Bali Perlu Bentuk Subak Abadi Dukung WBD

id subak, bali

Bali Perlu Bentuk Subak Abadi Dukung WBD

Beberapa wisatawan mancanegara berwisata ke sawah dengan sistem pengairan Subak di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali. Subak merupakan upaya menjaga kelestarian lingkungan. (ANTARA/Nyoman Budhiana)

Denpasar, (antarasulteng.com) - Pengakuan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) yang menjadikan subak sebagai warisan budaya dunia (WBD), memerlukan langkah strategis.

Langkah strategis itu untuk menjadikan sistem pengairan tradisional bidang pertanian di sejumlah kawasan di Bali bisa segera ditetapkan menjadi sawah abadi sehingga keberadaannya tetap dapat dilestarikan.

"Penetapan menjadi subak abadi, khususnya di Kabupaten Gianyar dan Tabanan sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) No.9 tahun 2012," tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia.

Guru besar Fakultas Pertanian Unud yang juga Sekretaris Tim Penyusunan Proposal WBD itu menjelaskan, lahan sawah yang harus dilindungi untuk menopang keberadaan warisan budaya dunia itu sekitar 1.000 hektare.

Oleh sebab itu Pemerintah Provinsi Bali maupun pemerintah kabupaten dan kota hendaknya segera menetapkan sawah-sawah abadi tersebut, sebagai upaya menjaga kesinambungan lahan pertanian dan mempertahankan swasembada pangan.

Hal itu dinilai sangat mendesak dalam upaya menyelamatkan warisan budaya bidang pertanian, termasuk subak yang terancam akibat peralihan fungsi lahan pertanian, yang dalam beberapa tahun belakangan ini sulit dikendalikan.

Namun dengan adanya sawah-sawah abadi di masing-masing kabupaten, khususnya di Tabanan dan Gianyar yang diakui sebagai WBD, sehingga kekhawatiran akan punahnya subak dapat dihindari, sekaligus kelestarian  swasembada pangan tetap dapat dipertahankan.

Untuk itu pemerintah perlu memberikan perhatian khusus maupun berbagai kemudahan terhadap petani milik atau penggarap sawah-sawah abadi tersebut.

Kemudahan dapat berupa subsidi pupuk, bibit padi serta pajak bumi dan bangunan  secara geratis.

    
Tidak boleh hilang

Gubernur Bali Made Mangku Pastika ketika menerima Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) setempat Prof Dr Nyoman Suparta dan segenap jajarannya menegaskan pertanian di Pulau Dewata tidak boleh hilang karena sangat menunjang pengembangan pariwisata.

Itu bisa dibuktikan dengan subak yang kini sudah diakui sebagai warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Namun, sampai kini permasalahan yang sedang dipelajarinya adalah supaya bisa meningkatkan kesejahteraan petani sehingga mereka tetap mau bekerja sebagai petani.

Pekerjaan petani sangat kompleks cakupannya. Kalau mereka penghasilannya pas-pasan terus tanpa ada upaya dari pemerintah untuk membantu meningkatkan kesejahteraannya, sudah tentu pekerjaan petani ini akan semakin ditinggalkan.

Oleh karena itu perlu adanya saran dan masukan dari pihak HKTI maupun ahli-ahli pertanian di Bali untuk sama-sama memikirkan solusi membangun pertanian.

Dengan demikian, Pemerintah Provinsi Bali bisa membuat kebijakan yang tepat  dan bisa meningkatkan kesejahteraan petani yang akan berdampak pada kelanjutan pertanian di Pulau Dewata, sebagai salah satu ikon daya tarik wisata.

Ketua HKTI Bali Prof Dr Nyoman Suparta menyampaikan HKTI sebagai organisasi sosial di bidang pertanian punya kewajiban untuk ikut berupaya  membangun pertanian, di tengah banyak hambatan yang menghadang.

Daerah Bali masih dihadapkan pada masalah lahan yang semakin sempit karena digunakan untuk pembangunan. Bahkan yang paling santer saat ini menyangkut kesejahteraan petani.

Kesejahteraan petani belum bisa sepenuhnya ditangani mengingat sebagian besar penduduk miskin di Bali masih berada pada sektor pertanian.

Untuk itu Pemprov Bali agar betul-betul bisa menyempurnakan program untuk kemajuan petani dan menambah anggaran untuk menggarap sektor pertanian.

                                   Tidak terkendali

Di Bali terjadi alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali untuk berbagai kepentingan pembangunan, terutama bidang pariwisata dan pemukiman baru sehingga dikhawatirkan bisa mengancam ketahanan pangan.  

Alih fungsi lahan yang tidak terkendali itu diperparah lagi dengan ketidaktegasan dalam mengatur penggunaan sepadan pantai. Selama lima tahun  periode 2005-2010 penyusutan lahan pertanian mencapai  5.000 hektare atau setiap tahunnya rata-rata 1.000 hektare.

Kondisi itu akibat berbagai faktor antara air irigasi yang selama ini lancar untuk pertanian direbut untuk perusahaan daerah air minum (PDAM) sebagai air minum maupun untuk kepentingan hotel.

Demikian pula badan pertanahan nasional (BPN) yang membuat patok dalam rangka pembuatan sertifikat alih fungsi sawah melahap saluran irigasi subak.

Dengan demikian air irigasi wilayah subak yang lebih di hilir, menjadi sangat terganggu. Menurut Prof Windia dalam proses jual-beli sawah, dan pemasangan patok BPN, pihak subak sama sekali tidak  dilibatkan sebagai saksi.

Dengan demikian pihak BPN seenaknya mematok saluran irigasi subak. Sementara  pihak notaris (PPAT) juga tidak melibatkan pimpinan subak sebagai saksi.

Jika lahan sawah di Bali semakin berkurang dan air irigasi sangat sulit, itulah ciri, bahwa sistem subak yang diwarisi secara turun temurun sejak ribuan tahun silam akan ambruk.

Kondisi itu diperparah lagi dengan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang sangat "mencekik", sehingga petani yang mempunyai lahan di tempat-tempat strategis tidak mampu membayar PBB, sehingga solusi terakhir menjualnya kepada orang lain untuk kepentingan di luar pertanian.

Oleh sebab itu Unud tutur Windia telah membuat proyek percontohan dalam melestarikan sawah dan sistem pengairan tradisional dalam bidang pertanian di  Subak Lodtunduh, perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar.

Sebanyak 70 petani yang memiliki lahan sawah sekitar 30 hektare itu memiliki  prilaku dan keteguhan untuk tidak menjual sawah, jika nantinya untuk kepentingan di luar pertanian.

Seluruh petani tidak menjual sawah miliknya, kalaupun terpaksa menjualnya harus ada kesepakatan fungsi sawah itu tetap dipertahankan dan dijamin tidak beralih fungsi.

Jika seluruh petani Bali mempunyai tekad dan pendirian yang kuat seperti petani di subak  Lodtunduh, Ubud, maka subak di Bali ke depan akan tetap kokoh dan eksis di tengah perkembangan dan persaingan ekonomi Bali yang sangat ketat.

Hal itu perlu menjadi penekanan, dengan harapan alih fungsi lahan pertanian ke depan dapat dihindari atau tidak separah sekarang, sehingga subak tetap dapat dipertahankan keberadaannya di Bali, kata Prof Windia.