Petani sawit Rio Pakava: dulu kami putus asa tinggal di sini

id Donggala,Rio Pakava,PT. Mamuang,Sawit

Petani sawit Rio Pakava: dulu kami putus asa tinggal di sini

Sejumlah petani sawit di Desa Polando Jaya Kecamatan Rio Pakava Kabupaten Donggala mengabadikan momen di salah satuh lawah sawit milik petani di sana. Di lahan tersebut juga dibangun gedung sarabg wale milik salah salah satu petani , Mansur. Biaya pembangunan gedung sarang walet tersebut diperolah dari hasil jerih payahnya bertani saait sejak 2006 (Antaranews Sulteng/Muh. Arsyandi)

Palu (Antaranews Sulteng) - Keberhasilan warga 14 desa di Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala dalam bercocok tanam sawit tidak lepas dari lika-liku perjalanan hidup dan perjalanan waktu pembangunan di kecamatan terluas sekaligus daerah transmigrasi yang terpencil di Sulawesi Tengah itu.

Tahun 1991 saat kawasan seluas 17.014,14 kilometer persegi itu ditetapkan sebagai daerah transmigrasi yang dihuni oleh sebagian besar warga asal Jawa, Bali dan Bugis, Rio Pakava hanyalah sebuah kawasan lahan rawa.

"Di sini lalu rawa-rawa mas. Kalau mau menyeberang ke desa lainnya atau ke Kota Donggala dan Palu, kami  harus berenang atau naik perahu menyeberang sungai ke Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat," kata  warga yang juga petani sawit I Ketut Putra Widarsa saat sejumlah jurnalis berkunjung ke rumahnya di Desa Polanto Jaya, Kecamatan Rio Pakava, Selasa (19/2) sore.

Widarsa bercerita saat itu kondisi perekonomian warga di kecamatan yang dulunya bernama Lalundu tersebut sangat memprihatinkan. Hasil bercocok tanam yang dilakukan saat itu sebagian besar hanya bisa untuk makan dan minum.

Bahkan Widarsa mengaku bahwa ia dan warga lainnya sudah putus asa hidup di daerah tersebut dan berniat meninggalkan kawasan yang rawan banjir itu karena sulitnya memperoleh uang di sana. Namun beberapa warga lainnya menahan dan menyatakan agar bersabar.

Waktu itu, kata Widarsa, hampir semua warga menggantungkan hidup dengan usaha bercocok tanam kakao, jeruk, langsat, durian dan sawah. Saat itu sawit masih terdengar asing di telinga mereka.

"Waktu itu belum ada sawit. Kami menanam kakao. Ada juga yang bersawah tapi semua rugi. Pohon kakao kering dan sawah gagal panen karena tanahnya rawa. Berair sekali. Waktu itu tanahnya lembek sekali kalau diinjak," cerita Widarsa yang telah belasan tahun bertani sawit.

Bahkan saking lembeknya tekstur tanah saat itu, warga dapat mengetahui keberadaan seseorang dari jarak beberapa ratus meter hanya dari rumah panggung mereka. Sebab saat berjalan di atas permukaan tanah tersebut , tanah di sekitarnya juga akan ikut bergoyang termasuk rumah-rumah panggung di sana juga ikut bergoyang.

"Makanya kalau rumah dulu goyang-goyang seperti gempa berarti ada orang berjalan di sekitar sini," lanjut Widarsa.
 
Sejumlah petani sawit Rio Pakava berbincang dengan jurnalis yang mengunjungi daerah itu, Selasa (19/2) (Antaranews Sulteng/Arsyandi)

Mengenal sawit

Widarsa dan ribuan warga baru mulai mengenal sawit pada 1997. Kala itu PT. Mamuang, anak perusahaan Astra Agro Lestari Group mengajak warga di sana agar beralih menanam sawit karena pohon sawit sangat cocok ditanam di sana.

Sejak awal tahun 2000 an setelah betul-betul merasa yakin, barulah widarsa dan warga lainnya mulai menamam sawit dan ternyata keputusan yang mereka ambil itu tidak salah.

"Kalau dulu pak yang punya sepeda motor itu masih bisa dihitung. Hanya satu dua orang saja. Sekarang satu orang satu motor. Saya juga sudah bisa sekolahkan anak-anak hingga kuliah dari hasil sawit ini," jelas Widarsa.

Hal yang hampir sama diceritakan Mansur, petani sekaligus ketua kelompok petani sawit di Desa Karya Mukti, Kecamatan Rio Pakava.

