan demikian, desa-desa di Obi berpotensi terancam ruang hidupnya oleh pencaplokan IUP Tambang, sesuai pasal 1 ayat 30 UU No 3 tahun 2020 menyebut WUP adalah bagian dari Wilayah Pertambangan (WP) yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dana atau informasi geologi.

Menurutnya, status WUP di Obi, corporat domestik maupun international bisa urus IUP kaplingan tambang, data yang dihimpun sementara, terdapat IUP produksi baik itu IUP mineral logam/nikel seperti IUP Produksi PT Obi Anugrah Mineral, IUP PT Intim mining Sentosa, IUP PT Jikodolong Mega Pertiwi, IUP PT Obi Putra Mandiri, IUP PT Aligafari Wildan Sejahtera, IUP PT Wanatiara Persada, IUP PT Rimba Kurnia Alama, IUP PT Trimega Bangun Persada, IUP PT Gane permain Sentosa, IUP PT Bela Kencana, IUP PT Bela Sarana Permai, maupun IUP emas seperti IUP PT Amasing Tabara.

Sehingga, dengan banyaknya IUP Produksi tambang di atas, maka masyarakat Obi berpotensi terkena rantai penyingkiran oleh industri pertambangan, kalau Pulau Obi mau dijadikan industri pertambangan misalnya, masyarakatnya yang berbasis tani dan nelayan mau diapakan, sampai saat ini tidak kelihatan misalnya penkondisian sosial masyarakat Obi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri oleh kebijakan grand plan pemerintah pusat maupun daerah, di angkatan kerja misalnya hingga saat ini program BLK masih terbatas soal fasilitas gedung dan jurusan.

Selain itu, pekerja nonskil hanya menjadi permainan orang-orang kuat tingkat desa dan di atasnya yang punya koneksi ke HRD perusahan, belum lagi pengelolaan CSR yang tidak jelas arahnya, harusnya ada perda atau perbup CSR.

Begitu pula, untuk pendidikan misalnya tidak ada grand plan mengkoneksikan antara perguruan tinggi, industri dan sumber daya alam, di Obi lebih banyak lulusan SMA masuk tambang ketimbang masuk universitas, dengan demikian bisa saja menurunya IQ masyarakat Obi walaupun dikelilingi oleh laut yang menyuplai protein tetapi lautnya juga berpotensi tercemar limbah.

Turunnya IQ karena keterputusan tingkat pendidikan juga akan berefek pada menurunnya indek demokrasi, demokrasi itu adalah system rasional, harus dijalankan oleh manusia yang rasional, yang rasional itu hanya bisa dijalankan oleh keterdidikan yang tak terputus antara sekolah sampai perguruan tinggi, sekarang saja menguatnya politik identitas/suku apa lagi ke depanya.

Dengan demikian tidak ada grand plan terkait lompatan tinggi pembangunan ekonomi ke depan, yang ada cuma kalkulasi menambal APBN dan APBD dari sektor pertambangan, tetapi kemanusiaan alam dan sekitarnya tidak di pikirkan, padahal Pulau Obi telah dihuni bahkan sebelum state ini terbentuk.