Tradisi "Montibu" sambut Wakil Presiden di Poso

id poso,budaya,wapres,jusuf,kalla

Tradisi "Montibu" sambut Wakil Presiden di Poso

Tradisi Montibu yakni memukul-mukul air menggunakan tongkat bambu dari atas perahu untuk menangkap ikan yang dilakukan Aliansi Penjaga Danau Poso, Rabu (25/7) (www.sulteng.antaranews.com/Istimewa)

... tradisi ini mengirimkan pesan kepada Wapres Jusuf Kalla, serta para petinggi negara dan daerah itu untuk menjaga Danau Poso dari ancaman kerusakan.
Poso, (Antaranews Sulteng) - Sebanyak 60 warga dari beberapa desa di pinggiran Danau Poso yang tergabung dalam Aliansi Penjaga Danau Poso melakukan Tradisi Montibu untuk menyambut Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kunjungan ke Tentena, di Poso, Rabu.

Tradisi Montibu, yakni memukul-mukul air menggunakan tongkat bambu dari atas perahu untuk menangkap ikan. Namun acara mereka kali ini bukan untuk menangkap ikan, tetapi mengingatkan warga dan mengirimkan pesan kepada Wapres Jusuf Kalla, serta para petinggi negara dan daerah itu untuk menjaga Danau Poso dari ancaman kerusakan.

Aksi teater budaya itu dilakukan menyampaikan pesan dan menolak rencana pengerukan mulut Danau Poso sedalam 2,3 meter, selebar 40 meter, dan sepanjang 12,8 kilometer untuk kepentingan memutar turbin air bagi perusahaan PT Poso Energy.

"Saya bangga dan terharu, masyarakat menyambut aksi kita begitu antusias. Artinya mereka mendukung kita. Namun ini bukan aksi terakhir, kita masih akan terus berjuang dengan jalan kebudayaan untuk mempertahankan danau kita," kata pegiat Aliansi Penjaga Danau Poso Yanis Moento.

Aksi dimulai dari lokasi situs Watu Mpangasa Angga dengan perahu-perahu yang dilengkapi bendera dengan tanda pagar "#Penjaga Danau Poso" menuju jembatan tua Pamona dengan diiringi Karambanga, musik khas Poso.

Baca juga: Wapres Jusuf Kalla tiba di Poso

Sepanjang perjalanan yang berjarak sekitar 2,5 kilometer itu, teriakan "Oohaiyo", dijawab seruan "Pakaroso" terus terdengar.

Perahu Yanis Moento sebagai pemimpin rombongan berjalan paling depan sambil terus memukul (montibu) air.

Aksi Montibu bertepatan dengan dua momentum besar, yang pertama kedatangan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan kedua Konvensi Pendeta GKST yang dipusatkan di Banua Mpogombo, di pinggir Danau Poso.

Tradisi Montibu, menurut Hajai Ancura, pegiat lainnya Aliansi Penjaga Danau Poso, untuk mengingatkan para pemimpin agama untuk menjaga Danau Poso.

Panca, anggota Aliansi Penjaga Danau Poso, mengatakan Montibu kali ini juga mengingatkan masyarakat tentang pentingnya menjaga tradisi-tradisi warisan leluhur yang membuat Danau Poso tetap bertahan seperti saat ini.

Usai mereka melakukan Tradisi Montibu, para peserta kembali melanjutkan aksinya dengan berjalan kaki melintasi beberapa titik di Kelurahan Pamona dan Sangele. Dari kawasan Yosi, peserta berjalan berpasangan sambil membawa bendera "#Penjaga Danau Poso" menuju ke jembatan tua Pamona, ke taman kota, lalu kembali ke Yosi.

Sambil berjalan, peserta membagi-bagikan kartu dukungan bagi gerakan pelestarian Danau Poso kepada masyarakat yang mereka temui.

Aksi Montibu dan jalan kaki ini merupakan bagian dari penolakan terhadap rencana pengerukan mulut sungai Danau Poso dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan air turbin-turbin raksasa dari tiga pembangkit listrik, yakni Poso 2 yang berkapasitas 169 megawatt (MW) dan Poso 1 berkapasitas 120 MW. Adapun Poso 3 rencananya segera dibangun dengan kapasitas 300 MW.

Baca juga: Wapres JK apresiasi kehidupan beragama di Poso

Penolakan atas rencana itu karena pengerukan itu akan menghilangkan beberapa tradisi yang hidup di dalamnya, di antaranya "Waya Masapi" alias alat tangkap sidat yang sudah dikenal masyarakat Pamona sejak seratusan tahun lalu.

Sejumlah tradisi itu, antara lain Tradisi Monyilo, yakni menombak ikan pada malam hari di area yang akan dikeruk itu, Tradisi Mosango atau menangkap ikan beramai-ramai menggunakan alat yang terbuat dari rajutan lidi enau atau bambu yang diikat dengan rotan bernama Sango.

Dalam rencana pengerukan itu, ada barter yang diberikan perusahaan kepada pemerintah setempat yang sudah mendukung pengerukan tersebut dengan membangun taman air di kawasan seluas 26 hektare yang dikenal oleh masyarakat Tentena sebagai Kompo Dongi.

"Di lokasi inilah Tradisi Mosango dilaksanakan turun-temurun," ungkap Hajai Ancura.

Ia mengatakan seiring dengan hilangnya tradisi itu, hilang pula mata pencaharian nelayan kecil yang menggantungkan hidup dari Monyilo dan Waya Masapi.

Selain itu masih ada lagi kelompok masyarakat yang akan kehilangan pencaharian, yakni penambang pasir tradisional di Kelurahan Petirodongo.