Awalnya Mansur enggan untuk beralih menanam sawit meski pihak perusahaan telah melakukan berbagai cara untuk membujuk dan meyakinkan Mansur sebab saat itu sawit di matanya tidak punya nilai apa-apa.

"Waktu itu saya anggap sawit itu apa juga. Tidak ada gunanya kalau saya tanam. Namun karena pihak PT. Mamuang selalu mengajak dan meyakinkan saya, saya dan teman-teman warga di sini memutuskan mencoba mentanam sawit dan ternyata pohonnya cocok ditanam di sini," ucap Mansur.

Kini Mansur memiliki 25 hektare lahan sawit yang hasil bersihnya setiap bulan rata-rata Rp25 juta. Bahkan Mansur telah mempekejakan beberapa orang di lahan sawit miliknya sebagai buruh lepas. Mereka dipekerjakan untuk menjaga dan merawat agar pohon-pohin sawit di sana bebas dari serangan hama. 

Bila masa panen tiba, warga yang dipekerjakan untuk memanen buah sawit juga semakin banyak sehingga pengangguran di 14 desa di kecamatan tersebut boleh dikata tidak ada.

"Alhamdulillah dari hasil menanam sawit ini saya sudah bangun lima gedung sarang walet," ujar Mansur bersyukur.

Cerita yang sama juga disampaikan I Ketut Sumatera, petani sawit dari Desa Polando Jaya yang kini hidup berkecukupan berkat hasil kebun sawit.
 
Community Development Officer (CDO) PT. Mamuang Teguh Ali (ke dua dari kanan) memberikan klarifikasi atas tuduhan oknum yang petani sawit yang bernama Frans yang mengaku dikriminalisasi PT. Mamuang akibat memanen sawit di lahan sawit milik PT. Mamuang yang kemudian diklaim miliknya. (Antaranews Sulteng/Muh. Arsyandi)

Mobil mewah

Menurut Sumatera, tidak sedikit warga di daerah tersebut yang kini mampu membeli mobil mewah, membangun rumah mewah, dan menyekolahkan anak-anaknya hingga bangku kuliah.

"Saya sendiri sudah punya satu mobil pribadi, satu mobil truk pengangkut buah sawit. Keuntungan yang bisa saya dapat sekitat Rp20 juta setiap bulan," ucap Sumatera.

Community Development Officer (CDO) PT. Mamuang Teguh Ali menjelaskan bentuk kerja sama yang dibangun PT. Mamuang dengan para petani di Kecamatan Rio Pakava yaitu membeli buah sawit milik mereka.

PT. Mamuang  tidak pernah menolak buah sawit yang mereka jual kecuali kualitasnya tidak memenuhi kriteria seperti busuk.

"Kami juga membentuk kelompok tani sawit yang beranggotakan petani sawit di sana. Melalui 11 kelompok tani sawit yang ada mereka kita beri pelatihan seputar sawit seperti cara meningkatkan produksi buah sawit dan menjaga agar pohoh sawit tidak terserang hama," jelas Teguh.

Selain itu pihak perusahaan juga selalu memberi pendampingan kepada para petani dan mencarikan solusi terhadap setiap permasalahan yang dialami petani berkaitan dengan sawit.

"Perusahaan juga sudah membangun infrastruktur jalan di sini. Bayangkan saat pemerintah Kabupaten Donggala belum sanggup mambangun jalan dari Rio Pakava menuju Donggala, kami sudah membangunkan mereka jalan lewat Pasangkayu," kata Teguh.

Selain PT. Mamuang, sejumlah anak perusahaan Astra Agro Lestari Group yang menjalin kemitraan dengan petani sawit di Kecamatan Rio Pakava adalah PT. Letawa, PT. Pasangkayu dan PT. Lestari Tani Teladan.

Perusahaan-perusahaan ini tak hanya bergerak di perkebunan tetapi juga pabrik pengolahan minyak sawit yang produksinya dikapalkan langsung ke berbagai negara dan kota di Indonesia melalui pelabuhan klhusus di Pasangkayu, Sulawesi Barat.

Perusahaan-perusahaan ini juga mengeluarkan dana miliaran rupiah setiap tahun untuk kegiatan sosial kemasyarakatan dengan fokus utama yakni sektor pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup.
 
Kapal-kapal tangker minyak sawit (CPO) antre menunggu pengisian CPO untuk diekspor langsung ke negara tujuan dari Pelabuhan Khusus milik AAL Group di Pasangkayu, Selasa (17/2) (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha) (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha/)